Komiu tau, Kaka Ibelo baca tiga hari lalu, beberapa honorer Sekretariat Dewan (Setwan) DPRD Sulawesi Tengah pigi ke Longki Djanggola, anggota Komisi II DPR RI. Dorang mengadu tidak puas dengan seleksi CPNS sama P3K. Masakan, dari 99 peserta yang baikuti ujian tahap pertama, tidak ada satu pun yang lolos. Zonk!

Baru, dorang so dilarang baikut seleksi tahap kedua. Waduh! Berimbamo. Sudah jatuh, tertimpa regulasi. Ini untuk dorang kayak orang lari maraton, so cape-cape pigi garis finis. Pas dekat garis finis. Garis finisnya so dipindah.

Bayangkan banyak honorer mengabdi bertahun-tahun, tapi tetap tidak diistimewakan dalam seleksi ini. Padahal, mungkin di beberapa daerah lain, tenaga honorer dikase prioritas.

Menurut Kaka Ibelo, sebenarnya, masalah ini bukan cuma di Sulawesi Tengah. Beberapa daerah lain juga begitu, tenaga honorer kayak bahadapi dilema sekali. Seleksi CPNS dan P3K berbasis Computer Assisted Test (CAT) memang tujuannya untuk batingkatkan kualitas ASN, tapi ranga, efek sampingnya bikin sakit kepala. Banyak honorer yang sudah puluan tahun kerja tiba-tiba harus bakusaing dengan yang masih muda-muda, yang otaknya sezaman dengan teknologi.

Belum lagi banyak honorer yang so tatua-tua bahonor, bahadapi ancaman lain: rencana penghapusan tenaga honorer pada 2025. Artinya, kalo tidak lulus CPNS atau P3K, ya siap-siap cari kerja lain. Komiu tau sendiri kan, kalo pekerjaan swasta kebanyakan syarat minimal masih muda, ada juga berpenampilan menarik. Sementara mo menarik bagaimana ranga, so menganga keriput di muka. Baharap pekerjaan yang digaji pemerintah bagi dorang mungkin cuma jadi Panwas Desa atau KPPS. Itupun lima tahun sekali. Itupun juga untuk Panwas Desa dan KPPS prioritas harus yang muda. Hama, cari pekerjaan apa sudah ranga dorang.  

Kita so sering dengar kan, gaji honorer jauh di bawah UMR. Sudah gaji sedikit, status juga so tidak jelas. Dilema ini bikin banyak tenaga honorer merasa seperti cinta bertepuk sebelah tangan dengan pemerintah: sudah setia, apapun diminta sama yang dicintai tetap dilakukan, tapi ujung-ujungnya tidak dianggap. Sakit!

Lebih dari itu, Kaka Ibelo, mengamati, sistem rekrutmen ASN yang begini dijadikan orang-orang untuk batipu. Misalnya, ada isu jadi joki bocornya soal ujian ada juga mengaku seolah dapat surat sakti. Dorang mengaku, disuruh pejabat tertentu untuk bacari calon CPNS/P3K langsung lulus lewat “jalur khusus”. Langsung diurus di BKD, padahal cuma panipu.

Ada juga tadengar di Kaka Ibelo, nepotisme. Akhirnya yang hanya baandalkan kompetensi malah tasingkir. Padahal, kalau soal kemampuan kerja, tenaga honorer ini sudah teruji bertahun-tahun. Tapi ya sudah begitu, potensi kecurangan selalu ada dimanapun. Makanya itu hati-hati le!

Harapan honorer kini bergantung sama pemerintah dan legislatif: betul tidak dorang benar-benar peduli atau cuma badengar, baiyo-iyo, tapi ujung-ujungnya lupa?

Kalo tenaga honorer yang so lama mengabdi tidak badapat perlakuan khusus dalam seleksi ASN, rasa-rasanya keadilan cuma jadi slogan. Dibutuhkan betul ranga, pengawasan ketat supaya sistem ini tidak berubah jadi ajang siapa yang punya koneksi lebih kuat. Karena kalau tidak, honorer yang so setia bertahun-tahun hanya akan jadi korban janji-janji kosong, yang te pernah ditepati. Negara harusnya bahargai pengabdian, bukan malah bagantinya dengan sistem yang makin sulit ditembus untuk dorang. Tabe le!