Agil, Alumni Untad yang Menjadi Relawan Pendidikan di Perbatasan Indonesia-Timor Leste

oleh -
Agil

“Sekali terjun pengen terjun lagi, begitu mungkin yang saya rasakan sekarang. Wajah orang-orang di daerah adalah wajah yang penuh harapan untuk perubahan bagi anak mereka. Harapan itu yang membuat saya ingin mendampingi terus menerus,” kata Agil yang pernah menjadi relawan Ramadhan for Charity (RFC) Palu.

Meski telah menjadi candu, laki-laki berdarah bugis itu membeberkan berbagai tantangan yang tidak dapat dihindarinya. Di awal kedatangannya di bulan kemerdekaan, ia disambut dengan kemarau panjang. Panas di perbatasan Indonesia – Timor Leste dirasakannya lebih sulit dibanding di Kota Kaktus. Suhu panas yang tinggi membuatnya ingin mengguyur tubuhnya beberapa kali dalam sehari. Tetapi, di desa tempatnya bertugas, air sangat sulit diperoleh di musim panas itu.

Sulitnya mengakses air berangsur mudah ketika musim kemarau sedikit bergeser. Air mengalir sekali dalam dua pekan. Rumah orang tua angkatnya memiliki banyak penampungan air, dan mereka menampung air hingga dini hari.

Agil bersama guru dan murid PAUD Moris Foun. (FOTO: IST)

Finalis 10 besar kompetisi essai ‘MbangunDeso’ itu tinggal di rumah Claudius Hale, ketua suku Fatara.  Tinggal dan beraktivitas di rumah kepala Suku, Agil telah diberitahu sejak awal bahwa akan banyak acara kumpul-kumpul di rumah itu, yang biasanya akan menyembelih babi. 

“Bapa menjelaskan keadaan rumah seperti apa jika ada acara atau pesta. Kalau ada ayam yang di potong, saya yang potong. Saya berusaha membaur dengan tetap menghormati tradisi mereka. mereka juga sangat menghargai saya terlebih terkait prinsip agama. Saya ikut aktivitas mereka, misal bantu adik angkat saya jaga sapi atau ke kebun,” pungkas pria kelahiran 27 maret  1995 itu.

Terkait prinsip-prinsip yang menyangkut agama, seperti halnya keluarga angkatnya yang memberi tahu tradisi dan budaya suku Fatara, ia juga memberi tahu hal-hal mana yang boleh dan tidak boleh ia lakukan. Ia biasanya mengobrolkan hal tersebut sembari memisahkan jagung pasca panen untuk benih bibit di musim tanam.

Prinsip-prinsip itu misalnya terkait bersentuhan dengan lawan jenis dan tidak minum minuman beralkohol. Karenanya, tidak jarang pada acara-acara kumpul-kumpul, bapak angkatnya selalu memberi tahu orang lain.

“Bapak saya bilang, untuk anak saya biar saya yang wakili karena dia tidak bisa minum. Kalau berdansa, karena orang di sini gemar berdansa, hampir setiap perayaan, saya menolak dan terus bilang maaf. Kalau untuk tarian lain, saya hanya duduk diam, karena waktu awal itu belum tahu,” terangnya.

Untuk shalat jumat Agil harus ke kota yang jarak dari rumahnya kira-kira 30 menit dengan sepeda motor.

“Ada masjid yang dekat, berjarak sekitar lima menit saja, dalam komplek tentara, tetapi masuk ke dalam itu perlu izin. Diawal-awal saya perlu menunjukkan KTP baru bisa masuk,” imbuh Agil.

Anggota Divisi IPTEK HIMABIO (Himpunan Mahasiswa Biologi) Universitas Tadulako itu menghadapi banyak hal lucu. Ia hampir beberapa kali digigit anjing. Di atas motor pun, anjing bisa mengejar.

Hal lainnya yang ia alami adalah memasak di tungku dengan kayu bakar. Hal yang telah lama sekali ia lakukan ketika ia masih kecil. Di daerah lain ketika menjadi fasilitator, ia tidak melakukan hal tersebut.

Selain aktif dalam dunia pendidikan, Agil juga memiliki ketertarikan dalam dunia social – lingkungan. Ia mengelola Kebun Kirana (kebun hidroponik) sebuah usaha ekonomi dan mengelola sampah bersama komunitasnya.

Agil juga merupakan anggota komunitas Tangkasi (Tadulako untuk Ekologi dan Konservasi), dan finalis 3 besar kompetisi Pekan Ilmiah Mahasiswa Universitas Tadulako Perwakilan Universitas Tadulako pada kompetisi KTIM Nasional 2ND Annual Biology Exhibition di Medan.

Reporter : Iker
Editor : Rifay