Ustadz Gani Jumat: Sesar Palu Koro Itu Sunatullah

oleh -
BERGESER hingga ratusan meter ke arah Barat Laut akibat gempa bumi yang berkekuatan 7,4 sr yang memicu fenomena Liqufaksi, Jum'at (28/9), beginilah kondisi lapangan sepak bola di Desa Sibalaya Utara, Kecamatan Tanmbulava. Sejumlah warga masih terus mencari sisa – sisa harta benda mereka yang masih bisa diselamatkan. (FOTO : MAL/FALDI)

PALU – Dekan Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palu, Dr. Abdul Gani Jumat mengatakan perlunya belajar mitigasi bencana dari umat-umat terdahulu.

Hal itu disampaikannya saat membawakan ceramah di malam ke-21 Ramadhan, di Masjid Raya Baiturrahim Lolu, Sabtu (25/05) malam.

Nabi Nuh AS, kata dia, seperti yang diceritakan dalam Al-Qur’an, memberikan dua model mitigasi bencana, yakni fisik dan non fisik.

“Apa bentuk mitigasi yang dilakukan Nabi Nuh? Berdasarkan petunjuk kenabian, dia diperintahkan oleh Allah untuk membuat perahu atau bahtera yang bisa menampung penumpang sampai 1000 orang. Inilah mitigasi fisik,” terang Ketua IKA PMII Sulteng itu.

Nabi Nuh AS, kata dia, yang berdakwah selama 950 tahun hanya memiliki pengikut 94 orang. Bahkan istri dan anaknya menolak bersamanya.

BACA JUGA :  BERANI, Duet Birokrat Sejati yang Bertekad Bawa Sulteng Lebih Baik

Yang kedua, lanjut dia, mitigasi non fisik, di mana Nabi Nuh AS memberikan penyadaran kepada ummatmya agar tidak melakukan perbuatan-perbuatan syirik.

Menurutnya, bencana yang terjadi di masa Nabi Nuh AS, memang tidak bisa diceritakan para sejarawan secara detail, karena begitu kompleks, angin puting beliung, hujan keras selama satu minggu yang disusul  banjir bandang, liquifaksi dan tsunami menjadi satu, tidak ada satupun yang bisa selamat kecuali para pengikutnya yang naik ke bahtera yang telah dipersiapkan sebelumnya.

Ustad Gani menegaskan pentingnya memberikan penyadaran informasi terkait mitigasi bencana dengan memberikan pemahaman keagamaan, taat kepada Allah dan taat kepada para pemimpin.

BACA JUGA :  Berebut Rente di Lokasi PETI

“Data sains yang dijadikan dasar oleh pemerintah menetapkan zona merah harus dipatuhi, sesar Palu-Koro itu sunnatullah. Kalau ada instruksi atau larangan tidak boleh membangun hunian disitu, ya harus dipatuhi. Nah kalau kita sudah ikhtiar kemudian berdoa, di situ baru Allah memberikan pertolongan-Nya,” jelasnya.

Dia juga memberikan penegasan bahwa bencana yang terjadi pada ummat terdahulu tidak bisa disamakan dengan yang terjadi di Palu, Sigi, Donggala dan Parigi Moutong.

Begitulah halnya Kaum ‘Ad umat Nabi Hud AS dan Kaum Tsamud ummat Nabi Shaleh AS yang dikubur hidup-hidup oleh Allah karena mereka tidak mendengar seruan nabi yang diangkat dari kaumnya itu.

“Dalam Al-Qur’an diceritakan, Allah mengangkat bumi tempat tinggal mereka kemudian mengubur mereka hidup-hidup karena perbuatan mereka sudah melampaui batas, mereka berlaku culas dalam perdagangan mengurangi  timbangan hingga merugikan orang miskin,” ujarnya. (IWANLAKI)

BACA JUGA :  Kisah Penambang Bertaruh Nyawa di Lubang Tikus PETI