Oleh: Gladius Alfonsus*

SETELAH mencatat capaian angka kemiskinan terendah pada September 2021, angka kemiskinan Provinsi Sulawesi Tengah kembali mengalami kenaikan pada Maret 2022. Ketua Tim Statistik Ketahanan Sosial BPS Provinsi Sulawesi Tengah, Ir. Jefrie Wahido, M.Si, yang mendampingi Plh. Kepala BPS Provinsi Sulawesi Tengah, Imron Taufik Musa, M.Si, pada press release Senin lalu (18/7) menyampaikan persentase kemiskinan pada Maret 2022 sebesar 12,33 persen, naik 0,15 persen poin dibanding September 2021, namun turun 0,67 persen poin dibanding Maret 2022. Disampaikan pula bahwa meski mengalami kenaikan, angka kemiskinan pada Maret 2022 ini masih merupakan capaian terendah kedua Sulawesi Tengah setelah capaian pada September tahun lalu.

Dalam rilis tersebut juga disampaikan bahwa kenaikan harga yang cukup drastis pada beberapa komoditi makanan seperti cabe, minyak goreng, hingga rokok, merupakan faktor yang dominan memicu kenaikan  angka kemiskinan. Catatan BPS menunjukkan pada bulan Maret 2022 terjadi inflasi sebesar 1,08 persen sedangkan pada September 2021 justru terjadi deflasi 0,04 persen. Laju inflasi sepanjang September 2021-Maret 2022 juga lebih tinggi 2,28 poin dibanding periode Maret-September 2021.

Di balik naiknya angka kemiskinan pada periode September 2021-Maret 2022 tersebut, BPS Sulteng mencatat terjadinya perbaikan kesenjangan pendapatan pada periode yang sama. Angka Gini Ratio Maret 2022 turun 0,018 poin dibanding September 2021 menjadi 0,308. Pada periode tersebut pengeluaran per kapita penduduk pada kelompok 40 persen terbawah meningkat 2,44 persen, sedangkan pada kelompok 20% teratas justru mengalami penurunan sebesar 5,97 persen.

Membaiknya angka Gini Ratio yang dibarengi dengan naiknya angka kemiskinan memberikan gambaran bahwa peningkatan pendapatan kelompok masyarakat terbawah belum mampu mengimbangi kenaikan Garis Kemiskinan (GK) yang dipicu oleh inflasi. Kondisi inflasi seperti digambarkan di atas ternyata memicu naiknya GK sebesar 4,87 persen menjadi Rp. 530.251,- pada Maret 2022, atau dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan kenaikan pengeluaran per kapita penduduk pada kelompok 40 persen terbawah.

Dari informasi-informasi tersebut, dapatlah disampaikan beberapa catatan untuk dicermati bersama dalam rangka menekan pertumbuhan angka kemiskinan. Pertama, pengendalian inflasi utamanya pada kelompok makanan sangatlah penting dilakukan. Pemerintah perlu memprioritaskan pengendalian inflasi pada komoditi makanan yang memiliki pengaruh besar pada pertumbuhan Garis Kemiskinan (GK). Catatan BPS menunjukkan pada bulan Maret 2022, dari 10 komoditi yang berpengaruh besar pada GK, tujuh komoditi diantaranya yaitu cabe, minyak goreng, ikan tongkol/tuna/cakalang, bawang merah, telur ayam ras, gula, dan rokok kretek menunjukkan kenaikan harga antara 3-42 persen. Kedua, indikator-indikator yang berkorelasi kuat dengan angka kemiskinan, seperti tingkat pengangguran, nilai tukar petani, pertumbuhan ekonomi hendaknya tidak saja dipertahankan berada pada tren yang positif, namun perlu diperhatikan ‘kualitasnya’. Penurunan pengangguran Sulteng pada Februari 2022, dan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi pada triwulan I 2022 lebih didominasi oleh pertumbuhan pada sektor industri pengolahan yang relatif sulit diakses oleh kelompok penduduk terbawah. Sektor lain seperti pertanian, konstruksi, pertambangan, yang lebih mudah diakses hendaknya juga terus didorong agar dapat bertumbuh seiring perkembangan di sektor industri pengolahan. Ketiga, bantuan sosial non tunai bagi rumah tangga sasaran (RTS) hendaknya dapat lebih beragam bentuknya. Contohnya pada jaminan kesehatan, dimana sebagian besar RTS hanya mengakses bantuan jika ada anggota rumah tangganya yang sakit. Dengan kondisi tersebut, maka RTS yang anggota rumah tangganya sehat-sehat saja akan memiliki pengeluaran yang lebih kecil. Pemerintah tentunya dapat  mengupayakan agar seluruh RTS dapat mengakses bantuan tersebut tanpa menunggu ada yang sakit, misalnya dengan pemberian konsultasi kesehatan gratis. Dengan begitu seluruh RTS akan memiliki pengeluaran rumah tangga yang lebih meningkat, yang tentunya mengindikasikan konversi pendapatan yang lebih meningkat pula.

Persoalan kemiskinan dan kesenjangan memang menjadi momok bagi seluruh negara di dunia. Persoalan ini kerap dianggap sebagai akar dari timbulnya berbagai permasalahan sosial lainnya. Kita tentunya berharap dengan berbagai upaya keras pemerintah pusat dan daerah akan mampu mengatasi persoalan tersebut, sehingga kondisi ideal yang menjadi harapan kita bersama dimana pemerataan pendapatan yang dibarengi dengan penurunan angka kemiskinan akan senantiasa tercapai.

*Penulis adalah Statistisi Ahli Muda BPS Prov. Sulteng