Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Tengah (Sulteng) sebagai pusat komando Satuan Tugas (Satgas) Madago Raya perburuan kelompok teroris di Kabupaten Poso telah memastikan bahwa korban tewas saat baku tembak yang melibatkan Tim Sogili 1 di kilometer 13 Desa Kilo, Kabupaten Poso, Kamis (29/09), adalah Askar alias Jaid alias Pak Guru alias Ikhwanrisman.

Pak Guru diklaim menjadi “prajurit” terakhir kelompok bersenjata yang menamakan diri Mujahidin Indonesia Timur (MIT) itu.

Lokasi baku tembak terjadi di ketinggian 450 di atas permukaan laut (dpl). Pak Guru ambruk diterjang peluru aparat di bagian dada.

“Kami sudah memastikan bahwa benar itu adalah Askar yakni salah satu dalam daftar pencarian orang yang kami cari sejak 2011,” kata Kapolda Sulteng, Irjen Pol Rudy Sufahriadi usai mengecek langsung jenazah di RS Bhayangkara, Palu, Jumat.

Berdasarkan hasil itu, sejumlah pihak meminta agar Markas Besar (Mabes) Polri melakukan evaluasi rangkaian operasi yang sudah berganti nama beberapa kali itu untuk kemudian dihentikan, karena meskipun berhasil memburu kelompok MIT juga memunculkan trauma tersendiri bagi masyarakat di wilayah zona operasi.

Aksi Brutal Berbuntut Trauma

Cerita tragis aksi liar kelompok teroris ini datang dari Kepala Desa Lembantongoa, Deky Basalulu.

Ia menceritakan bagaimana anak-anak di desanya menyaksikan langsung peristiwa pembantaian empat warga oleh kelompok MIT, Jumat (27/11/2020) silam.

Kini, anak-anak itu dilanda trauma berkepanjangan, melihat siapa saja sedang menenteng senjata, termasuk aparat, mereka pasti ketakutan.

“Waktu itu ada yang datang antar bantuan di kantor desa sama-sama dengan polisi yang bawa senjata. Begitu mau diberikan ke anak-anak korban, salah satu dari mereka langsung lari ketakutan liat senjata,” kenang Deky, Minggu.

Tak hanya anak-anak itu, kisah kelam juga dialami salah satu istri dari korban MIT, yakni Astri Kandi (27). Kini, ia kerap diam dan memilih tidak ingin lagi bercerita ataupun mendengar cerita perihal kekejaman kelompok yang kala itu masih dipimpin Ali Kalora.

Bahkan, sambung Deky, Astri kala itu bersikeras tidak lagi ingin kembali ke Dusun Tokelemo, Desa Lembantongoa. Ia memilih pindah ke tempat pemukiman yang lebih ramai untuk membesarkan tiga anaknya.

Sejumlah anak-anak bermain di sekitar perkampungan mereka di Desa Lemban Tongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Ahad (29/11/2020). Mediaalkhairaat.id/Faldi

Menurut Deky, ulah kelompok MIT itu bukanlah pertama kali terjadi di desanya. Tahun 2017 lalu, terjadi kasus penyanderaan kepada warga. Beruntung, mereka dilepaskan kembali.

Sederet trauma dialami warga biasa dari serangkaian operasi perburuan kelompok yang terbilang tak banyak itu. Tak hanya dari para teroris, kisah pilu juga ditinggalkan oleh aparat yang bertugas. Entah sengaja atau karena apa, warga kadang menjadi korban salah tembak oleh aparat.

Sejumlah warga tidak jauh dari Polsek Poso Pesisir Utara, Kamis (9/04/2020), mengaku mendengar suara yang mirip letupan senjata.

Namun hingga kini, tidak ada yang tahu pasti, suara tersebut benar berasal dari senjata atau bukan. Yang pasti adalah, setelah bunyi letupan itu, seorang pemuda bernama Qidam Alfariski (20) dilaporkan meninggal dunia sekitaran Polsek. Tak hanya bekas peluru, hampir di sekujur tubuh ditemukan bekas luka yang tidak biasa.

Beberapa hari setelah itu, Qidam disebut bagian dari kelompok sipil bersenjata Poso oleh polisi. Namun pihak keluarga bersikukuh, anaknya bukan teroris. Belakangan, polisi meralat pernyataannya sendiri, bahwa Qidam Alfarizki memang bukan bagian dari kelompok yan dirintis mula-mula oleh Abu Wardah alias Santoso itu.

Peristiwa itu pun turut menyisakan trauma, sekaligus beban batin berkepanjangan bagi orang tua Qidam, Irwan Mowance.

Tragedi dugaan salah tembak kembali berulang, Selasa (2/6/2020), menimpa dua petani bernama Syarifudin dan Firman.

Aksi sembrono yang dilakukan aparat itupun tuntas dengan pernyataan Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri, Brigjen (Pol) Awi Setiyono, bahwa kedua korban masuk ke dalam zona operasi dan tidak melaporkan diri.

Katanya, anggota yang kala itu masih tergabung dalam Satgas Tinombala telah bertindak sesuai prosedur dengan memberi peringatan awal terlebih dahulu. Setelah kedua korban roboh, aparat yang menghampiri baru menyadari bahwa korban merupakan warga KM 09, yaitu Desa Kawende, Kecamatan Poso Pesisir Utara.

Adanya rangkaian peristiwa itu, membuat warga yang bermukim dalam zona operasi menjadi trauma karena kerap kali dianggap sebagai simpatisan. Sementara di sisi yang lain, sering dicurugai sebagai informan aparat.

Stop Operasi untuk Pemulihan Trauma

Senada dengan harapan Deky atas kisah kelam yang dialami banyak petani di wilayah zona operasi, Guru Besar Ilmu Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Datokarama Palu, Prof Lukman Thahir, menyatakan bahwa salah satu kunci keberhasilan dari operasi yang sudah tiga kali berganti nama -Camar Maleo, Tinombal dan Madago Raya- itu adalah dengan menghentikannya.

“Karena memang indikator untuk memperlihatkan keberhasilan operasi itu adalah dengan cara menghentikan. Kalau tidak dihentikan orang-orang akan terus bertanya kapan selesai dan sejauh apa keberhasilan dari operasi itu,” kata Pengamat Terorisme di Sulteng itu.

Seorang anak berpapasan dengan anggota Polri bersenjata lengkap saat melakukan penyisiran di permukiman warga mencari terduga teroris di Kelurahan Mamboro, Palu Utara, Sulawesi Tengah, Sabtu (7/11/2020). Mediaalkhairaat.id/Faldi

Dia menjelaskan, usul menghentikan operasi itu sesuai dengan kondisi yang dibutuhkan Sulteng saat ini, yaitu memperlihatkan wajah daerah dengan penuh kedamaian kepada dunia.

Menyambut upaya tersebut, menurut Lukman, maka tidak perlu lagi pengerahan personel aparat Polri maupun TNI bersenjata lengkap di sekitar masyarakat.

Namun, kata dia, penghentian operasi bukan berarti aparat lepas tangan begitu saja, melainkan mengalihkan operasi dengan berbagai program yang bersentuhan langsung dengan masyarakat, dalam rangka pemulihan agar tidak meninggalkan citra yang kurang baik kepada masyarakat.

“Pemulihan kondisi sosial pascaoperasi itu sangat penting, di antaranya menyelesaikan persoalan yang muncul selama operasi berlangsung, seperti kasus salah tembak,” jelasnya.

Membina Pelaku sebagai Proteksi

Lukman juga mengemukakan hal penting lain yang perlu ditempuh pasca berakhirnya operasi. Pembinaan terhadap terhadap pelaku kasus terorisme. Namun, bagi dia, hal itu tidak boleh dilakukan secara general seperti saat ini yang dilakukan oleh beberapa pihak dalam hal ini Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Menurutnya, menyeragamkan konsep deradikalisasi pada semua daerah, hanya akan dapat diterima di beberapa kalangan.

Menurutnya, ada dua tipologi berbeda antara pelaku terorisme di Pulau Jawa dan Indonesia Timur.

“Pertama, tipologi pelaku teror di Pulau Jawa lebih disebabkan pengaruh ideologi luar negeri seperti Al-Qaeda. Sedangkan di bagian Indonesia Timur seperti Poso, Ambon serta Ternate lebih dikarenakan perlakuan yang tidak adil,” ungkapnya.

Bahkan, Lukman yang kerap kali melakukan pembinaan terhadap pelaku tindak pidana terorisme, mengaku belum pernah secara langsung untuk melakukan deradikalisasi.

Sebaliknya, ia hanya melakukan pendekatan secara emosional terhadap para pelaku, baru kemudian mencari tahu keterampilan yang harus diperdalam oleh setiap individu. Sedangkan deradikalisasi masuk dalam tahapan terakhir pembinaan.

“Cara penanganan itu hati mereka dulu yang disentuh, setelah itu baru tangan artinya keterampilan, terakhir baru kepala dengan biasanya muncul atas permintaan mereka untuk diajarkan fiqih maupun keberadaan pancasila,” ucapnya.

Terakhir, Lukman menambahkan ikut melibatkan para mantan pelaku tindak pidana teror sebagai bagian dari upaya penanggulangan terorisme.

“Karena chemistry dengan mereka akan lebih cepat terbangun sehingga akan memudahkan proteksi dini yang dilakukan aparat maupun BNPT, dengan syarat pembinaan kepada mereka harus tuntas sebab jika tidak akan menjadi pintu masuk untuk orang mempengaruhi mereka dan merawat potensi itu meskipun kecil,” tambah Prof Lukman yang juga sebagai Mantan Sekretaris Jendral Pengurus Besar (PB) Alkhairaat.

Mengkaji Perpanjangan Operasi Lagi

Berdasarkan dorongan untuk menyetop perpanjangan operasi perburuan terduga pelaku tindak pidana terorisme dengan pertimbangan telah habisnya kelompok MIT Poso, pihak Polda Sulteng akan melakukan koordinasi dengan Mabes Polri mengenai status operasi Madago Raya.

Kapolda Sulteng, Irjen Pol Rudy Sufahriadi mengatakan mengenai status perpanjangan operasi perburun kelompok MIT dengan sandi Madago Raya besar kemungkinan masih akan dilanjutkan, akan tetapi dengan sifat yang berbeda.

Personel Brimob melakukan penyisiran di pemukiman warga mencari terduga teroris di Kelurahan Mamboro, Palu Utara, Sulawesi Tengah, Sabtu (7/11/2020). Mediaalkhairaat.id/Faldi

“Mengenai operasi yang pasti kami berkoordinasi dengan Mabes Polri akan dilanjutkan dengan operasi mungkin yang lain sifatnya,” kata Irjen Pol Rudy di Polsek Poso Pesisir Utara, Jumat.

Salah satu dasar dari rencana perpanjangan operasi itu, sambung Irjen Pol Rudy, adalah masih banyak simpatisan Mujahidin Indonesia Timur berkeliaran bebas baik itu di wilayah Kabupaten Poso maupun Sulteng secara umum.

Oleh karena itu, Kapolda Sulteng berharap agar masyarakat berperan aktif dalam upaya menurunkan tensi radikalisme serta memelihara kedamaian yang ada di tanah Poso.

Adapun operasi perburuan terhadap kelompok sipil bersenjata yang Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Santoso di Kabupaten Poso, pertama kali mulai Januari 2015 dengan sandi Camar Maleo.

Kala itu operasi tersebut diperpanjang hingga empat kali dan berakhir pada Januari 2016. Kemudian berlanjut dengan mengganti sandi menjadi Tinombala dengan melibatkan ribuan personel baik dari Polri maupun TNI dan berakhir pada Januari 2021.

Operasi dengan tujuan yang sama itu diputuskan kembali berlanjut pada Januari 2021, akan tetapi dengan mengubah nama menjadi Operasi Madago Raya yang memiliki makna baik hati atau dekat dengan masyarakat dalam bahas lokal Poso.

Berdasarkan catatan, per Januari 2022, tercatat operasi Madago Raya masih melibatkan 1.378 personel gabungan dengan rincian 1.111 dari unsur Polri, sedangkan 267 personel dari unsur TNI.

Jumlah itu terus menyusut, per Maret 2022, setelah pihak TNI telah memulangkan 167 personel BKO ke kesatuan masing-masing, sedangkan 100 personel yang bertahan adalah yang berasal dari wilayah Sulteng sendiri.

MIT didirikan oleh Santoso di Poso Tahun 2010. Ia didapuk menjadi pemimpin tertinggi di tahun 2012 dan berhasil dilumpuhkan saat kontak tembak pada 18 Juli 2016. Ia digantikan Ali Kalora sebelum akhirnya menyusul tewas tertembak pada 18 September 2021.

Percaya terhadap Polri

Ketua Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sulawesi Tengah (DPRD Sulteng) Sri Indraningsih Lalusu menyampaikan, akan tetap mempercayakan jajaran Polri dalam menuntaskan kasus tindak pidana terorisme di Kabupaten Poso.

“Kami tetap mempercayakan keamanan wilayah Sulteng khususnya di Poso kepada Polri dan TNI sampai tuntas dan adanya jaminan hal semacam itu tidak akan terulang kembali,” kata Sri Indraningsi di Palu, Selasa.

Dia menyampaikan apresiasinya terhadap kinerja dua unsur keamanan negara itu setelah berhasil menumpas terduga anggota terakhir dari kelompok MIT Poso, Askar alias Jaid, di KM 13 Desa Kilo, Kabupaten Poso, Kamis (29/9).

Meskipun begitu, sambung Sri, Polri maupun TNI tidak boleh berhenti pada penumpasan terakhir itu, melainkan harus tetap melanjutkan pemantauan untuk memproteksi Sulteng dari berbagai ancaman kekerasan yang tidak hanya pada tindak pidana terorisme, melainkan juga pada kasus-kasus yang lain.

“Sehingga memang tergantung dari analisa Polri apabila masih ada potensi itu maka tidak boleh berhenti, kami akan mendukung sinergitas yang sudah terbangun bersama Pemprov, Pemda, Polri maupun TNI,” jelasnya.

Oleh karena itu, dia mengatakan akan memberikan dukungan penuh terhadap berbagai program pembinaan maupun peningkatan sumber daya manusia (SDM) dalam rangka mewujudkan ketertiban sosial di Kabupaten Poso.

“Karena penanganan Poso itu harus optimal dan komperhensif sekaligus memberikan dampak secara langsung bagi masyarakat,” demikain Ketua Komisi I DPRD Sulteng itu.

Reporter : Faldi
Editor : Rifay