PALU – Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) dari Fraksi NasDem, Yahdi Basma mengatakan, dirinya akan berupaya mendorong terbantuknya panitia khusus (pansus) jilid III dalam rangka pengawasan penanggulangan pascabencana alam Palu, Sigi, Donggala dan Parigi Moutong.
Upaya itu akan dilakukan, menyusul masih banyaknya persoalan pascabencana alam tanggal 28 September 2018 silam yang belum terselesaikan. Persoalan yang dimaksud, di antaranya mengenai nasib penyintas yang hingga tiga tahun ini belum juga memiliki hunian tetap.
DPRD Sulteng sendiri telah dua kali membentuk pansus pengawasan penanggulangan pascabencana alam. Pansus pertama dibentuk pada periode 2014-2019 yang diketuai sendiri oleh Yahdi Basma. Pansus kedua kembali dibentuk pada periode 2019-2024, diketuai almarhum Budi Luhur Larengi.
Pansus ini telah selesai bekerja dan telah menghasilkan sejumlah rekomendasi, baik untuk pemerintah pusat, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulteng, pemerintah kabupaten/kota yang mengalami bencana maupun pihak lainnya yang terkait dengan kebencanaan.
“Pansus ini juga untuk menagih kepada pihak terkait mengenai rekomendasi yang sudah dikeluarkan oleh pansus sebelumnya,” tutur Yahdi saat kegiatan media gathering di Ruang Baruga, DPRD Sulteng, Kamis (30/09).
Sebelum terbentuknya pansus nanti, kata dia, tentunya secara internal ia mesti meyakinkan pimpinan DPRD, rekannya sesama di Fraksi NasDem, kemudian anggota DPRD lainnya di fraksi lain, mengenai pentingnya pembentukan pansus tersebut.
“Di sini juga kita ingin memastikan apa yang telah dijanjikan Bapak Gubernur, Rusdi Mastura sebelum ia terpilih. Pak Gubernur sudah pernah berjanji bahwa ia akan memastikan bahwa segala urusan yang terkait dengan kebencanaan bisa diselesaikan hingga akhir tahun 2021 ini,” ungkap Yahdi.
Ia pun berharap kepada sejumlah pihak, baik kalangan media maupun para aktivis yang berkaitan langsung dengan kebencanaan untuk sama-sama mengawal komitmen Gubernur Sulteng bahwa tidak lagi ada air mata pengungsi tidak ada orang yang menari di atas penderitaan para penyintas..
Terkait dengan sejumlah kendala yang dialami para penyintas hingga belum juga mendapatkan hunian tetap, seperti tidak memiliki alas hak atas tanah, menurutnya itu hanyalah syarat yang dibuat-buat oleh pemerintah.
“Negara tidak boleh mengeluarkan argumentasi yang tidak etis dengan menyaratkan alas hak untuk mendapatkan hunian tetap. Karena di undang-undang sendiri tidak menyebutkan bahwa korban bencana itu bukan hanya orang yang memiliki alas hak, tapi korban bencana itu adalah orang yang meninggal dunia dan orang yang menderita akibat bencana,” tegasnya
Selain kalangan media, kegiatan tersebut juga dihadiri sejumlah aktivis kebencanaan dan para relawan, salah satunya dari Celebes Bergerak, Doni Moidadi.
Direktur Yayasan Merah Putih itu mengatakan, Pemerintah Kota (Pemkot) Palu sendiri terkesan lepas tangan dengan masalah yang dialami para penyintas.
Saat HUT ke-43 Kota Palu beberapa hari yang lalu, kata dia, ada beberapa penyintas yang melakukan aksi meminta kejelasan nasib mereka. Beberapa di antara mereka mengalami pengusiran dari hunian sementara (huntara) yang mereka tinggali selama ini karena beberapa alasan, di antaranya karena lokasi yang digunakan akan dibuat lapangan sepak bola.
“Kabarnya juga ada pungutan di tiap huntara sebesar Rp150 ribu, ini juga perlu kejelasan untuk apa pungutan itu. Kemudian penyintas yang tidak punya alas hak bagaimana statusnya. Itu kalau di hadapan hukum bagaimana status keperdataannya. Apakah mereka juga diurus oleh Pemkot. Menurut kami, Pemkot harus urus juga karena mereka adalah warganya juga yang sudah tinggal bertahun-tahun di sini,” katanya. (RIFAY)