“Pas tadi itu ada yang datang antar bantuan di kantor desa, kan sama-sama polisi itu yang bawa senjata. Begitu mau kasi ke anak-anak korban, salah satunya dari mereka langsung lari ketakutan liat senjata. Bayangkan Pak traumanya itu anak!”
Hal itu sebagaimana diutarakan Kepala Desa Deky Basalulu di Lembantongoa kepada mediaalkhairaat.id Ahad (29/11), terjadi sesaat sebelum adanya trauma healing yang dilakukan personel Polres Sigi, Ahad siang.
Adalah penyerangan yang dilakukan terduga anggota kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) penyebabnya, Jum’at (27/11). Penyerangan tersebut menewaskan empat warga yang masih memiliki hubungan saudara, di antaranya tewas dengan cara mengenaskan. Sejumlah rumah milik warga ikut dibakar.
Adalah Astri Kandi (25) tahun. Istri dari salah satu korban yang tewas dalam insiden Lembantongoa pada Jum’at (27/11) pagi. Astri ingat betul setiap sisi raut wajah sang suami kala mengiyakan peringatan darinya, agar berbicara yang baik terhadap petugas, setelah sesaat meregang nyawa dengan cara dipenggal.
“Kami kira petugas, saya bilang sama suamiku hati-hati kalau bicara sama petugas, oh iya suamiku bilang,” Ceritanya kemudian tercenung, Ahad (29/11).
Kembali melanjutkan ceritanya, Astri menegaskan, keinginannya untuk pindah ke desa yang ramai dan aman, untuk melanjutkan hidup membesarkan tiga anaknya yang masih balita. Tentunya jauh dari perlintasan kelompok bersenjata. Singkatnya Astri tak ingin pulang bermukim di Dusun Lewono.
Trauma yang sama, juga dirasakan Mece (26) tahun. Anak dari Naka, salah satu korban pembantaian dari kelompok sipil bersenjata Poso. Berbeda dengan Astri, Mece enggan menceritakan peristiwa memilukan itu.
Ia menutup mulut rapat-rapat setelah sempat mengawali ceritranya saat berlari setelah melihat sang ayah juga harus berakhir dengan cara yang tidak biasa.
“Kalau mau cerita lagi nanti taingat dengan kejadian itu,” singkatnya.
Dari peristiwa itu, Astri dan Mece berharap pihak aparat agar segera menangkap para pelaku yang masih berkeliaran dengan bebas.
Senada dengan itu, lanjut Deky, warga lainnya yang sebagian besar adalah petani, enggan kembali untuk beraktifitas di kebunnya masing-masing. Mereka memilih untuk mengungsi kerumah sanaksaudaranya.
Meski begitu, hingga kini situasi di Desa Lembantongoa telah berangsur kondusif. Menurut dia, ulah DPO di wilayah desanya itu bukanlah yang pertama kali. Tahun 2017 adalah awal dari gangguan yang dilakukan para terduga DPO yang tergabung dalam kelompok sipil bersenjata Poso.
“Dari 2017 sudah ada gangguan seperti ini tapi dulu penyanderaan dan dilepaskan, nah pembunuhan baru pertama ini,” akunya.
Karenanya, ia mendesak agar aparat bersama Pemerintah Kabupaten maupun Provinsi harus menempatkan pos penjagaan secara permanen di Dusun tersebut. Sebab jika tidak, ia khawatir anak-anak desa Lembantongoa akan habis karena ulah Kelompok Sipil Bersenjata tersebut.
“Dan pos itu jangan sampai ditarik lagi pasukannya sebelum seluruh DPO itu habis ditangkap,” tekannya.
Hingga kini, ada 13 KK yang tinggal di Dusun Lewono berdekatan dengan TKP mengungsi ke Desa Lembantongoa Induk. Sementara warga lainnya yang turut mengungsi sebanyak 36 KK di Desa Lembantongoa Induk dan di Dusun Tokelemo.
“Jadi total keseluruhan yang mengungsi sebanyak 49 KK. 13 KK yang mengungsi dari Dusun Lewono itu artinya yang fatal dan tidak ada lagi ditempati karena lokasinya dekat dengan TKP itu,” katanya.
Trauma yang Sama
Hati yang gundah karena keberadaan Operasi Tinombala yang tak kunjung selesai melakukan perburuan Kelompok Sipil Bersenjata di Poso, tidak hanya dirasakan oleh keluarga korban insiden Desa Lembantongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi.
Kamis 9 April 2020, sejumlah warga tak jauh dari Polsek Pesisir Utara mengaku mendengar suara yang mirip dengan letupan senjata. Akan tetapi hingga kini tak ada yang tau suara tersebut benar berasal dari sebuah senjata atau bukan, namun yang pasti setelahnya jasad Qidam Alfariski (Alm), dilaporkan meninggal dunia tak jauh dari Polsek tersebut.
Lekas, pihak aparat kala itu menyebut Qidam merupakan bagian dari Kelompok Sipil Bersenjata Poso, yang tengah diburu oleh Satgas Tinombala. Pun, oleh Kabid Humas Polda Sulteng menyebut Qidam bagian dari kelompok teroris Poso.
Akan tetapi, pihak keluarga tak tinggal diam. Sang Ayah Irwan Mowance menuntut keadilan, bersama Tim Pengacara Muslim (TPM) melaporkan Kabid Humas AKBP Didik Supranoto atas pernyataan tersebut, kemudian pihak Polda Sulteng meralat pernyataannya bahwa Qidam bukan teroris.
Namun, belakangan diketahui mediaalkhairaat.id dari pihak TPM, Andi Akbar, polda sulteng telah mengeluarkan SP3 atas laporan yang dilakukan ayah Qidam terhadap Kabid Humas Polda Sulteng. Hal itu menurut Akbar, sangat mengada-ngada dan tidak memiliki dasar apapun.
“Maka itu kita mengajukan gugatan perdata (PMH) dipengadilan negeri palu berkaitan dengan pencemaran nama baik oleh Kabid Humas Polda Sulteng,” tegasnya, Kamis (3/12) di Palu.
Meninggalnya Almarhum Qidam Alfariski (20) tahun, turut menyisakan trauma maupun rasa gundah dihati Irwan Mowance. Bagaimana tidak, sang buah hati tewas dalam keadaan juga tak wajar. Pihak keluarga menduga, personel yang tergabung dalam Satgas Tinombala kala itu telah melakukan penganiayayaan serta kekerasan hingga berujung kematian.
Tuduhan itu bukan tanpa sebab, karena dibuktikan dengan sejumlah luka yang tidak biasa ditemukan disekujur tubuh Qidam.
Alih-alih memburu Kelompok Sipil Bersenjata di Poso, Satgas Tinombala kembali salah tembak dan menewaskan dua orang petani bernama Syarifudin dan Firman pada Juni lalu. Saksi mengatakan aparat terus menembak membabi-buta kendati dua orang itu telah berteriak mengaku bukan teroris. Kala itu, personel satgas berdalih tidak mendengar teriakan mereka.
Kasus Qidam Alfariski Harus Transparan
Berbeda hal dengan pelaporan Irwan Mowance terhadap Polda Sulteng, kasus kematian Qidam Alfariski sendiri, kata Kepala Komnas HAM Sulawesi Tengah Dedi Askary mengarah kepada pelanggaran HAM berat.
“Karenanya mendesak pihak kepolisian (Kapolri, Kapolda Sulteng) untuk sesegera mungkin menyelsaikan secara serius, mendalam dan terbuka atas sebab musabab dan alasan hingga penembakan tersebut terjadi,” Ujar Ketua Komnas-HAM Sulteng Dedi Askary dalam keterangan tertulis, Senin 13 April 2020.
“Lakukan evaluasi terbuka pada semua tingkatan kepemimpinan unit, satuan dan/atau satgas hingga pada anggota personel kepolisian yang bertugas di lapangan, Komnas HAM menyadari hal atau langkah tersebut bukan pekerjaan sulit, khususnya bagi Pak Kapolri Jenderal Idham Azis, namun hal tersebut penting dilakukan,” lanjutnya.
Namun, hingga bergantinya Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Sulteng dari pejabat lama Irjen Syafril Nursal ke pejabat baru Irjen Pol Abdul Rakhman Baso, Agustus 2020, tewasnya warga sipil berusia 20 tahun dilingkungan Polsek Poso Pesisir Utara, April 2020 yang lalu hingga saat ini belum juga menemui titik terang.
Terakhir, kepada mediaalkhairaat.id, Rabu (10/6), Kabid Humas Polda Sulteng AKBP Didik Supranoto menjelaskan, total 29 personel yang sudah ditarik kembali ke jakarta menjalani pemeriksaan kala itu sebagai saksi.
“Totalnya sudah 41 anggota Satgas yang diperiksa terkait kasus Qidam dan dua petani di Poso, 29 dalam kasus qidam dan 12 dikasus tewasnya dua pekebun di Desa Maranda,” katanya.
Diketahui hingga kini, terdapat dua tim investigasi yang turun tangan menyelesaikan dugaan salah tembak tersebut. Tim investigasi pertama langsung dari Mabes Polri, dipimpin Brigjen Polisi Verdianto Iskandar Bitticaca selaku Komandan Pasukan Gegana Korps Brimob Polri dan Karo Provost Divisi Propam Brigjen Polisi Ramdani Hidayat.
Sementara tim kedua, dibentuk pihak Polda Sulteng yang dipimpin Irwasda Kombes Polisi Ai Afriandi. Kedua tim tersebut, bersama pihak Komnas HAM telah mendatangi tempat kejadian perkara guna melakukan penyelidikan beberapa bulan yang lalu.
DPRD dan Ormas Tak Sejalan
Wakil Ketua Komisi I DPRD Sulteng Wiwik Jumatul Rofiah meminta proses hukum kasus kematian Qidam, harus dilakukan secara transparan.
“Jangan sampai ada kesan melindungi, walaupun pelakunya mungkin saja aparat. Semuanya prosesnya harus terbuka,” tegasnya kepada wartawan saat menerima kunjungan perwakilan Anggota DPRD Poso di kantor DPRD Sulteng.
Saat itu, Wiwik pun sempat memberi sinyal jika pihaknya sangat mendukung kemauan Ormas, andai Operasi Tinombala dihentikan, karena dinilainya telah berlarut-larut dengan hasil yang tidak gemilang. Justru, tiga nyawa warga sipil yang tidak memiliki hubungan dengan Kelompok Sipil Bersenjata Poso tewas diduga menjadi korban salah tembak.
“Janggal kedengarannya, hanya untuk mengejar kelompok Majelis Mujahidin Indonesia Timur (MIT), yang katanya sekarang jumlahnya tidak sampai 20-an orang, butuh waktu tahunan dan personel ratusan orang,” ungkapnya.
Namun, Kamis (02/07), usai melangsungkan hearing tertutup DPRD Sulteng beserta pihak Polda, Korem 132/Tadulako dan pihak lainnya, melalui Ketua Komisi I Sri Indraningsi Lalusu menegaskan bahwa Operasi Tinombala tetap dilanjutkan hingga Desember saat ini.
Bahkan, politisi PDIP itu menekankan, DPRD justru akan membentuk tim terpadu bersama Polda Sulteng, Korem 132/Tadulako serta pihak lainnya, guna mensosialisasikan pada masyarakat Poso agar tidak terpengaruh dengan kegiatan-kegiatan yang menjurus pada aksi-aksi terorisme. Juga kemudian melakukan pemantaun terhadap kurikulum pembelajaran yang ada di sekolah-sekolah, maupun pesantren di wilayah Kabupaten Poso.
Pun hal itu langsung direspon oleh Presidium Forum Umat Islam (FUI) Sulawesi Tengah, Ustadz Hartono Yasin Anda menyatakan evaluasi terhadap keberadaan Satgas Tinombala tetap harus dilakukan, sebab beberapa insiden yang melibatkan personel Satgas Tinombala dinilai justru menjadi teror baru bagi masyarakat.
“Perlu dievaluasi karena banyak insiden-insiden sebenarnya menimbulkan kasus hukum baru yaitu salah tembak,” tegas Hartono.
Salah satunya adalah insiden dugaan penganiayaan dilakukan personel Satgas Tinombala terhadap warga sipil hingga meregang nyawa dalam kondisi tak wajar. Dan kasus tersebut menurut Hartono jauh dari keadilan.
Ia menilai, dari jumlah sisa Kelompok Sipil Bersenjata yang hari ini masih ada di wilayah pegunungan Poso, tidak seharusnya melibatkan terlalu banyak lagi personel, yang ujungnya juga berdampak pada penggunaan anggaran milik negara dalam jumlah yang besar.
FUI Sulteng menyarankan agar Operasi Tinombala tersebut diganti dengan operasi biasa saja yang berada dibawah kendali TNI sepenuhnya. “Sederhananya seperti itu, serahkan pada TNI sebab tanpa kehadiran Satgas pun persoalannya bisa selesai,” tekannya.
Permintaan itu bukan tanpa alasan. FUI menilai, dalam setiap pergantian pimpinan Polda Sulteng, hampir tidak ada perubahan yang signifikan pada Operasi Tinombala. Pendek kata, tetap seperti itu saja, isu terorisme dibesar-besarkan, timbul-tenggelam dan tak kunjung usai.
Ia mengingatkan bahwa bagaimanapun pengakuan sebagai anak ibu pertiwi yang memiliki hak sebagai warga negara terhadap para pelaku tindak pidana terorisme harus tetap diberikan, salah satu cara solutifnya adalah dengan berdialog.
Bukan tak mungkin, ia menduga adanya rasa kecewa terhadap penegakan hukum ataupun kesenjangan sosial yang terjadi di Poso saat berlangsungnya, maupun pasca kerusuhan yang terjadi beberapa tahun yang lalu.
“Kita, termasuk para penegak hukum melihat ini adalah anak bangsa yang harus diselamatkan jiwanya,” tandasnya.
Evaluasi Penanganan dan Operasi Tinombala
Senada dengan itu, Akademisi Universitas Alkhairaat Lukman S Thahir menjelaskan, bahwa penanganan kasus terorisme tidak boleh dilakukan secara general semacam apa yang tengah dilakukan oleh Badan Penanggulangan Terorisme (BNPT) saat ini.
Menurutnya, apa yang dilakukan BNPT yakni menyeragamkan konsep deradikalisasi pada semua daerah, hanya akan dapat diterima di beberapa kalangan saja. Menurutnya, terdapat dua tipologi berbeda antara pelaku terorisme di Pulau Jawa dan Indonesia Timur.
Adalah, kata dia, tipologi pertama pelaku-pelaku terorisme di pulau Jawa memang karena disebabkan pengaruh ideologi luar negeri seperti Al-Qaeda maupun ISIS. Sedangkan untuk pelaku terorisme di bagian Indonesia Timur semacam Poso, Ambon serta Ternate lebih karena disebabkan perlakuan yang tidak adil dalam penyelesaian sejumlah perkara, tepatnya dendam.
“Sehingga penanganan yang harus dilakukan tidak bisa diseragamkan langsung melakukan deradikalisasi mencabut doktrin-doktrin itu, itu hanya akan menghabiskan anggaran saja,” Tegasnya.
Lukman melihat, dalam kasus terorisme yang selama ini terjadi di sejumlah daerah seperti Poso, Ambon maupun Ternate, dasarnya bukanlah persoalan yang menjurus pada ideologis melainkan bermuara pada psikologis.
Lebih jauh kata mantan Sekjen Pengurus Besar (PB) Alkhairaat itu, saat melakukan sejumlah pembinaan terhadap napi-napi yang tersangkut perkara terorisme, ia tak pernah langsung mencoba untuk melakukan deradikalisasi. Melainkan lebih dulu melakukan pendekatan secara emosional hati ke hati, sesudahnya baru mencari tahu keterampilan yang harus diperdalam oleh setiap individu pelaku. Terakhir, baru melakukan deradikalisasi.
“Kadang mereka sendiri yang minta kapan kepala mereka dicuci setelah mereka betul-betul ada kepercayaan ‘trush’ dengan kita, jadi mereka sendiri nantinya yang minta dilatih bagaimana tentang khilafah dibangsa ini, bagaimana tentang pancasila itu mereka sendiri yang minta, baru mereka kita ajarkan,” jelasnya.
“Maka cara penanganan mereka itu Hati dulu yang disentuh, setelah heart baru tangannya (hand) artinya keterampilannya, terakhir baru kepala (had), nah pola ini berbeda yang di Jawa dan penanganan itu mungkin BNPT bisa masuk dan langsung deradikalisasi kalau disini tidak bisa, deradikalisasi paling belakang,” pungkasnya.
Sementara itu, Mantan Koordinator KontraS Sulawesi Edmond Leonardo Siahan menegaskan, sejak masuknya sejumlah anggota Kelompok Sipil Bersenjata Poso ke ibu Kota Provinsi Sulawesi Tengah, serta insiden Lembantongoa adalah bukti ketidaksiapan aparat yang masuk dalam Operasi Satgas Tinombala.
Karena itu, ia mendesak Operasi Tinombala harus dievaluasi menyeluruh oleh pemerintah pusat tak terkecuali dana yang sudah digunakan untuk menggerakan ratusan pasukan, sebab aksi yang ditimbulkan tidak juga menurun ekskalasinya, setahun belakangan ini malah meningkat.
“Salus populi suprema lex esto atau keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi bagi suatu negara,” Pungkasnya.
Terpisah, Direktur Celebes Institute Adriany Badrah menilai, Satgas Tinombala, gabungan TNI-Polri yang dibentuk pada 10 Januari 2016, untuk memberangus kelompok sipil bersenjata Poso, tak juga mencapai tujuan setelah beroperasi hampir lima tahun. Ironisnya, hal itu terjadi ketika musuh mengalami krisis hampir di segala aspek, dari mulai makanan, persenjataan, hingga pendanaan.
Adriany menjelaskan hal ini terjadi karena memang ada pembiaran. Indikatornya: aparat hanya patroli, sementara MIT jelas-jelas bergerilya.
“Mobilisasi pasukan begitu banyak, anggaran begitu luar biasa, bantuan TNI ada, TNI punya ilmu gerilya, bisa menangkap para pelaku serta orang-orang yang masuk dalam daftar pencarian. Itu sudah cukup indikatornya. Jadi, memang ada pembiaran,” katanya.
Personel yang ditugaskan pun hanya bekerja selama 3-6 bulan. Meski persenjataan lebih lengkap dan personel jelas-jelas lebih banyak, mereka jadi tak berkutik menghadapi kelompok yang benar-benar menguasai medan. Aparat bahkan tak sanggup menangani perekrutan dan penanaman ideologi MIT.
Pun, pihak-pihak itu menilai pelbagai peristiwa yang timbul dalam pusaran Operasi Tinombala dalam hal apapun tidak dapat dibenarkan dan harus diakhiri. Sebab, masyarakat yang bermukim dizona operasi terjepit di antara dua kelompok. Di satu sisi dicurigai sebagai kaki tangan Ali Kalora c.s. oleh aparat, di sisi lain dianggap mata-mata aparat oleh MIT.
Reporter: Faldi
Editor: Nanang