Satu lagi maestro Sulawesi Tengah berpulang. Namanya Tanwir Pettalolo, seorang perupa, teater dan sutradara pertunjukan yang cukup lama malang-melintang dalam aktivitas seni.
Almarhum lahir di Donggala 3 Mei 1948 dan menghembuskan nafas terakhirnya di Donggala, Ahad (13/06) pada usia 73 tahun.
Kabar meninggalnya yang mendadak membuat kalangan seniman dan budaya cukup kaget.
“Kita kehilangan satu lagi tokoh seni yang jadi jadi panutan dan sahabat terbaik dalam berbagai kegiatan kesenian,” kata Zulkifly Pagessa yang pernah menjadi Sekretaris Dewan Kesenian Donggala saat diketuai Tanwir Pettalolo.
Sebelumnya almarhum tidak sakit, bahkan Sabtu kemarin, ia masih terlihat segar dan selalu pengayuh sepeda setiap berurusan dalam Kota Donggala.
“Tadi pagi ia hanya mengatakan kalau badannya sedikit meriang, namun tidak mengeluh dan bahkan menyampo kepalanya. Dari situ kemudian badanya lemas sehingga dibawa berbaring. Tak berapa lama beliau pun meninggal,” kata salah satu adik almarhum, saat ditemui di rumah duka.
Sang maestro dikenal memiliki dedikasi yang tinggi terhadap profesi yang tekah digelutinya sejak lama. Berbagai aktivitas seni di Palu dan Donggala selalu diikuti. Puluhan pameran di daerah hingga nasional juga tak luput, termasuk seni pertunjukan teater serta pembinaan komunitas remaja.
Ia sendiri cukup lama dikenal menjadi pengiat seni lewat Sanggar Seni Hitam Putih. Bukan saja menekuni seni rupa dengan menghasilkan sejumlah karya lukis, ia juga seorang pematung, perancang taman, aktor teater, sutradara pertunjukan dan seni lainnya.
Idealismenya sebagai perupa lebih menonjol. Ini tidak lepas dari kesejatian dirinya dengan perjalanan panjang dalam pengembaraan hingga memiliki reputasi nasional.
Kiprahnya di dunia seni diseriusi sejak menjadi mahasiswa di Kampus LPKJ/IKJ tahun 1976-1981. Kemudian ia bergabung dalam Bengkel Pelukis Jakarta dan pameran bersama di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta tahun 1977, pameran bersama di Balai Seni Rupa Jakarta tahun 1980 dan lainnya.
Di Palu dan Donggala berbagai aktivitas seni diikuti dan tetap produktif berkarya dan mengikuti pameran tunggal maupun bersama, di antaranya Pameran Multimedia di Donggala (1997), Kolaborasi Seni Pertunjukan Multimedia di Palu Plaza dan Taman GOR Palu (1998), dan Artefak Donggala (1999, 2000 dan 2002).
Tak sampai di situ, ia juga pernah mengikuti pameran bersama dalam Refleksi 36 tahun Sulteng (2000), Makassar Art Forum (1999), Palu Indonesia Dance Forum (2001), seni rupa modern Nuantara di Galeri Nasional Jakarta (2001) dan lainnya.
Karya lukis Tanwir Pettalolo, walaupun tidak menfokuskan satu aliran yang lazim dimiliki pelukis, dari sejumlah karyanya jelas terlihat karakter absurditas yang mendominasi.
Ayah dari satu orang putra ini, sangat senang bermain pada simbol-simbol dengan membangun berbagai gagasan yang diangkat dari gejolak sosial terkini, seperti; Indonesia Kontemporer 1, Indonesia Kontemporer 2 (1999), Siklus, Dialog Perempuan, Istri-Istri Kita, Simbiose Mutualis (2000),dan Jungkir Balik Reformasi (2000).
Senang bermain pada simbol-simbol berbagai gagasan yang diangkat dari gejolak sosial terkini. Pernah menjadi Ketua Dewan Kesenian Donggala (2008-2013 dan 2013-2018).
Penulis: Jamrin Abubakar
Editor : Rifay