BELUM lama ini kita dengar mantan Ketua OSIS di SMK 2 Palu, katakanlah namanya Randa, babongkar pungutan di skolanya. Dia bilang skola bakase pungutan tambahan untuk les Bahasa Inggris. Baru lesnya di jam pelajaran.
Apa yang dia bilang itu, dia kase tau saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan DPRD Kota Palu, waktu dorang bademo. Akhirnya beberapa hari setelah itu dia ‘disidang’ sama skola. Beberapa kali lagi juga ada mediasi, sama orang tua, tapi dia tetap bakeras dengan pendapatnya. Hatta disuruh minta maaf dia tidak mau. Justru dia merasa benar dan baminta kepala skolanya, Loddy Surentu yang minta maaf. Huh! berani memang ini anak. Hasilnya dia dan teman-temannya dipecat dari OSIS, dan dia dikase keluar dari skola.
Habis dikase keluar, anak ini langsung mengadu ke pihak Dinas. Setelah itu Dinas bapanggil kepala skola. Dorang dimediasi disana, dan akhirnya keputusan dari dinas dia tetap bisa melanjutkan skola di SMKN 2 Palu. Sekarang ini, kasus ini masih diinvestigasi sama Inspektorat, belum tau bagaimana keputusannya (lambat le).
Nah, Kaka Ibelo mo bahas sedikit soal ini. Bukan soal siapa benar siapa salah. Tapi menurut Kaka Ibelo, ada yang menarik dari kasus ini. Jarang-jarang kita lihat ada anak skola yang kritis sekali. Kalau kita-kita dulu, angkat tangan pigi bakincing saja kayak berat skali tangan. Nah ini sampe mengadukan kepseknya ke DPRD dengan dinas. Hama le.
Menurut Kaka Ibelo, kalaupun Randa salah, ini anak tetap harus mendapat apresiasi. Karena dia so berani menyampaikan pendapat. Tidak gampang untuk anak-anak basampaikan pendapat di depan anggota dewan, baru waktu dia dikeluarkan langsung ke dinas badatangi Kabid SMK.
Guru-guru memang masih belum tabiasa dengan gaya belajar kritis. Pendidikan masih untuk supaya pintar, bukan supaya kritis. Kalau ada anak yang begitu, dorang kewalahan, ato bapikir anak itu tukang nesapuaka alias pembangkang. Belum lagi misalnya di teman-temannya, kalau ada anak yang kritis dianggap cerewet. Di dunia pendidikannya kita ato pendidikan konvensional, basikap kritis masih disalahartikan sebagai sikap yang tidak ada hormat.
Padahal skarang-skarang ini kita pe kurikulum so merdeka. Tapi siswa kayak tidak merdeka basampaikan pendapat. Baru, untuk apa namanya “Profil Pelajar Pancasila” salah satunya itu harus “Bernalar Kritis”, tapi pas ada yang kritis tidak dikase ruang, malah dikase keluar.
Anak-anak kritis di skola itu so potensi besar. Karena anak itu bapikir analitis sama kreatif. Tantangannya, tergantung bagaimana skola dengan orang tua baarahkannya.
Anak-anak begitu berarti, punya kemampuan bacari solusi. Kalau orang Kaili Latin bilang “kemampun problem solving”. Anak-anak begini punya masa depan lebih baik, karena so punya rasa ingin tau dan berani walau masih skola. Apalagi kalau dia memang sudah jadi pemimpin, artinya potensinya kedepan untuk jadi pemimpin jauh lebih besar.
Kaka Ibelo tidak bisa bayangkan kalau anak itu jadi komiu keluarkan. Terus dia lulus di skola lain. Besarnya dia jadi orang sukses, jadi politisi atau orang terpandang, trus dia sampaikan sejarah hidupnya pernah dikeluarkan skola karena baprotes. Waduh jadi sejarah buruk skola itu le.
Makanya itu, kalau memang SMKN 2 Palu merasa benar, tinggal komiu arahkan. Sikap kritis begitu satu potensi.
Dinas Pendidikan juga barangkali, boleh kase penghargaan karena anak begitu berarti punya tujuan pendidikan lebih bersih. Banyak anak yang kritis tapi te berani. Nah ini dia berani, perempuan lagi, naheba betul. Belum lagi dia anak SMK. Sikap kritis itu sudah satu modal dia dunia pekerjaan nanti.
Anak yang kritis itu aset masa depan. Kalo pendekatannya tepat, dorang bisa berkembang menjadi pemimpin yang bijak, inovator, atau pemikir babawa perubahan positif. Tidak begitu? To? Tabe!