Berdirinya hunian sementara (huntara) mandiri yang semula diperkirakan dapat meredam derita itu, justru menjadi awal kesengsaraan berikutnya bagi warga Tompe. Warga harus berhadapan dengan air pasang yang sudah terjadwal dua kali dalam sebulan.
Kondisi tersebut telah berlangsung sejak tiga tahun yang lalu. Ya, sejak bencana alam dahsyat itu terjadi, hingga saat ini.
Berdiri sebagai penyintas bencana alam, Papa Wulan serta warga Tompe lainnya memang terbilang sangat tegar. Namun seperti apa jadinya, jika dua bencana sekaligus mengahantam dalam waktu yang bersamaan.
Meski tak separah di tahun sebelumnya, namun jarak setengah meter antara satu jemaah dengan jemaah lain saat melaksanakan shalat, sudah cukup menegaskan bahwa nyaris tak ada satupun manusia di bumi ini yang lolos dari intaian virus corona.
Ini adalah lebaran kali kedua lelaki paruh baya itu bersama keluarganya harus merasakan air asin sebatas betis orang dewasa, sekaligus dalam bayang-bayang ketakutan terhadap virus corona.
Ketika takbir 1 Syawal mulai menggema lepas magrib, mereka tak lagi berpikir soal urusan baju baru yang bakal dipakai untuk shalat esok hari. Tak lagi sibuk menyediakan makanan spesial untuk disantap ketika pulang dari surau. Saat itu, hal wajib yang selalu ada di pikiran Papa Wulan dan anggota keluarganya adalah bagaimana pakaian shalatnya tak basah oleh air laut, juga bagaimana agar masker tak ketinggalan sehingga “aman” saat berbaur dengan orang banyak di surau.
Satu-satunya doa yang dimohonkan Papa Wulan saat sujud terakhir di rakaat kedua pagi itu hanya satu, agar di tahun-tahun yang akan datang masih diberi kesempatan oleh Yang Maha Kuasa untuk kembali menikmati hari raya, tentunya dengan situasi dan kondisi yang normal.
“Kan tidak seterusnya kita akan begini, jadi vesiamo ranga (jadi sudah begitu),” ucapnya, yang mengingatkan pada firman Allah di dalam Al-Qur’an Surah Al-Insyirah ayat 5 sampai 6 : Fa Inna Ma’al-‘Usri Yusrā, Inna Ma’al-‘Usri Yusrā (Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan).
Desa Tompe sendiri merupakan ibu Kota dari Kecamatan Sirenja, Kabupaten Donggala, yang luasnya mencapai 400 hektar. Total penduduknya berkisar 2234 jiwa dan sebagian besar berprofesi sebagai nelayan.
Reporter : Faldi
Editor : Rifay