TINA NGATA DI SIMPANG JALAN
Dari bangunan kayu berbentuk seperti rumah panggung yang disebut sebagai Baruga, Iksam Djorimi, budayawan Kaili yang juga Wakil Kepala Museum Sulawesi Tengah, bercerita tentang Tina Ngata.
Ada’ Ntina, merupakan istilah dalam bahasa Kaili untuk menggambarkan adat dari garis keturunan ibu (matrilineal). Istilah ini juga lekat pada pemaknaan perempuan adalah sebagai penjaga kelangsungan adat (Mombine Pomboli Nu’ada).
Konsepsi yang implementasinya melebihi prinsip kesetaraan gender ini, sungguh telah lama ada dalam pranata hidup masyarakat Kaili sejak berabad-abad lalu. Dalam kehidupan suku Kaili, kaum perempuan diberi ruang khusus sebagai penyimpan, penjaga, bahkan pemegang adat.
Istilah Ntina sendiri kemudian menjadi salah satu tatanan dalam sistem pemerintahan Kaili di masa lalu, di mana Ntina memiliki hak pengawasan terhadap adat yang dijalankan kerajaan, bahkan memutuskan siapa figur raja yang akan memimpin. Jika dalam tatanan hukum yang ada saat ini, kita mengenalnya sebagai Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Sedangkan dalam dalam konsep kesetaraan kepemimpinan, suku Kaili khususnya di Kabupaten Sigi, memiliki Magau atau Madika (Raja) perempuan yakni Ntondei, yang mewarisi tahta dari kakaknya Karanjalemba, yang ditangkap dan diasingkan ke Sukabumi, akibat mengobarkan perlawanan terhadap kolonialisme. Hal ini membuktikan begitu istimewanya posisi perempuan dalam tatanan hidup To Kaili (orang Kaili).
“Sehingga dalam konsep kesetaraan semacam masa kini, perempuan Kaili itu memiliki hak yang sama dalam kepemimpinan. Hal ini sudah sejak dulu, bukan nanti saat ini,” kata Iksam Djorimi, Rabu (5/8) di Palu.
Iksam menjelaskan pranata dasar hidup orang orang Kaili, yang sejatinya memberi kesempatan pada mereka yang memiliki atau dianggap mampu, serta layak untuk melakukan tugas-tugas keadatan, maupun tugas melanjutkan memimpin kerajaan. Karenanya kata dia, tidak sedikit suksesi raja-raja dalam sistem kerajaan di Sulawesi Tengah, tak harus dilanjutkan oleh anak keturunannya.
Akan tetapi, sistem tersebut tetap mengakomodir anak keturunan kerajaan, sebab menurut Iksam, pada merekalah diwariskan nilai-nilai falsafah hidup To Kaili (orang Kaili), untuk diteruskan pada generasi ke generasi selanjutnya.
Namun menurut Iksam konsep yang tidak mengharuskan anak keturunan raja atau bangsawan untuk melanjutkan pemerintahan, telah menggeser nilai-nilai keadatan itu sendiri. Meski memilih figur dari kalangan rakyat biasa untuk melanjutkan tampuk pemerintahan, dengan pertimbangan figur tersebut mampu serta paham akan sistem pemerintahan serta tugas keadatan, telah dilakukan turun temurun sejak dahulu.
Pun apa yang terjadi hari-hari ini. Plus serta minus juga ada dalam apa yang dilakukan Rukmini Paata Toheke. Tina Ngata telah sampai di simpang jalan itu.
Iksam mengemukan modernisasi dengan berbagai teknologi, ditambah sikap acuh tak acuh generasi akan kebudayaannya sendiri, membuat para tokoh adat masa kini di seluruh nusantara, harus melakukan revitalisasi agar menjaga panjang usia kebudayaan itu sendiri, jangan sampai hilang dengan anggapan karena tak ada yang peduli. Meski harus mentransfer nilai yang sama ke realita masa kini.
“Justru konsep itu hari ini adalah menjadi kekuatan kita, dan saran saya kalau memang ada orang yang mampu, kenapa tidak? Namun tetap di tengah mereka, harus ada sosok keturunan dari raja-raja kita terdahulu, untuk menjadi pengambil keputusan,” Jelas Iksam, lelaki yang khas dengan gelang adat beraneka warna di tangan kanannya.
“karena seringkali peristiwa di masa kerajaan, jika seseorang ini bukan dari kelas menengah atau bangsawan, namun dia berjasa pada kerajaan misal dalam peperangan, lalu diangkat menjadi bangsawan, kenapa tidak jika dijadikan sebagai figur pemimpin? Namun bukan menjadi pengambil kebijakan tunggal, sehingga jangan sampai tercerabut dari sistem yang ada,” Lanjutnya.
Wujud lainnya penghargaan pada perempuan yang ada dalam kehidupan orang Kaili kata arkeolog satu-satunya Sulawesi Tengah ini, sudah diajarkan sejak dalam usia kanak-kanak. Contoh kasusnya, lanjut Iksam, yang mana para orang tua jika sepulang ke rumah membawa oleh-oleh ataupun makanan dalam jumlah banyak maupun sedikit, pasti akan terlebih dulu memberinya pada anak perempuan, baru setelahnya pada anak lelaki.
Makna filosofis dari perilaku tersebut kata Iksam, sebab perempuan adalah anugerah dari Yang Maha Kuasa, dengan penuh kasih sayang terhadap semuanya. Orang Kaili percaya, perempuan meski diberi bagian yang banyak, ia akan tetap mengingat membagi pada saudara lainnya. Namun belum tentu hal yang sama dilakukan oleh lelaki.
Penghargaan tinggi orang Kaili terhadap sosok perempuan, baik dalam struktur keadatan, pemerintahan, bahkan dalam kehidupan sehari-hari, adalah bukti bahwa konsep kesetaraan sudah mengakar dalam kehidupan orang Kaili, terutama bagaimana mereka sangat menghormati garis keturunan, terutama dari pihak ibu (matrilineal).
Hal ini juga yang agaknya menjadi alasan, mengapa konsepsi Tina Ngata dengan peran perempuan sebagai penjaga adat (Mombine Pomboli Ada), yang terus dirawat oleh Rukmini dan para Tina Ngata lainnya di Toro, tetap terjaga sampai kini, walaupun banyak hal yang telah bergeser, termasuk tatanan adat itu sendiri, akibat dari perkembangan zaman.
Reporter : Muhammad Izfaldi
(Penerima Fellowship Peliputan dari Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman (SEJUK), dengan tema: Meliput Isu Kebebasan Beragama dan Berekspresi di Sulawesi Tengah)
Editor : Rifay