Keindahan sebuah lembaran kain tenun bukan saja dilihat dari motifnya. Melainkan dari kecemerlangan warna pada kain agar menarik dipandang mata sesuai keinginan pemesan. Orang yang berperan di balik keindahan warna bukan ditentukan pengrajin, tapi seorang ahli di bidang pencelupan. Profesi ini terbilang langka, karena tidak semua pengrajin kain bisa mengerjakan.

Satu-satunya ahli pewarna tenun di Kecamatan Banawa Tengah, dikenal pusat tenun Donggala, adalah Slamet (60 tahun). Berdomisili di Desa Kola-Kola, sejak puluhan tahun sudah menekuni profesi meracik warna bagi benang baik yang menggunakan bahan sintetis maupun pewarna alam.

“Menekuni profesi spesial mewarnai benang karena melihat kondisi penenun sangat terbatas yang bisa melakukan. Bahkan banyak pengrajin pergi jauh ke Palu hanya untuk mewarnai benang, sehingga saya membuka jasa pewarnaan demi memudahkan mereka. Alhamdulillah banyak yang menggunakan jasa saya,” ungkap Slamet pada media ini, Selasa (27/6).

Pengrajin kain yang menggunakan jasanya bukan saja penenun yang berada di Kecamatan Banawa Tengah dan sekitarnya, melainkan juga datang dari Desa Wani, Kecamatan Tanantovea. Hal itu diakui Sukarti, ketua kelompok pengrajin tenun Desa Wani I, setiap akan meracik warna benang mesti pergi ke Kola-Kola menggunakan jasa Slamet. Sebab di Desa Wani tidak ada lagi orang yang ahli meracik warna benang, tinggal penenun saja.

Keahlian yang dimiliki Slamet itu, setiap kegiatan pelatihan atau workshop tenun yang dilakukan lembaga pelatihan maupun Pemkab Donggala, selalu melibatkan dirinya. Materi yang ditampilkan Slamet tampil dilakukan secara sederhana diawali teori dalam bentuk catatan sederhana, kemudian dipraktek.

“Praktek paling mudah itu ketika menggunakan pewarna alam, karena bahannya sangat banyak tersedia dan mudah didapatkan,” ungkap Slamet.

Slamet menyebut, semua tumbuhan yang memiliki buah itu dapat diolah menjadi zat pewarna benang. Antara lain tumbuhan mangrove, nangka, jambu berbagai jenis, ketapang, jeruk, bunga putri malu dan lainnya.  Tumbuh-tumbuhan tersebut, bagian paling baik untuk dijadikan bahan pewarna terdiri dari daun, akar dan kulit dengan cara direbus atau dimasak.

Menurut Slamet, takaran satu kilogram bahan pewarna dapat direbus dengan sepuluh liter air.

“Dari hasil rebusan bahan-bahan alami itu kemudian dijadikan rendaman benang selama beberapa jam, bahkan sebaiknya sampai satu atau dua malam agar lebih meresap,” jelas Slamet.

Penggunaan pewarna alam untuk benang tenun ini terus dikampanyekan Slamet. Alasannya, selain bahannya mudah didapat karena hidup liar, juga gratis ditambah bisa menjadi terapi bagi Kesehatan.

Terapi yang dimaksud Slamet, ketika kain yang berbahan pewarna alam dipakai terasa sejuk dan lebih lembut ketimbang berbahan sintetis agak panas karena berbahan kimia.

“Apalagi pewarna berbahan kimia itu dapat merusak lingkungan dan harganya mahal, kenapa tidak kita menggunakan bahan alami saja selain gratis, lebih ramah lingkungan lagi,” jelas Slamet.

Penulis : Jamrin  AB