PALU – Kepala Balai Prasarana Pemukiman Wilayah (BPPW) Sulteng, Ferdinan Kana’lo, menilai, seharusnya pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sulteng mempelajari prosedur atas terbitnya putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang mengabulkan gugatan 13 warga yang mengklaim sebagai pemilik sertifikat di atas lahan pembangunan hunian tetap (huntap) di Kelurahan Tondo.

Seharusnya, kata dia, Kepala BPN bisa membawa persoalan tersebut ke kepolisian terkait penyerobotan lahan negara dengan terbitnya sertifikat-sertifikat itu.

Sebab, kata dia, dalam hal ini tidak ada kewenangan Kepala BPN untuk membatalkan sertifikat dari penggugat. Yang berhak membatalkan adalah pengadilan.

Namun, yang jadi masalah, kata dia, BPN yang melaporkan, namun BPN juga yang menerbitkan sertifikat-sertifikat itu.

“Sementara di sisi lain, Kepala BPN tidak bisa membatalkan sertifikat, walaupun dia yang menerbitkan,” tegasnya.

Olehnya, kata dia, kemenangan warga atas lahan yang dibangunkan huntap tersebut, tidak serta merta membuat sertifkat yang mereka kantongi itu menjadi legal.

Selain ke kepolisian, lanjut dia, pihak BPN bisa melakukan upaya hukum ke pengadilan negeri, bukan ke PTUN. Sebab, kata dia, jika dilihat dari putusan PTUN, betul bahwa kepala BPN mungkin dianggap melampaui wewenang sehingga pihak PTUN mengabulkan gugatan warga.

“Jadi dibawa ke pengadilan dengan kasus terjadi penyerobotan lahan dengan terbitnya 13 sertifikat itu. Itu yang kemudian disidik apakah penerbitan sertifikat ini prosedural atau tidak,” kata Ferdinan

Tentunya, kata dia, ada riwayat tanah itu, dari mana kepemilikannya dan penjualnya siapa. Dari situlah pihak pengadilan memutuskan bahwa prosedur hukumnya salah sehingga sertifikat harus dibatalkan.

“Saya lihat dengan adanya putusan PTUN ini seolah-olah mereka bisa miliki ini tanah. Itu keliru. Saya perlu bicara agar jangan sampai saudara kita yang ada di Talise dan Tondo melakukan upaya ilegal,” tegasnya. (HAMID)