Pekan ini dua masjid terbesar dan termewah di Kota Palu menjadi buah bibir masyarakat, Pertama  mantan pengurus teras Masjid Raya Lolu melaporkan  sesame pengurus masjid ke Polisi, Tidak jauh jauh kasusnya soal keuangan masjid yang sudah berpindah tangan berkisar Rp 100 juta lebih sedikit.

Kedua soal  Masjid Agung Darussalam, sebuah masjid kebanggaan  warga kota Palu sedang menghelat acara besar yakni pameran Sulteng Ekspo. Bukan pamerannya yang disorot tapi panggung hiburannya diisi music hingar bingar pop rock yang hedonistic itu. Lantaran itu masjid raya kehilangan wibawa dan marwah. Nilai-nilai kesuciannya menjadi rontok seketika.  Masyarakat pun mengecam panggung hiburan itu.

Kita tak berandai-andai dalam hal ini, tapi phenomena dua masjid yang menjadi symbol masyarakat Islam kota Palu menjadi penanda. Bagaimana dengan masjid lainnya yang tak punya manajemen  rapi. Asumsi bahwa masjid sebagai tempat peradaban umat menjadi rubuh dengan adanya dua kasus  di atas.

Karena itu institusi keagamaan seperti MUI dan Dewan Masjid Indonesia (DMI) atau organisasi keagmaan lainnya perlu menuntaskan masalah ini agar kepercayaan umat tidak runtuh. Kita  amat merindukan  manajemen masjid yang sesuai tuntunan Rasul.  Kita tak butuh masjid megah, tak perlu masjid mewah. Tapi butuh pengurusnya yang taat sunnah dan berpikir kepentingan jamaah.

Kita rindu masjid yang benar-benar berfungsi sebagai tempat strategis umat. Masjid yang optimal berperan menjalankan fungsi pendidikan, perekonomian, dan fungsi sosial.

Kita amat miris dengan kasus di lapangan, pengurus masjid yang kerap berselisih. Ada yang berebut jadi ketua, ada pula yang menyoal laporan keuangan.

Miris juga bila mengamati saldo kas di sejumlah masjid. Rerata puluhan juta. Kalau lebih wah dan besar masjidnya, bisa sampai ratusan juta. Sedang pengeluaran per bulan hanya sekian persennya.

Semisal untuk biaya Khatib Jumat, gaji marbot, listrik, air, biaya perawatan rutin. Pengeluarannya hanya sekian persen dari total saldo kas. Sedang tiap pekan bahkan tiap minggu, selalu bertambah dari para jamaah yang infak atau sedekah.

Untuk apa saldo yang begitu besar hanya disimpan? Apa iya disimpan di bank ribawi? Bukankah ini sesuatu yang sangat naif.

Kemudian, kalau kegunaan saldo masjid hanya fokus untuk pembangunan fisik, bagaimana dengan pembangunan sumber daya manusia? Bukankah Rasulullah mengawali dengan membangun akhlak Sahabatnya, bukan fisik masjidnya.

Barangkali uang dari jamaah masjid bisa digunakan untuk membangun SDM. Minimal, saldo jumbo itu bisa digunakan membantu jamaah sekitar masjid. Di perumahan di Jakarta, misalnya. Biasanya satu masjid pengurus dan jamaah rutinnya dari sekian RT.

Jika dalam RT atau sekitar masjid ada orang yatim, fakir miskin, bukankah uang jamaah di masjid lebih bermanfaat membiayai mereka? Meringankan beban mereka tak sekadar saat pembagian zakat fitrah dan hewan qurban saat Hari Raya saja.

Atau mungkin bisa kah untuk membangun perekonomian umat para jamaah masjid? Bukan justru membangun ruangan aula resepsi pernikahan, yang nilai ekonomisnya hanya masuk dalam endapan saldo. (Darlis Muhammad)