Gilberd Nugraha Silitonga menerapkan metode refleksi diri dalam mengajarkan pendidikan karakter kepada siswa siswi di SD Bala Keselamatan Mamu, Desa Mamu Kecamatan Pipikoro, Kabupaten Sigi.

Pemuda asal Karawang, salah satu Pengajar Muda (PM) 23 Indonesia Mengajar (IM), kepada awak media ini, mengatakan, fungsi refleksi baginya adalah untuk mengetahui apa hal baik yang sudah dilakukan, apa yang kurang baik, apa yang perlu ditingkatkan dan bagaimana Rencana Tindak Lanjut (RTL) dari hal-hal yang belum baik itu.

“Dengan menerapkan sesi refleksi, akan membentuk karakter siswa dan memiliki capaian berupa perubahan perilaku yang signifikan. Contohnya, di SD Bala Keselamatan Mamu, banyak anak yang suka  memanjat atap sekolah, tetapi sekarang tidak lagi karena mereka sadar bahwa memanjat atap itu adalah tindakan yang bisa membahayakan diri mereka. Dan kesadaran itu berasal dari sesi refleksi diri,” jelas Gilbert, belum lama ini.

Awalnya, ia memperkenalkan refleksi diri sebagai bagian dari budaya ketika melakukan aktivitas di hari Jumat, Sabtu dan Minggu. Terlebih hari minggu, sebab dapat menjadi kebiasaan yang baik karena dilakukan saat sesi sekolah minggu.

Para siswa mendapatkan materi atau alasan kuat mengapa perlu melakukan refleksi setelah melakukan kegiatan. Menariknya siswa kelas 4, 5, dan 6 sudah secara otomatis melakukan refleksi diri bahkan memandu dan mendampingi siswa kelas 1, 2 dan 3.

Putra dari J. Silitonga dan S. Samosir itu bercerita, ada satu masa di mana di desa itu sedang ada agenda dan semua orang ke acara tersebut, tanpa terkecuali dia. Tetapi sebagai pengajar yang datang dari luar daerah, Gilbert diperbolehkan tidak ikut acara tersebut dan ia memilih mengajar. Kebetulan hari itu sedang pekan olahraga, dan dia mengambil momentum itu untuk mengajarkan sesi refleksi yang lebih dalam  kepada siswa.

“Di awal-awal dijelaskan apa tujuan refleksi, tapi itu digali melalui pemikiran siswa itu sendiri. Aku pengen menggali pemahaman anak-anak tentang refleksi. Aku ingin tahu apakah kelas empat, lima, enam sudah benar-benar memahami atau belum. Akhirnya merekalah yang membimbing adik-adiknya (kelas 1, 2, 3), seperti apa hal-hal baik yang sudah dilakuin nih, sepanjang olahraga ini,” ujarnya.

Alumni Universitas Singaperbangsa Karawang itu menilai, siswa kelas tinggi tersebut mampu membimbing meski siswa kelas rendah banyak yang kebingungan. Meskipun kesal, mereka tetap sabar dan menjelaskan bagaimana seharusnya refleksi dilakukan, dengan mendemonstrasikan kalimat yang mereka dapatkan sebelumnya dari Gilbert, guru yang mengajar di kelas 5 dan 6 untuk semua mata pelajaran, termasuk pelajaran agama Kristen. 

“Jadi aku melihat kelas empat, lima, dan enam ini sudah cukup bisa menggali. Misalnya coba kalau kita main becek-becek di lapangan itu salah atau nggak? Mereka bilang ke adik-adik mereka, coba dilihat yang kecil-kecil, jangan hanya yang besar-besar saja,” tuturnya.

Ia merasa, metode refleksi ini sudah tertanam di otak mereka, bahwa capaian-capaian, bukan hanya hal-hal yang besar saja. Tapi hal-hal kecil, misalnya tertib saat olahraga, berbaris tepat waktu, serius saat senam dan lainnya.

RTL pun, kata Gilbert, juga bisa berupa hal-hal kecil. Misalnya untuk masalah lapangan yang berlumpur, agar tidak mengotori sepatu, bisa dengan menghindari bagian berlumpur itu, atau melepas sepatu, atau menimbun bagian berlumpur itu baru bermain sepak bola.

“Dari hal-hal sederhana itu, mereka jadi berpikir bahwa banyak hal yang bisa dilakukan secara mandiri atau bersama-sama untuk menyelesaikan masalah,” katanya.

Memilih Jadi Pengajar Muda di Sigi saat Karir sedang Bagus-bagusnya

Sebelum jadi PM dan belajar banyak hal selama 5 bulan lebih di Sigi, Gilbert bekerja sebagai Area Sales Supervisor di PT Nippon Indosari Corpindo, Tbk. Ia memegang produk-produk roti di perusahaan-perusahan roti terbesar di Indonesia dengan area kerja Surabaya, juga pulau Madura.

Koodinator Ekspedisi Nusantara Jaya (ENJ, 2017) di Pulau Panjang, Banten itu sudah dekat dengan nama Indonesia Mengajar dan program-programnya sejak lama.

Lingkaran pertemanannya pun para alumni PM yang selalu mengingatkannya untuk menjadi PM. Tetapi yang menyentuh hatinya untuk mendaftar PM adalah lagu rohani dengan potongan lirik yang membuatnya tidak ragu menetapkan keputusan.

“Jadi ketika tahu waktu kita nggak bisa dikontrol maka lakukanlah sekarang sebisa mungkin. Makanya itu yang buat aku tidak menunda untuk berbuat sesuatu, mengabdi, karena mungkin di umur 27 tahun aku udah nggak ada. Kalau restu orangtua, syukurnya orangtuaku mendukung,” katanya.

Sebagai pendatang, kata dia, culture shock pasti ada. Yang paling diingatnya adalah aktivitas di malam hari, di mana tidak ada lagi aktivitas setelah pukul 8 malam, kecuali jika ada perayaan tertentu, natal misalnya. Berbeda dengan sebelumnya, ia tidur pukul 11 atau 12 malam.

Selain itu, Gilbert juga heran dengan kebiasaan warga yang mencampur buah dan sayur untuk dijadikan lauk, misalnya pisang dicampur sama daging ayam atau babi.

“Jadi aneh gitu buat aku. Budaya badero juga unik. Kok, kuat ya masyarakat sini badero berjam-jam gitu? Kalau dari logat (dialek), kebetulan orangtuaku dari Sumatera Utara, jadi aku gak terlalu kaget,” tuturnya yang sempat gugup ketika ia ditugaskan di Sigi. Ia tahu, Sigi termasuk salah satu daerah rawan gempa dan kemungkinan likuifaksi.

Selain culture shock, Gilbert juga terkejut karena sering mendapati anak-anak menggunakan kekerasan bahkan ketika mereka bercanda. Mereka saling mencekik juga saling memukul.

Tetapi dalam dua bulan terakhir, ia tidak melihat anak-anak muridnya, bahkan hampir tidak ada yang bermain atau bercanda dengan menggunakan kekerasan di sekolahnya.

Selain itu, perubahan lainnya yang terjadi adalah siswa memiliki beragam pilihan menyanyikan lagu nasional, karena Gilbert sering melatih dengan mengajarkan satu lagu setiap pekan. Pembelajaran di sekolah juga sudah lebih lama. Sebelumnya sampai jam 10 saja, sekarang hingga pukul 12 atau 12.30 siang.

“Kalau di desa sendiri, aku melihat perubahan perilaku lebih ke orangtua siswa. Mereka lebih mendukung pembelajaran anak di sekolah. Contohnya, saat mau praktek tentang pertumbuhan tanaman, anak-anak diminta bawa biji-bijian, itu mendapatkan support banget dari orang-orang di desa. Orangtua jua juga sudah banyak yang tidak mencambuk anaknya. Kedua hal kecil ini, aku cukup bahagia. Karena kembali ke metode refleksi, bahwa meski kecil, tetapi ada capaian, ada perubahan dari orang tua siswa dalam mendidik dan lebih aware dengan pendidikan anak,” tutupnya.

Reporter : Iker
Editor : Rifay