Serangkaian Tahap Menjadi Pengajar Muda

Setiap tahun, pendaftaran pengajar muda dibuka dua kali, angkatan genap dan angkatan ganjil. Ratusan bahkan ribuan pendaftar diseleksi mulai dari seleksi berkas, lalu Direct Asessment (DA), dan serangkaian tes lain termasuk tes kesehatan hingga pelatihan.

Sedikit sulit, tetapi begitu memang Indonesia Mengajar mencari para anak muda dan sarjana terbaik untuk menjadi fasilitator pendidikan di daerah.

Pengajar Muda angkatan 24 saat saat pelatihan bertahan hidup di hutan, salah satu agenda dalam pelatihan intensif Pengajar Muda (FOTO: DOK. PRIBADI)

“Saya mendaftar di gelombang kedua, akhir-akhir. Temanku berperan sangat besar dalam mendorongku mendaftar, bukan karena saya tidak niat menjadi Pengajar Muda, tapi saya sangat pesimis bisa lolos karena pengalaman sebelumnya aku hanya sampai tahap DA. Alhamdulillah aku lolos seleksi berkas, dan harus ikut DA di Makassar. Tapi karena aku sedang ada kegiatan di Jakarta, kalau ke Makassar ongkosnya lumayan, aku milih DA di Surabaya meski aku harus menunggu agak lama di Jawa,” papar alumni Forum Indonesia Muda (FIM) itu.

DA atau penilaian langsung seringkali menjadi penentu dari serangkaian tes untuk menjadi Pengajar Muda (PM).

Dalam DA ada beberapa tes yang harus dilakukan seperti Tes Potensi Akademik (TPA), wawancara, psikografis, FGD, dan yang paling menyita persiapan adalah micro teaching.

“Meski persiapannya minim, tapi menurutku maksimal karena belajar dari DA online sebelumnya yang angkatan 21, yang saya gak bisa ngapa-ngapain. Karena ini offline, saya coba menyiapkan media pembelajaran dan lain sebagainya. Kemudian setelah DA beberapa hari dari situ saya dapat email untuk MCU (Medical Chek UP),” katanya.

Karena minim budget, ia sendiri hanya bisa direimburse Rp900 ribu, sehingga terpaksa memutar otak agar bisa MCU dengan budget minim. Ia pun tes di tiga faskes, lab kesehatan provinsi, RS Bhayangkari, dan Maxima.

“Kemudian setelah MCU, di bulan januari, satu bulan kita pelatihan online, dan setelah itu mulai pelatihan offline itu sekitar enam pekan,” ujarnya.

Berada di pedalaman selama satu tahun tentu berbeda dengan program yang ia tangani yang hanya memakan waktu minggu atau bahkan hitungan bulan saja. Apalagi, kata dia, dengan uang saku yang tidaklah besar dibandingkan dengan gaji dengan pekerjaannya sebelumnya. Tetapi alasannya ingin mendaftar PM karena ia merasa sudah tidak bertumbuh di Palu.

“Waktu daftar pertama dan ditolak, saya bilang, ya udah deh ini terakhir. Saya gak mau daftar lagi karena ngingat usia, ngingat kebutuhan-kebutuhan lain. Tapi setiap kali buka pendaftaran, saya selalu kepikiran. Setelah saya refleksikan mengapa ingin daftar, di Palu saya sudah cukup lama. Saya berkiprah di Palu, bekerja di Palu. Ibaratnya sudah berada di titik atas,” ujarnya.