Merindukan makanan daerah asal menjadi bagian dari kerinduan anak-anak rantau. Sama halnya dengan Agil yang kerap merindukan pisang goreng dan nasi kuning Palu yang khas.
Kerinduan ini terkadang muncul selama ia berada perbatasan Indonesia-Timor Leste tepatnya di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Agil merupakan alumni Pengajar Muda (PM) Indonesia Mengajar yang ditugaskan di Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh tahun 2021 hingga 2022. Di Aceh Singkil, pria kelahiran Tondo, Kecamatan Sirenja, Kabupaten Donggala itu, pernah punya program penangkaran kupu-kupu.
Purna tugas sebagai PM, alumni Pendidikan MIPA Fakultas MIPA Universitas Tadulako (Untad) menjadi fasilitator Jafpa for Kids (PT. Jafpa Confeed Indonesia tbk) tahun 2022 sampai 2023 di Kabupaten Maros.
Kegiatan pendampingan itu (Jafpa for Kids) bertujuan untuk membersamai guru, orang tua dan pihak lain dalam kesehatan peserta didik. Dalam menunjang program tersebut, semua siswa sekolah dilakukan pemeriksaan kesehatan dan ditentukan kategori gizi setelah itu akan dilakukan intervensi bagi siswa yang malnutrisi.
Peserta didik yang kurang gizi dan buruk, lanjut Agil, akan diberikan telur setiap hari sedangkan yang gizi lebih dan obesitas dirutinkan berolahraga. Selain itu, di sekolah juga dibentuk duta anak sehat untuk membantu guru dan pihak puskesmas dalam pemeriksaan kesehatan.
“Tugas utama saya sebagai fasil adalah melakukan pemantauan pemberian telur tiap hari, pemantauan status gizi semua siswa, memberikan pelatihan untuk guru dan siswa,” lanjutnya, Rabu (31/01).
Lepas menjadi fasilitator dalam program Jafpa for Kids, Staff Laboratorium / QC PT Agro Manunggal Cocos (2017 – 2020) itu menjadi fasilitator Bantu Guru Belajar Lagi (BGBL) program Guru Merdeka Mengajar yang membuatnya mendiami pulau Timor sejak lima bulan lalu.
Sebagai fasilitator BGBL ia dipercayakan mendampingi guru-guru di sekolah PAUD Moris Foun dan PAUD Brithany Kecamatan Tasifeto Timur desa Manleten. Pendampingan dilakukan dengan memberikan pelatihan yang disesuaikan dengan kebutuhan guru masing-masing sekolah.
Selain materi penguatan pembelajaran di kelas, guru juga dilatih menggunakan alat Montessori. Pelatihan berlangsung dua kali untuk satu sekolah dalam satu pekan.
Ada banyak alat atau metode montessori yang harus diajarkan, tetapi semua berdasarkan kebutuhan. Materi Montessori yang sudah diajarkannya diantaranya, manajemen kelas, disiplin positif, tahap perkembangan anak.
Meski aktivitasnya sehari-hari berangkat ke sekolah bersama guru dan memberi pelatihan, bermain bersama anak-anak adalah kegiatan paling seru baginya yang pernah menjadi tenaga pendidik di SMP IT AL – Fahmi Palu.
“Kepolosan mereka kadang membuat tawa saya tidak terkontrol dan anak-anak kadang bingung apa yang saya tertawakan. Bermain sama anak-anak di sekolah jadi pengobat penat yang paling ampuh,” ungkap Agil.
Pernah suatu hari ketika ia memegang globe, satu anak bertanya, Pak Guru di mana rumah kita? Pernah pula ia mendengar pertanyaan, apa itu manja? Atau kalimat-kalimat ajaib lainnya.
“Pertanyaan, sayang itu bukannya pacar? Kalau ini pertanyaan untuk guru waktu apel pagi. Ada salah satu anak yang dipanggil sayang, salah satu dari mereka bertanya “kenapa di panggil sayang? sayang itu untuk pacar,” tutur Agil.
Terbentuknya kesadaran bahwa tugas pendidikan adalah tugas bersama semua kalangan, bukan hanya tugas guru di sekolah, adalah impian penerima beasiswa Bidikmisi (sekarang KIP) itu terhadap dunia pendidikan ke depan.
Pendidikan bukan hanya tugas pemerintah tapi tugas semua, siapa pun itu. Sehingga Jika semua pihak bekerja sama, akan terbentuk generasi yang berkarakter baik untuk masa depan. Impiannya inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa ia terjun dalam dunia pendidikan.
“Sekali terjun pengen terjun lagi, begitu mungkin yang saya rasakan sekarang. Wajah orang-orang di daerah adalah wajah yang penuh harapan untuk perubahan bagi anak mereka. Harapan itu yang membuat saya ingin mendampingi terus menerus,” kata Agil yang pernah menjadi relawan Ramadhan for Charity (RFC) Palu.
Meski telah menjadi candu, laki-laki berdarah bugis itu membeberkan berbagai tantangan yang tidak dapat dihindarinya. Di awal kedatangannya di bulan kemerdekaan, ia disambut dengan kemarau panjang. Panas di perbatasan Indonesia – Timor Leste dirasakannya lebih sulit dibanding di Kota Kaktus. Suhu panas yang tinggi membuatnya ingin mengguyur tubuhnya beberapa kali dalam sehari. Tetapi, di desa tempatnya bertugas, air sangat sulit diperoleh di musim panas itu.
Sulitnya mengakses air berangsur mudah ketika musim kemarau sedikit bergeser. Air mengalir sekali dalam dua pekan. Rumah orang tua angkatnya memiliki banyak penampungan air, dan mereka menampung air hingga dini hari.
Finalis 10 besar kompetisi essai ‘MbangunDeso’ itu tinggal di rumah Claudius Hale, ketua suku Fatara. Tinggal dan beraktivitas di rumah kepala Suku, Agil telah diberitahu sejak awal bahwa akan banyak acara kumpul-kumpul di rumah itu, yang biasanya akan menyembelih babi.
“Bapa menjelaskan keadaan rumah seperti apa jika ada acara atau pesta. Kalau ada ayam yang di potong, saya yang potong. Saya berusaha membaur dengan tetap menghormati tradisi mereka. mereka juga sangat menghargai saya terlebih terkait prinsip agama. Saya ikut aktivitas mereka, misal bantu adik angkat saya jaga sapi atau ke kebun,” pungkas pria kelahiran 27 maret 1995 itu.
Terkait prinsip-prinsip yang menyangkut agama, seperti halnya keluarga angkatnya yang memberi tahu tradisi dan budaya suku Fatara, ia juga memberi tahu hal-hal mana yang boleh dan tidak boleh ia lakukan. Ia biasanya mengobrolkan hal tersebut sembari memisahkan jagung pasca panen untuk benih bibit di musim tanam.
Prinsip-prinsip itu misalnya terkait bersentuhan dengan lawan jenis dan tidak minum minuman beralkohol. Karenanya, tidak jarang pada acara-acara kumpul-kumpul, bapak angkatnya selalu memberi tahu orang lain.
“Bapak saya bilang, untuk anak saya biar saya yang wakili karena dia tidak bisa minum. Kalau berdansa, karena orang di sini gemar berdansa, hampir setiap perayaan, saya menolak dan terus bilang maaf. Kalau untuk tarian lain, saya hanya duduk diam, karena waktu awal itu belum tahu,” terangnya.
Untuk shalat jumat Agil harus ke kota yang jarak dari rumahnya kira-kira 30 menit dengan sepeda motor.
“Ada masjid yang dekat, berjarak sekitar lima menit saja, dalam komplek tentara, tetapi masuk ke dalam itu perlu izin. Diawal-awal saya perlu menunjukkan KTP baru bisa masuk,” imbuh Agil.
Anggota Divisi IPTEK HIMABIO (Himpunan Mahasiswa Biologi) Universitas Tadulako itu menghadapi banyak hal lucu. Ia hampir beberapa kali digigit anjing. Di atas motor pun, anjing bisa mengejar.
Hal lainnya yang ia alami adalah memasak di tungku dengan kayu bakar. Hal yang telah lama sekali ia lakukan ketika ia masih kecil. Di daerah lain ketika menjadi fasilitator, ia tidak melakukan hal tersebut.
Selain aktif dalam dunia pendidikan, Agil juga memiliki ketertarikan dalam dunia social – lingkungan. Ia mengelola Kebun Kirana (kebun hidroponik) sebuah usaha ekonomi dan mengelola sampah bersama komunitasnya.
Agil juga merupakan anggota komunitas Tangkasi (Tadulako untuk Ekologi dan Konservasi), dan finalis 3 besar kompetisi Pekan Ilmiah Mahasiswa Universitas Tadulako Perwakilan Universitas Tadulako pada kompetisi KTIM Nasional 2ND Annual Biology Exhibition di Medan.
Reporter : Iker
Editor : Rifay