Trauma Dua Wajah di Pusaran Operasi Tinombala

oleh -
Anak-anak bermain di perkampungan mereka di Desa Lembantongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Senin (30/11).(FOTO : MAL/Faldi)

Evaluasi Penanganan dan Operasi Tinombala

Senada dengan itu, Akademisi Universitas Alkhairaat Lukman S Thahir menjelaskan, bahwa penanganan kasus terorisme tidak boleh dilakukan secara general semacam apa yang tengah dilakukan oleh Badan Penanggulangan Terorisme (BNPT) saat ini.

Menurutnya, apa yang dilakukan BNPT yakni menyeragamkan konsep deradikalisasi pada semua daerah, hanya akan dapat diterima di beberapa kalangan saja. Menurutnya, terdapat dua tipologi berbeda antara pelaku terorisme di Pulau Jawa dan Indonesia Timur.

Adalah, kata dia, tipologi pertama pelaku-pelaku terorisme di pulau Jawa memang karena disebabkan pengaruh ideologi luar negeri seperti Al-Qaeda maupun ISIS. Sedangkan untuk pelaku terorisme di bagian Indonesia Timur semacam Poso, Ambon serta Ternate lebih karena disebabkan perlakuan yang tidak adil dalam penyelesaian sejumlah perkara, tepatnya dendam.

“Sehingga penanganan yang harus dilakukan tidak bisa diseragamkan langsung melakukan deradikalisasi mencabut doktrin-doktrin itu, itu hanya akan menghabiskan anggaran saja,” Tegasnya.

Lukman melihat, dalam kasus terorisme yang selama ini terjadi di sejumlah daerah seperti Poso, Ambon maupun Ternate, dasarnya bukanlah persoalan yang menjurus pada ideologis melainkan bermuara pada psikologis.

BACA JUGA :  Dies Natalis ke-67, Undip Tingkatkan Literasi Digital Melawan Hoaks

Lebih jauh kata mantan Sekjen Pengurus Besar (PB) Alkhairaat itu, saat melakukan sejumlah pembinaan terhadap napi-napi yang tersangkut perkara terorisme, ia tak pernah langsung mencoba untuk melakukan deradikalisasi. Melainkan lebih dulu melakukan pendekatan secara emosional hati ke hati, sesudahnya baru mencari tahu keterampilan yang harus diperdalam oleh setiap individu pelaku. Terakhir, baru melakukan deradikalisasi.

“Kadang mereka sendiri yang minta kapan kepala mereka dicuci setelah mereka betul-betul ada kepercayaan ‘trush’ dengan kita, jadi mereka sendiri nantinya yang minta dilatih bagaimana tentang khilafah dibangsa ini, bagaimana tentang pancasila itu mereka sendiri yang minta, baru mereka kita ajarkan,” jelasnya.

“Maka cara penanganan mereka itu Hati dulu yang disentuh, setelah heart baru tangannya (hand) artinya keterampilannya, terakhir baru kepala (had), nah pola ini berbeda yang di Jawa dan penanganan itu mungkin BNPT bisa masuk dan langsung deradikalisasi kalau disini tidak bisa, deradikalisasi paling belakang,” pungkasnya.

Sementara itu, Mantan Koordinator KontraS Sulawesi Edmond Leonardo Siahan menegaskan, sejak masuknya sejumlah anggota Kelompok Sipil Bersenjata Poso ke ibu Kota Provinsi Sulawesi Tengah, serta insiden Lembantongoa adalah bukti ketidaksiapan aparat yang masuk dalam Operasi Satgas Tinombala.

BACA JUGA :  Lapas Perempuan Palu Kini Punya Poliklinik

Karena itu, ia mendesak Operasi Tinombala harus dievaluasi menyeluruh oleh pemerintah pusat tak terkecuali dana yang sudah digunakan untuk menggerakan ratusan pasukan, sebab aksi yang ditimbulkan tidak juga menurun ekskalasinya, setahun belakangan ini malah meningkat.

“Salus populi suprema lex esto atau keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi bagi suatu negara,” Pungkasnya.

Terpisah, Direktur Celebes Institute Adriany Badrah menilai, Satgas Tinombala, gabungan TNI-Polri yang dibentuk pada 10 Januari 2016, untuk memberangus kelompok sipil bersenjata Poso, tak juga mencapai tujuan setelah beroperasi hampir lima tahun. Ironisnya, hal itu terjadi ketika musuh mengalami krisis hampir di segala aspek, dari mulai makanan, persenjataan, hingga pendanaan.

Adriany menjelaskan hal ini terjadi karena memang ada pembiaran. Indikatornya: aparat hanya patroli, sementara MIT jelas-jelas bergerilya.

BACA JUGA :  Pestapora Bareng IM3, Hadir dengan Kejutan Kolaborasi Musik Global

“Mobilisasi pasukan begitu banyak, anggaran begitu luar biasa, bantuan TNI ada, TNI punya ilmu gerilya, bisa menangkap para pelaku serta orang-orang yang masuk dalam daftar pencarian. Itu sudah cukup indikatornya. Jadi, memang ada pembiaran,” katanya.

Personel yang ditugaskan pun hanya bekerja selama 3-6 bulan. Meski persenjataan lebih lengkap dan personel jelas-jelas lebih banyak, mereka jadi tak berkutik menghadapi kelompok yang benar-benar menguasai medan. Aparat bahkan tak sanggup menangani perekrutan dan penanaman ideologi MIT.

Pun, pihak-pihak itu menilai pelbagai peristiwa yang timbul dalam pusaran Operasi Tinombala dalam hal apapun tidak dapat dibenarkan dan harus diakhiri. Sebab, masyarakat yang bermukim dizona operasi terjepit di antara dua kelompok. Di satu sisi dicurigai sebagai kaki tangan Ali Kalora c.s. oleh aparat, di sisi lain dianggap mata-mata aparat oleh MIT.

Reporter: Faldi
Editor: Nanang