Praktik Pertambangan Tanpa Izin (PETI) kata dia, menyebabkan kerugian Negara tidak sedikit jumlahnya, kerusakan lingkungan, banjir dan rusaknya sungai-sungai sebagai sumber air minum dan sumber air pertanian masyarakat.
“Kota Palu, Kabupaten Donggala, Poso, Parigi Moutong, Tolitoli dan Buol tercatat menjadi wilayah yang subur bagi Pertambangan Tanpa Izin (PETI) yang berkedok Tambang Rakyat tersebut,”tuturnya.
Salah satu penyebab utama carut-marut persoalan pertambangan emas saat ini adalah kata dia, karena adanya perubahan kewenangan pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) Mineral dan Logam menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, membuat kewenangan Pemerintah Daerah menjadi sangat terbatas.
Protes-protes penolakan masyarakat yang terus berlanjut terhadap kehadiran korporasi tambang emas dan juga protes masyarakat terhadap korporasi pertambangan emas yang diduga telah melakukan pelanggaran, hanya berakhir menjadi sebuah rekomendasi-rekomendasi yang tidak berujung.
Sehingga geliat sektor pertambangan dan upaya Pemda Sulteng menggenjot pendapatan daerah melalui sektor pertambangan, dan abai terhadap protes ataupun penolakan masyarakat atas kehadiran investasi tambang emas. Ini menjadi ironi ketika setiap tahunnya Pemda Sulawesi Tengah mengalami defisit anggaran rata-rata 1,65 terhadap PDRB.
Hal-hal di atas, jika tak ada penanganan serius dan fundamental oleh Pemda Sulteng dan Aparat Penegak Hukum, pada gilirannya, akan menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan hidup manusia, degradasi lingkungan hidup, turunnya populasi banyak spesies dan makin cepatnya kepunahan; pengurasan sumber daya alam, pemanasan global dan perubahan iklim.
Reporter: IKRAM
Editor: NANANG