Siapa pun orangnya  tentu  memerlukan nasihat. Hal ini karena, nasihat-nasihat yang baik akan memberikan motivasi dan mengarahkan kehidupan kita menjadi lebih baik.

Karena itu, Rasulullah SAW juga sering mendapat nasehat secara khusus dari malaikat Jibril, sahabat-sahabat juga sering mendapatkan nasihat dari Rasulullah saw.

Di antara nasihat beliau adalah yang disampaikan kepada sahabat Abu Dzar Al Ghifari yang muatannya tentu tidak hanya khusus untuknya, tapi juga untuk kita semua. Bunyi nasihat beliau:

“Wahai Abu Dzar, perbaharuilah kapalmu karena laut itu dalam; ambilah bekal yang cukup karena perjalanannya jauh; ringankan beban bawaan karena lereng bukit sulit dilalui, dan ikhlaslah beramal karena Allah Maha Teliti.”

Pesan Rasulullah itu  disampaikan dalam makna tersirat. Pengertian tersebunyi dalam kata-kata kiasan di dalamnya. Menurut penulis Nashaihul ‘Ibad, Syekh Muhammad bin Umar Nawawi al-Bantani (Imam Nawawi), perintah untuk memperharui perahu berarti menata niat.

Niat merupakan hal pokok dalam setiap perbuatan. Sebelum seseorang hendak berlayar, ia harus memastikan kapal dalam kondisi siap dan aman; memeriksa mesin, mempertimbangkan cuaca, dan lain-lain.

Begitu pula dengan hubungan niat dan amal. Artinya, seseorang yang ingin melakukan sesuatu hendaklah menertibkan rencana dan tujuan yang bagus. Selain memantapkan langkah, niat juga membantu seseorang untuk fokus pada arah yang digariskan, yakni untuk mencari ridha Allah subhanahu wata’ala.

Tentang niat sebagai pekerjaan yang wajib dalam setiap amal dapat kita simak dengan jelas dalam hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim bahwa “Sesungguhnya sahnya setiap amal perbuatan adalah dengan niat. Setiap orang hanya memperoleh dari apa yang ia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya kepada dunia, maka ia akan mendapatkannya. Atau, kepada wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya itu kepada sesuatu yang karenanya ia berhijrah.”

Niat adalah pekerjaan hati. Dalam fiqih menjadi bagian dari rukn qalbi atau rukun hati. Karena itu, ia bersifat tersembunyi, tak ada orang lain yang bisa menyaksikannya kecuali Allah dan dirinya sendiri. Bibir bisa saja berucap tujuan A, tapi siapa yang tahu hati berkehendak untuk tujuan lain?

Itulah sebabnya ibadah sebagus apa pun apabila tak disertai dengan niat yang baik maka akan menjadi sia-sia belaka. Tetapi perbuatan yang sekilas terlihat “remeh” dengan niat yang tertata dan baik maka akan menjadi memiliki nilai.

Artinya: “Banyak perbuatan yang tampak sebagai perbuatan duniawi berubah menjadi perbuatan ukhrawi lantaran niat yang bagus. Banyak pula perbuatan yang terlihat sebagai perbuatan ukhrawi bergeser menjadi perbuatan duniawi lantaran niat yang buruk.”

Yang kedua, Rasulullah mengingatkan Abu Dzar dan kita semua tentang usaha untuk menumpuk perbekalan sesempurna mungkin karena perjalanan akan panjang.

Menurut Syekh Nawawi, yang dimaksud di sini tentu adalah perjalanan akhirat yang penuh dengan jerih payah melebihi perjalan dunia yang fana ini.

Karena perjalanan tersebut adalah perjalanan akhirat maka bekalnya pun bukan kekayaan duniawi. Kita pergi ke akhirat hanya membawa bekal amal kebaikan. 

Cakupan amal saleh sangat luas. Tak hanya meliputi ibadah ritual semacam shalat, wirid, atau puasa. Amal saleh juga bisa berupa membantu pendidikan anak miskin yang sedang kesusahan, membebaskan hewan dari sangkar ke habitat semestinya. Menyumbang untuk lembaga pendidikan Islam.

Nasihat berikutnya yakni perintah untuk meringankan beban bawaan karena terjal dan berlikunya lereng gunung yang dilintasi. Perjalanan yang jauh dengan tingkat kesulitan yang tinggi menuntut seseorang untuk mempertimbangkan barang-barang bawaan saat bepergian.

Ini merupakan kiasan dari anjuran untuk tak terlalu meninggalkan beban duniawi yang bakal menghambat perjalanan akhirat. Nabi mendorong umatnya agar tak terlalu terpukau pada kehidupan dunia karena semakin banyak, semakin banyak pula beban yang bakal ditanggung.

Nasihat yang keempat adalah akhlish al-‘amala, murnikanlah berbuat hanya untuk tujuan mencari ridha Allah.

Jika kita belajar fiqih, ikhlas memang tak menjadi salah satu rukun yang mesti dilakukan. Tapi ikhlas adalah “ruh” yang menentukan apakah suatu amal memiliki harga di sisi Allah subhanahu wata’ala. Wallahu a’lam

DARLIS MUHAMMAD (REDAKTUR SENIOR MEDIA ALKHAIRAAT)