Kota Donggala di masa Kolonial Belanda, pernah terdapat perusahaan negara yang cukup besar. Namanya Borsumij (Borneo Sumatra Matschhappij) yang bergerak di bidang perdagangan ekspor dan inpor segala jenis barang kebutuhan pangan dan hasil bumi.
Dalam perkembangannya setelah kemerdekaan, namanya diubah menjadi Aduma Niaga, menyusul dilakukan nasionalisasi seluruh aset Pemerintah Kolonial Belanda menjadi milik bangsa Indonesia. Terakhir pada dekade 1970-an, namanya berubah lagi menjadi Perusahan Negara (P.N) Budi Bhakti.
Sejak pemindahan aktivitas utama pelabuhan Donggala ke Pantoloan tahun 1978, Budi Bhakti pun tutup. Selanjutnya gedung yang dulu merupakan pusat penampungan dan pemasok segala kebutuhan pokok sehari-hari yang akan didistribusikan ke sejumlah wilayah di Sulteng itu, tidak beroperasi lagi.
Kini, gedungnya sudah roboh saat gempa bumi tahun 2018. Sebelumnya sempat disewa seorang pengusaha keturunan Tionghoa di Donggala.
Pada masa akhir kekuasaan pemerintahan Belanda di Donggala, Direktur Borsumij adalah Lian Boen Tjoa (1904-1958) yang dikenal dengan sebutan Tuan Tjoa.
Ia adalah ketrunan etnis Cina kelahiran Maros, Sulawesi Selatan, 14 Juli 1904. Tidak lagi menguasai bahasa Cina, ia justru mahir Bahasa Inggris dan Belanda, bahkan gaya hidup dan penampilan sehari-gaya seperti lazimnya orang Belanda.
Penampilan selalu parlente, rambut selalu rapi disisir ke belakang dan pakaian yang dikenakan umumnya seragam warna putih, lengkap dengan dasi. Namun tetap menjalankan ajaran leluhur Kong Hu-cu hingga akhir hidupnya, kecuali anak-anaknya semuanya telah masuk agama Katolik.
Dalam perkembangan ekonomi Donggala zaman Belanda hingga masuknya Jepang dan kemudian Belanda kembali lagi, kehadiran Borsmij sangat strategis. Merupakan perusahan yang menguasai perdagangan barang-barang kebutuhan makanan maupun pakaian yang didatangkan dari Pulau Jawa kemudian didistribusikan ke seluruh wilayah Sulawesi Tengah.
Tuan Tjoan yang cukup lama memegang Borsumij Donggala, sehingga dikenal sebagai salah satu orang terpandang pada masanya. Hingga kini sebagian orang berusia tua di Donggala masih mengenang nama Tuan Tjoa.
Pada zamannya, hidupnya sangat mapan menjadi bagian elite yang dekat dengan pemerintah maupun orang-orang asing yang bertugas di Donggala.
“Ayah saya sangat demokratis dalam mendidik anak-anaknya maupun dalam soal pilihan hidup. Kita dididik seperti dalam kehidupan orang Belanda,” cerita Veronika alias Ci Ona (82 tahun) salah satu anak Tuan Tjoa, baru-baru ini.
Veronika anak keempat Tuan Tjoa yang lahir di Donggala, 1940 dan hingga kini tetap tinggal di kota kelahirannya itu. Memiliki banyak kenangan dan cerita indah sang ayah. Di antara cerita itu tentang menikmati lampu penerang listrik sebelum adanya PLN masuk Donggala. Kala itu, keluarga Tuan Tjoa telah memiliki mesin listrik sendiri semacam genset untuk penerangan di rumah.
Begitu pula kendaraan mobil. Jauh sebelum warga kebanyakan memilikinya, keluarga Tjoa sudah mengendarai mobil jeep. Menurut Veronika, di zaman Belanda, yang memiliki mobil selain pejabat Asisten Residen Donggala dan Raja Banawa, hanyalah Direktur Borsumij, sang ayah.
Zaman Belanda, kendaraan mobil merupakan barang sangat mewah dan menunjukkan kejayaan dan hanya orang berkedudukan penting.
Posisi Tuan Tjoa sebagai pimpinan perusahan negara, dikelompokkan dalam elite apalagi telah memiliki relasi sangat luas. Bukan saja sebatas dengan orang-orang Cina terkemuka dan pejabat Belanda, tapi memiliki hubungan baik dengan orang-orang Arab yang menjadi pengusaha di Donggala, seperti Badjamal yang merupakan orang kaya di Donggala zaman dahulu.
Memiliki hubungan baik dengan Joos Jotten, MSC seorang pastor asal Belanda bersama dokter Jerman, George Uhrmann yang pernah mengalami penculikan oleh DI/TII di Donggala tahun 1955.
Dalam bukunya (Kisah Penculikan Pastor dan Dokter, 2006) sedikit menceritakan sosok Tuan Tjoa. Secara tersirat, keberadaan Tjoa di Donggala sangat penting dalam urusan perdagangan kopra dan banyak menolong pastor setiap bertugas di Donggala.
“Tuan Tjoa yang adalah kasir dan pengontrol kopra, dialah yang sering mengurus perjalananku ke Donggala sehingga aku bisa singgah di keluarga-keluarga Indo yang jaraknya kira-kira 100 km ke arah utara Palu………. Dan aku akan ditinggalkan oleh Tuan Tjoa yang harus melanjutkan perjalanannya untuk mengurusi segala sesuatu di Koperasi Kopra di daerah itu.” (halaman 45) demikian di antara tulisan Joos Jotten.
Menurut Veronika, ayahnya sebelum menetap di Donggala, lebih awal bertugas di Kalimantan mengelola perusahan Belanda. Kemudian tahun 1930-an mendapat tugas di Donggala sebagai Direktur Borsmij yang dalam perkembangannya sangat maju sehingga jabatan itu dijalani cukup lama.
Saat meninggal dunia di Surabaya 21 Agustus 1958, ia masih dalam jabatan direktur. Saat itu sedang tugas dinas dan ia pun dimakamkan di Surabaya.
“Jadi ayah saya itu tetap memegang Borsumij sejak masih masa pemerintahan Belanda hingga dilakukannya nasionalisasi menjadi milik pemerintah Indonesia dengan nama Aduma Niaga. Ayah sendiri mulanya bersatatus warga negara Belanda, kemudian masuk warga negara Indonesia sejak kemerdekaan, sehingga tetap dipertahankan mengelola perusahan tersebut,” ungkap Veronika.
Veronica masih ingat, pada tahun 1950-an, rumah orang tuanya sering didatangi pejabat yang melakukan kunjungan kerja di Donggala. Rumahnya juga sering dijadikan tempat perjamuan. Yang paling dia ingat adalah kehadiran Jenderal Gatot Subroto bersama pejabat daerah di rumah yang kini ditempatinya.
“Saya lupa tahun persisnya, tapi sekitar pertengahan tahun 1950-an. Saat itu Gatot Subroto makan siang di rumah bersama rombongan, sehingga di luar rumah dijaga lima orang anggota Brimob selama Gatot Subroto bertamu,” kenang Veronika.
Sepeninggal Tuan Tjoa, maka jabatan pimpinan perusahan Aduma Niaga ditangani John Tjoa Putra, anak sulung dari Tuan Tjoa yang sudah lama bekerja di perusahan tersebut.
Seluruh anak-anak Tjoa sendiri adalah warga negara Indonesia. Bagi laki-laki, memakai nama belakang Tjoputra, kecuali perempuan tidak memakai marga Tjoa. Istri Tjoan adalah peranakan Cina – Banjar asal Samarinda, Kalimantan Timur.
Pasangan Tuan Tjoa dan istrinya sendiri dikarunia 10 anak, dua di antaranya meninggal ketika masih bayi. Sang istri Tuan Tjoa meninggal dunia dan dimakamkan di Donggala, 9 Oktober 1996.
Sebagai kenangan, Tuan Tjoa mewarisi sebuah rumah yang terletak di samping persimpangan Tugu Perahu depan Gereja Katolik (Bukit Maria) Donggala (pertemuan Jalan Lamarauna – Jalan Banawa, Kelurahan Tanjung Batu, Donggala). Rumah itu menunjukkan bangunan tua khas zaman dahulu.
“Rumah ini mulanya berfungsi sebagai pesangrahan Pemerintah Belanda yang diperuntukkan bagi tamu pemerintah dari luar yang berkunjung di Donggala. Tetapi kemudian menjadi milik ayah saya setelah melalui proses pada pertengahan tahun 1950-an” jelas Veronika.
Menurut Iring Rombelayuk (87 tahun), suami dari Veronika, bentuk bangunan rumah tersebut tidak banyak berubah dari aslinya. Seluruh kayu penyangga atau tiang maupun interiornya, masih asli.
“Yang berubah hanya dinding yang semula dari kayu diganti beton dan atap sirap diganti seng. Hanya itu yang berubah, lainnya asli sejak zaman pemerintah Belanda,” jelas Iring yang ditemui beberapa waktu lalu.
Penulis: Jamrin Abubakar
Editor : Rifay