Papa Wulan (55) tak bisa berbuat banyak. Ia hanya bisa menatap risau ke arah deretan rumah (lebih mirip gubuk) yang sudah terendam air laut, sesaat sebelum ia beranjak menunaikan Shalat Idul Fitri, di salah satu surau di Desa Tompe, Kecamatan Sirenja, Kabupaten Donggala, Kamis (13/05) lalu.

Saat itu, ia hanya menggunakan kaos oblong putih agak kucel, dipadu sarung yang sengaja digulung jauh di atas mata kaki agar tak basah.

Papa Wulan menoleh ke kiri dan ke kanan, melihat dengan jelas air yang perlahan mulai masuk ke kolong-kolong gubuk warga lainnya, tak terkecuali ke bagian sisi kiri surau yang akan digunakan untuk shalat. Di surau yang sengaja dibuat berbentuk panggung itu, air sudah sampai di anak tangga pertama.

Di tengah keresahan, ada kalimat syukur yang sempat terucap dari bibir pria paruh baya itu, karena idul fitri tahun ini tidak bertepatan dengan bulan purnama. Jika bertepatan, maka ia dan warga lain yang tinggal di bekas tanah lapang itu, dikhawatirkan tidak akan bisa menjalankan shalat ied, karena air laut pastinya akan masuk sampai ke dalam surau.

Air pasang atau rob seakan telah menjadi bagian dari keseharian bagi warga di desa yang pernah mengalami tsunami, saat bencana alam 28 September 2018 silam itu. Bahkan dalam banyak diskusi, jika menyebut Desa Tompe, maka topik wajibnya adalah rob yang selalu menghantui. Diskusi akan berjalan panjang, sebelum kemudian beralih ke topik lain, semisal persoalan lahan huntap, ruwetnya dana stimulan, hingga cerita tentang sang kepala daerah yang dianggap minim perhatian.

“Begini sudah di sini, kalau pas sekitar 17 atau 18 bulan di langit (bulan purnama) air itu bisa sampe di lutut ini tingginya dan ombaknya itu kencang. Kalau sudah begitu warga lainnya yang dari sana nesavimo sakaya hau ri masigi (naik perahu ke masjid dari rumah),” ungkap Papa Wulan, sambil merapikan gulungan sarung di pinggangnya.

Ramadhan 2021 yang lalu, adalah tahun ketiga bagi 300-an kepala keluarga di dusun tersebut. Mereka menjalani hidup apa adanya di gubuk yang dibangun oleh masing-masing kepala keluarga. Entah sampai kapan mereka tetap berada di sana, merekapun tak tahu.

Berdirinya hunian sementara (huntara) mandiri yang semula diperkirakan dapat meredam derita itu, justru menjadi awal kesengsaraan berikutnya bagi warga Tompe. Warga harus berhadapan dengan air pasang yang sudah terjadwal dua kali dalam sebulan.

Kondisi tersebut telah berlangsung sejak tiga tahun yang lalu. Ya, sejak bencana alam dahsyat itu terjadi, hingga saat ini.

Berdiri sebagai penyintas bencana alam, Papa Wulan serta warga Tompe lainnya memang terbilang sangat tegar. Namun seperti apa jadinya, jika dua bencana sekaligus mengahantam dalam waktu yang bersamaan.

Meski tak separah di tahun sebelumnya, namun jarak setengah meter antara satu jemaah dengan jemaah lain saat melaksanakan shalat, sudah cukup menegaskan bahwa nyaris tak ada satupun manusia di bumi ini yang lolos dari intaian virus corona.

Ini adalah lebaran kali kedua lelaki paruh baya itu bersama keluarganya harus merasakan air asin sebatas betis orang dewasa, sekaligus dalam bayang-bayang ketakutan terhadap virus corona.

Ketika takbir 1 Syawal mulai menggema lepas magrib, mereka tak lagi berpikir soal urusan baju baru yang bakal dipakai untuk shalat esok hari. Tak lagi sibuk menyediakan makanan spesial untuk disantap ketika pulang dari surau. Saat itu, hal wajib yang selalu ada di pikiran Papa Wulan dan anggota keluarganya adalah bagaimana pakaian shalatnya tak basah oleh air laut, juga bagaimana agar masker tak ketinggalan sehingga “aman” saat berbaur dengan orang banyak di surau.

Jamaah Masjid di Dusun III Desa Tompe, sedang menunaikan shalat Idul Fitri 1442 Hijriah, Kamis (13/05). (FOTO: FALDI)

Satu-satunya doa yang dimohonkan Papa Wulan saat sujud terakhir di rakaat kedua pagi itu hanya satu, agar di tahun-tahun yang akan datang masih diberi kesempatan oleh Yang Maha Kuasa untuk kembali menikmati hari raya, tentunya dengan situasi dan kondisi yang normal.

Kan tidak seterusnya kita akan begini, jadi vesiamo ranga (jadi sudah begitu),” ucapnya, yang mengingatkan pada firman Allah di dalam Al-Qur’an Surah Al-Insyirah ayat 5 sampai 6 : Fa Inna Ma’al-‘Usri Yusrā, Inna Ma’al-‘Usri Yusrā (Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan).

Desa Tompe sendiri merupakan ibu Kota dari Kecamatan Sirenja, Kabupaten Donggala, yang luasnya mencapai 400 hektar. Total penduduknya berkisar 2234 jiwa dan sebagian besar berprofesi sebagai nelayan.

Reporter : Faldi
Editor : Rifay