Tina Ngata merupakan gelar bagi sosok perempuan yang ditokohkan masyarakat Ngata Toro. Dalam bahasa lokal, Tina artinya Ibu, sedang Ngata adalah Desa. Sebutan ini sendiri bermakna sebagai Ibu Desa atau Ibu Kampung. Sedang Desa tetangga mengenalnya dengan sebutan mamah kampung.

Tina Ngata memiliki pengaruh besar pada lika-liku orang Toro. Dalam penyelesaian perkara misalnya, Tina Ngata merupakan penentu jenis givu atau denda adat bagi siapapun yang melanggar hukum adat.

Sebuah persoalan sampai ke telinga Tina Ngata hari itu. Sebuah kasus asusila terjadi. Di sini, Tina Ngata kemudian menginstruksikan untuk langsung menggelar Potangara (Sidang Adat) guna menyelesaikan perkara yang dimaksud.

Beberapa saat kemudian orang-orang berpakaian khas adat Toro menapaki satu persatu anak tangga naik ke dalam Lobo (Balai Sidang Adat), merekalah tetua adat. Ikut setelahnya adalah to hala (Pelaku pelanggar adat).

Proses Potangara itu terbuka untuk umum, dengan sejumlah pertimbangan, salah satunya agar hal serupa tak kembali terulang. Kala itu, masing-masing pihak berdasarkan jabatannya langsung duduk bersila membentuk sebuah lingkaran.

Proses potangara diawali dengan mendengarkan nasehat-nasehat Tina Ngata. Ia mengingatkan hukum adat tidak memiliki keberpihakan kepada siapapun, sehingga keputusan yang dihasilkan betul-betul memiliki nilai keadilan untuk semua pihak.

Setelah itu sidang dilanjutkan dengan mendengarkan kronologis perkara secara lengkap dari kedua to hala yang posisi duduknya parsis di tengah-tengah lingkaran tersebut. Sekaligus di dalamnya terjadi proses tanya jawab antar tetua adat dan pelaku. Dialog terjadi, sahut-sahutan dari mulut ke mulut orang-orang bijak itu.

Perdebatan hebat kerap tak terhindarkan, terlebih menjelang pengambilan keputusan untuk menetapkan sanksi adat. Namun bukan Tina Ngata jika tak mampu mengatasi debat semacam itu. Sosok mamah kampung ini memiliki 1001 solusi untuk menengahi perdebatan yang ada. Salah satu caranya lantas ia melemparkan porsi bicara untuk para tokoh agama untuk memberikan pandangan-pandangan dari sisi religius. Tokoh agama Islam diwakili seorang Imam Masjid setempat, sedang agama Kristen diwakili seorang Pendeta.

Setelah sempat membuncah, suasana potangara biasanya kembali sejuk nan damai karena dua figur tersebut. Akan tetapi, jika suasana yang tadinya membuncah itu masih juga berlanjut, biasanya Tina Ngata akan berkesimpulan Potangara harus di skorsing dalam beberapa hari sampai pada waktu yang belum ditentukan.

Namun dalam masa skorsing itu, para tetua adat secara aktif berkomunikasi satu sama lain untuk segera menyelesaikan perkara tersebut. Jika masih juga belum menemui titik temu pada proses potangara lanjutan, skorsing akan kembali menjadi opsi Tina Ngata. Sampai pada saat lanjutan sidang adat kali ketiga, sanksi adat diputuskan dan ditetapkan pada pelaku.

Berat seketika suara Tina Ngata Rukmini Paata Toheke. Givunya adalah Hampole Hangu Hangkau.

Mahomi mu oli mami bengka etu,” kurang lebih artinya Secepatnya beli Kerbau. Teriak warga dari luar Lobo menyambut putusan peradilan adat yang mulai jelas sampai ke telinga.

Warga menuntut agar pelanggar betul-betul melaksanakan sanksi adat yang diberikan. Membayar dengan satu ekor kerbau, sepuluh lembar dulang (nampan makan adat) dan satu lembar mbesa (kain adat) tanpa diganti dengan apapun. Lagi-lagi tina ngata harus turun tangan menenangkan warga yang sudah tersulut amarah. Bunyi pesannya :

Tabe, tina ngata mojarita! (Permisi, Tina Ngata ingin berbicara)”

“Perapi tina ngata lokodoekanupa..(Permintaan Tina Ngata dari ujung kaki sampai ujung rambut)”

“Tatimba..(Mari Kita Timbang)”

“Namalai hi hanga bengka moma-momalata hakari..(Tidak pernah kita ingkari, sejak dulu   hingga kini kerbau tak pernah berubah namanya, tapi)”

“Tapo pevai mo mami, mome humata to bada..(-tak ada lagi kerbau disini, tersisa hanya sapi)”

“Ada kodi-kodi, ada bohe-bohe..(Maka itupula dinamis mengikuti perkembangan zaman)”

Sekejap senyap. Hati yang lapang langsung menyambut putusan potangara. Namun hampole, hangu, hangkau bukan satu-satunya hukuman, melainkan yang harus dilaksanakan adalah Nora Eo (Pembersihan Kampung), yakni menyembelih seekor hewan putih di hulu mata air atau sungai, dengan menghadap ke hilir. Nompou Pale yakni mengikat tangan Pria kemudian dikembalikan pada keluarganya, serta memberi makan Totua Adat yang menggelar potangara.

Demikian Tina Ngata Toro memutuskan Givu (Denda Adat) kepada salah satu lembaga besar di Jakarta, 2006 lalu.

Lembaga itu diputus menjadi pihak pelanggar dengan jenis pelanggaran Ka Ala-ala, yakni mengambil sesuatu tanpa izin milik masyarakat Ngata Toro, dalam sidang peradilan adat.

Lembaga Adat Desa Toro seringkali menggelar peradilan adat dengan menghadirkan tokoh perempuan yang populer disebut Tina Ngata sebagai pengambil kebijakan.

Masalah-masalah yang melalui proses Potangara ada ini bermacam-macam, mulai dari persoalan berat, seperti perambahan hutan, pembunuhan dan asusila, sampai beberapa masalah semacam pencurian hingga konflik anak muda.

PEREMPUAN ADALAH ADAT

Sosok Tina Ngata memiliki pengaruh besar pada lika-liku kehidupan orang Toro. Dalam penyelesaian perkara misalnya, kala memutuskan hingga menetapkan jenis givu terhadap pelaku pelanggar, ketidakhadiran figur Tina Ngata mengharuskan proses Potangara (Peradilan Adat) perkara harus ditunda.

Dalam tatanan kelembagaan Adat Ngata Toro, terdapat tiga fungsi Tina Ngata yang dianggaap krusial. Pertama, Tina Ngata sebagai Pangalai Baha (Pengambil Kebijakan) sebelum Nobotuhi (Memutuskan) jenis givu terhadap sebuah pelanggaran dalam proses potangara.

Kedua, figur lainnya Tina Ngata menjadi Pobolia Ada (Penyimpan, Penjaga Adat maupun yang Mengeluarkan Adat). Serta terakhir, Tina Ngata sebagai Potawari Bisa (Pendingin Suasana).

Sikap ini dianggap yang paling penting untuk dimiliki figur Tina Ngata sejak dahulu, sebab keributan antara pemuda kerap terjadi. Sikap semacam ini juga yang sangat dibutuhkan dalam proses potangara dalam sebuah kasus, lebih-lebih menjelang penentuan givu yang akan diberikan Lembaga Adat pada pihak pelanggar.

Biasanya, dalam kasus tertentu semacam asusila, pembunuhan dan perambahan hutan, pihak korban  maupun warga lainnya yang sudah tersulut amarah akan sungguh-sungguh menuntut pelaku melaksanakan givu yang dijatuhkan dalam potangara.

Ketegasan sistem peradilan adat desa Toro pernah dirasakan Balai Taman Nasional Lore Lindu (BTNLL) 2011 silam. Pihak BTNLL berkilah dari perjanjian bersama Dewan Adat Ngata Toro. Mereka membawa masuk dua orang asing kedalam kawasan hutan adat tanpa sepengetahuan Dewan Adat. Dalihnya sebagai rangkaian penelitian.

Hal itu baru diketahui Dewan Adat Toro setelah pihak Balai meminta bantuan, untuk mencari dua orang asing tersebut karena dinyatakan hilang. Beruntung, setelah dua minggu dilakukan pencarian oleh 12 orang Tondo Ngata (Polisi Adat Desa), warga asing tersebut bisa ditemukan dalam keadaan hidup.

Tak berjeda, di hari yang sama setelah dua minggu pencarian, para Tetua Lembaga Adat Ngata Toro melangsungkan peradilan adat di balai sidang. Hasilnya, lagi-lagi Hampole, Hangu, Hangkau. Dalam lahan dengan luas belasan hektare yang diakui sebagai Hutan Adat itu, ngata toro memecah menjadi beberapa kategori, antara lain Wanangkiki (kawasan inti), Wana (kawasan rimba), Oma (kawasan pemanfaatan).

Kawasan inti dan kawasan rimba adalah tempat untuk mengambil hasil hutan non kayu berupa, damar dan gaharu. Sedangkan kawasan pemanfaatan adalah tempat mengambil rotan. Terdapat satu kawasan yang tidak boleh dilakukan satu kegiatan apa pun di dalamnya. Adalah Taolo atau kawasan hutan Larangan.

SOSOK TINA NGATA RUKMINI

Rukmini Paata Toheke adalah salah seorang Tina Ngata di Toro, sebuah wilayah lembah di Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi, berjarak empat jam dari Kota Palu, ibu Kota Provinsi Sulawesi Tengah.

Cerita Rukmini menjadi Tina Ngata dimulai sejak 1994. Rukmini, kepada media ini, berusaha mengenang kembali bagaimana pemberangusan hak-hak perempuan yang terjadi melalui aturan hukum adat, meskipun saat Indonesia telah merdeka.

“Sampai sebelum saya bangkit di tahun 1994 untuk menggali peran tina ngata, saya pernah berfikir, kalau perempuan hanya bisa disalahkan, disuruh-suruh, dan tidak bisa bersuara meski memiliki pendidikan, maka saya akan keluar dari Toro dan menjadi pebisnis,” Kenangnya kepada mediaalkhairaat.id Ahad (14/6) di Toro.

Sekian lama mencari sejumput demi sejumput informasi perihal ketokohan Tina Ngata, akhirnya di tahun 2001, Rukmini berhasil mengembalikan harkat dan martabat perempuan Toro lewat konsep Tina Ngata beserta fungsi utamanya, melalui sebuah deklarasi yang disepakati bersama seluruh masyarakat maupun tokoh agama serta Lembaga Adat Ngata Toro.

Deklarasi tersebut memutuskan menghilangkan campur tangan pemerintah pusat maupun daerah, dalam kehidupan sosial orang Toro, melalui Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), karena ditakar sebagai penggerus ketokohan seorang Tina Ngata.

Tina Ngata Toro, Rukmini Paata Toheke. (FOTO: FALDI)

Berlangsung lekas, struktur Kelembagaan Adat Desa Toro diubah. Rukmini Paata Toheke sebagai inisiator deklarasi, duduk sebagai sekretaris dalam Kelembagaan Adat Desa Toro, dengan status sebagai Tina Ngata. Revitalisasi penyesuaian berbagai jenis sanksi adat dengan kemajuan zaman, langsung dirancang kemudian diterapkan Rukmini.

Salah satunya, pengangkatan Tina Ngata yang tidak lagi mengharuskan dari garis keturunan seorang bangsawan atau raja, melainkan kepercayaan masyarakat Desa Toro, yang jadi penentunya hingga saat ini. Padahal dalam diri Rukmini Paata Toheke, mengalir darah seorang raja perempuan Kulawi yakni Hangkalea, jauh sebelum masa penjajahan Belanda masuk ke Indonesia.

“Begitu masuk Belanda, sampai adanya PKK di masa Orde Baru, itu tidak seenaknya orang mempercayakan suatu urusan kepada perempuan. Kami saja tidak dihargai, dikatakan apa juga ini perempuan, dianggap urusannya hanya di dapur. Kalau kasusnya KDRT, selalu yang disalahkan perempuan, jadi di belakang itu, isu kesetaraan gender lebih dulu sebenarnya Toro menerapkan sepenuhnya, dengan fungsi Tina Ngata,” jelas Rukmini.

Desa Toro yang berada di Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi, saat ini memiliki penduduk  tak kurang dari 2.460 jiwa, terbagi dalam beberapa Dusun dan memiliki 9 Tina Ngata atas dasar kepercayaan masyarakat setempat. Demikian halnya status Tina Ngata yang disandang Rukmini.

Memasuki tahun 2003, Ngata Toro menjadi awal dari langkah Rukmini menghidupkan kembali sosok Tina Ngata di seluruh desa yang ada di Kecamatan Kulawi, dan terus mengikis sedikit demi sedikit stigma feodal yang seringkali dilabeli pada kelembagaan dan hukum adat.

“Karena kita belajar HAM, kita belajar agama, semua manusia sama di mata Tuhan dengan hak dan menghargai HAM, maka semua berhak untuk itu,” cerita Rukmini dari Balai Sidang Adat.

Sehari-hari hidup dengan status Tina Ngata yang melekat pada dirinya, tak lantas membuat Rukmini mendapat perlakuan semacam ratu dari masyarakat Toro. Menurutnya, statusnya sekedarnya saja, seperti memberi waktu baginya untuk menyampaikan petuah hidup dalam berbagai kesempatan perkumpulan yang ada di desa.

Demikian berpengaruhnya keberadaan Tina Ngata dalam aspek kehidupan masyarakat Toro. Sejak dikembalikan 20 tahun yang lalu ke dalam semua lini kehidupan orang Toro, belum pernah ada yang berani mengingkarinya.

Hingga kini, perempuan kelahiran Ngata Toro pada 23 Maret 1971 itu menganggap, tugasnya untuk mengembalikan hak-hak perempuan yang telah lama ada dalam figur seorang Tina Ngata, belum juga selesai. Menyaksikan perputaran waktu yang begitu cepat, mengharuskan Rukmini dan Tina Ngata lainnya menyiapkan regenerasi remaja perempuan Toro, untuk melanjutkan apa yang sudah ada saat ini.

Ibarat Notava (membuka lahan/jalur) misalnya, seseorang yang menanam pohon kemudian pohon tersebut rimbun, belum sempat berteduh pada pohon tersebut, si penanam telah tiada (meninggal). Hal ini persis seperti yang ditanamkan Rukmini dalam relung hatinya selama ini.

“Jadi saya bilang, saya ini Notava, jadi apa yang saya lakukan hari ini tidak akan saya nikmati hasilnya, karena umurku hanya mampu Notava, biarlah anak cucu generasi selanjutnya menuai hasilnya,” sebut Rukmini.

Dalam biografi hidupnya, Rukmini mencatatkan pada tahun 1999, sebagai salah satu inisiator pendiri sekaligus diangkat menjadi Dewan Nasional di Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Kemudian pada tahun 2014, Rukmini ditunjuk sebagai salah satu anggota Forum Peradilan Adat Sulawesi Tengah sampai saat ini.

Tidak cukup merebut kembali ruang perempuan dalam Kelembagaan Adat. Perempuan asli Toro, Kecamatan Kulawi, itu juga mencoba peruntungannya merebut satu kursi perempuan DPR RI di Senayan dengan daerah pemilih Sulawesi Tengah, pada Pemilihan Legislatif tahun 2019.

Menjadi satu-satunya calon wakil Rakyat dari Masyarakat Adat, Rukmini menegaskan hal itu merupakan mandat yang diberi langsung oleh Organisasi yang sudah dibesarkan serta membesarkan namanya AMAN.

“Dan pencalonan itu dari organisasi masyarakat Adat. Bukan Partai,” Tegas Rukmini.

Pada saat injury time penutupan pendaftaran caleg, Rukmini baru dipinang Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Padahal, Sulawesi Tengah sendiri sebenarnya bukan lumbung suara PKB.

“Tapi, ketika mereka tahu ada caleg dari masyarakat adat, mereka tertarik, namun memang belum beruntung sehingga belum berhasil lolos,” Ujar Perempuan 48 tahun ini.

Puncaknya pada tahun 2019 yang lalu. Rukmini Paata Toheke diganjar penghargaan ‘Kartini Award’ oleh XL Indonesia, Karena dianggap sebagai salah satu wanita tangguh yang mampu memperjuangkan hak Perempuan. Serta ditahun itu juga, Ia menerima penghargaan sebagai pengadil perempuan terbaik dalam tatanan masyarakat Adat seluruh Indonesia.

PUAN PEJUANG KESETARAAN DARI TORO

Meraih informasi sejumput demi sejumput perihal Tina Ngata, ceritera pasal kegigihan Rukmini merebut kembali ruang perempuan memulai dari lingkungannya hingga berhasil, bukanlah sesuatu yang mudah. Sebab kerap kali puan-puan di Indonesia yang berada di jalur tersebut, tumbang berguguran.

Barangkali, hal itu menjadi dasar penilaian yang digambarkan Aktivis HAM dari Solidaritas Korban Pelanggaran HAM Sulawesi Tengah Nurlaela Lamasitudju, Rabu (29/7), untuk Puan Pejuang Kesetaraan dari Toro, Rukmini.

Dalam hipotesis perempuan kelahiran Poso ini, alur waktu perempuan Indonesia secara umum serta Sulawesi Tengah secara khusus, pernah tiba dalam masa kegelapan. Perempuan kehilangan ruang, harkat dan martabatnya saat memasuki masa penjajahan Belanda, bahkan meski Republik ini telah merdeka, hingga memasuki tahun 1998.

Namun setahun kemudian, secara khusus ruang perempuan itu dikembalikan lagi secara utuh melalui kehadiran Komnas Perempuan hingga Kementerian Pemberdayaan Perempuan oleh Indonesia.

Mengenang itu, Nurlaela menyebutnya sebagai bentuk upaya merumahkan, men-dapur-kan, hingga meng-kasur-kan kaum wanita, dengan program andalan Pemerintah masa itu, yang hingga sekarang dikenal sebagai Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK).

Ketua SKP-HAM Palu, Nurlalela A.K. Lamasituju menunjukkan buku “Menemukan Kembali Indonesia” yang diluncurkan di Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (22/01/2015). (SUMBER: SKP-HAM)

Kata dia, tibanya perempuan dalam masa kegelapan, tidak lepas dari kepentingan politik era orde baru. Berbeda pemimpin, maka berbeda pula perlakuan yang diberikan pada perempuan.

Padahal sejatinya, menurut pegiat HAM Sulawesi Tengah ini, perempuan Sulawesi Tengah, yang domainnya adalah perempuan Kaili, sejak dulu telah hidup setara dengan kaum laki-laki, dengan kehadiran sejumlah raja perempuan menjadi bukti yang tak terbantahkan.

“Maka boleh jadi atas kepentingan sebagai penguasa saat itu, agama kawin dengan politik, sehingga peran-peran perempuan menjadi di-Dharma Wanita-kan dan di- PKK-kan,” ujar putri ulama besar KH Abd Karim Lamasitudju ini.

Dari bangunan papan bercampur beton, sekitar 20 meter dari Jalan Utama Basuki Rahmat, jalan bersejarah menjadi salah satu titik kerja paksa para korban 1965/1966, tepat di belakang hotel berlantai 11 di Kantor SKP-HAM Sulteng, perempuan akrab disapa Kak Ela ini juga menegaskan, prinsip hak asasi manusia adalah setara. Maka apabila mampu, menjadi pemimpin bagi perempuan adalah hak yang tidak jauh panggang dari api.

Ia pun menilai apa yang dilakukan Rukmini dengan menerapkan seluruh prinsip hak asasi manusia hingga kini telah benar. Nurlaela menyebut Rukmini sebagai Pejuang Kesetaraan yang Nyata dari Toro.

TINA NGATA TAK LAGI BERDASARKAN KETURUNAN RAJA

Secara konseptual, Tina Ngata merupakan figur pemimpin berasal dari kaum perempuan yang fungsinya sama dengan Totua Ngata (Dewan Adat Kampung), yakni dalam tatanan tertinggi struktur sosial memiliki hak, wewenang, akses serta kontrol terhadap pengambilan keputusan, dan telah ada sejak abad ke 18. Sedikit lebih dulu dari bangsa ini yang baru memiliki Pemimpin perempuan pada abad ke 21.

Namun, saat itu tampuk jabatan yang dipegang perempuan dikenal sebagai Tina Ngata hanya bisa berpindah tangan secara turun temurun pada garis keturunan raja-raja. Bahkan masih berlangsung saat Belanda berhasil menduduki Wilayah Kecamatan Kulawi.

Dua anak perempuan Desa Toro sedang memperbaiki jilbab yang dikenakan, bersama dengan pakaian khas adat, di Desa Toro, Sabtu (01/09/2018). (FOTO: JOSUAH MARUNDUH)

Namun pada masa masuknya penjajahan, fungsi Tina Ngata yang sama rata dengan Totua Ngata perlahan mulai bergeser, dan semakin menjauh dari fungsi utamanya saat Indonesia telah merdeka hingga pada tahun 2001.

Perempuan saat itu tak pernah lagi berkesempatan memegang kendali. Fungsi dalam tatanan sosial lenyap seketika, tersisa perempuan yang hanya berstatus sebagai permaisuri raja.

“Jadi jangankan ikut memutuskan perkara pelanggaran adat dalam proses Potangara, naik di Lobo (Rumah pertemuan Lembaga Adat) bersama tokoh adat pria, perempuan anak raja yang sebagai Tina Ngata tidak boleh,” kenang Tina Ngata Toro Rukmini Paata Toheke.

Namun berbeda dulu dan sekarang. Kata Rukmini, saat ini siapa saja bisa menjadi Tina Ngata di Toro, tak lagi mengharuskan keturunan Raja. Sikap bijaksana, tegas, jujur, santun nan lembut hatinya adalah modalnya. Sebab selain memiliki fungsi formal dalam struktur sosial, tina ngata adalah perempuan pengayom, yang tindak lakunya menjadi contoh bagi masyarakat.

Karena itu, diangkatnya seorang perempuan sebagai Tina Ngata hanyalah berangkat dari Kepercayaan masyarakat semata. Tak perlu ada pemungutan suara, apalagi biaya untuk pemilihannya. Semua berlangsung secara dinamis dalam bahasa lokal disebut Kodi-kodi atau Bohe-bohe.

Jika dalam setiap hajatan di Desa seorang Perempuan menerima Undangan secara lisan dari seluruh warga, itu artinya ia telah layak memakai asesoris Kepala khas Tina Ngata, karena kepercayaan tersebut.

Pun sebaliknya, status tina ngata gugur jika tak ada lagi kepercayaan dari warga desa. Asesoris tina ngata wajib ditanggalkan.

TINA NGATA DI SIMPANG JALAN

Dari bangunan kayu berbentuk seperti rumah panggung yang disebut sebagai Baruga,  Iksam Djorimi, budayawan Kaili yang juga Wakil Kepala Museum Sulawesi Tengah, bercerita tentang Tina Ngata.

Ada’ Ntina, merupakan istilah dalam bahasa Kaili untuk menggambarkan adat dari garis keturunan ibu (matrilineal). Istilah ini juga lekat pada pemaknaan perempuan adalah sebagai penjaga kelangsungan adat (Mombine Pomboli Nu’ada).

Konsepsi yang implementasinya melebihi prinsip kesetaraan gender ini, sungguh telah lama ada dalam pranata hidup masyarakat Kaili sejak berabad-abad lalu. Dalam kehidupan suku Kaili, kaum perempuan diberi ruang khusus sebagai penyimpan, penjaga, bahkan pemegang adat.

Istilah Ntina sendiri kemudian menjadi salah satu tatanan dalam sistem pemerintahan Kaili di masa lalu, di mana Ntina memiliki hak pengawasan terhadap adat yang dijalankan kerajaan, bahkan memutuskan siapa figur raja yang akan memimpin. Jika dalam tatanan hukum yang ada saat ini, kita mengenalnya sebagai Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Sedangkan dalam dalam konsep kesetaraan kepemimpinan, suku Kaili khususnya di Kabupaten Sigi, memiliki Magau atau Madika (Raja) perempuan yakni Ntondei, yang mewarisi tahta dari kakaknya Karanjalemba, yang ditangkap dan diasingkan ke Sukabumi, akibat mengobarkan perlawanan terhadap kolonialisme. Hal ini membuktikan begitu istimewanya posisi perempuan dalam tatanan hidup To Kaili (orang Kaili).

Wakil Kepala Museum Sulawesi Tengah sekaligus Budayawan Kaili, Iksam Djorimi. (SUMBER: FACEBOOK)

“Sehingga dalam konsep kesetaraan semacam masa kini, perempuan Kaili itu memiliki hak yang sama dalam kepemimpinan. Hal ini sudah sejak dulu, bukan nanti saat ini,” kata Iksam Djorimi, Rabu (5/8) di Palu.

Iksam menjelaskan pranata dasar hidup orang orang Kaili, yang sejatinya memberi kesempatan pada mereka yang memiliki atau dianggap mampu, serta layak untuk melakukan tugas-tugas keadatan, maupun tugas melanjutkan memimpin kerajaan. Karenanya kata dia, tidak sedikit suksesi raja-raja dalam sistem kerajaan di Sulawesi Tengah, tak harus dilanjutkan oleh anak keturunannya.

Akan tetapi, sistem tersebut tetap mengakomodir anak keturunan kerajaan, sebab  menurut Iksam, pada merekalah diwariskan nilai-nilai falsafah hidup To Kaili (orang Kaili), untuk diteruskan pada generasi ke generasi selanjutnya.

Namun menurut Iksam konsep yang tidak mengharuskan anak keturunan raja atau bangsawan untuk melanjutkan pemerintahan, telah menggeser nilai-nilai keadatan itu sendiri. Meski memilih figur dari kalangan rakyat biasa untuk melanjutkan tampuk pemerintahan, dengan pertimbangan figur tersebut mampu serta paham akan sistem pemerintahan serta tugas keadatan, telah dilakukan turun temurun sejak dahulu.

Pun apa yang terjadi hari-hari ini. Plus serta minus juga ada dalam apa yang dilakukan Rukmini Paata Toheke. Tina Ngata telah sampai di simpang jalan itu.

Iksam mengemukan modernisasi dengan berbagai teknologi, ditambah sikap acuh tak acuh generasi akan kebudayaannya sendiri, membuat para tokoh adat masa kini di seluruh nusantara, harus melakukan revitalisasi agar menjaga panjang usia kebudayaan itu sendiri, jangan sampai hilang dengan anggapan karena tak ada yang peduli. Meski harus mentransfer nilai yang sama ke realita masa kini.

“Justru konsep itu hari ini adalah menjadi kekuatan kita, dan saran saya kalau memang ada orang yang mampu, kenapa tidak? Namun tetap di tengah mereka, harus ada sosok keturunan dari raja-raja kita terdahulu, untuk menjadi pengambil keputusan,” Jelas Iksam, lelaki yang khas dengan gelang adat beraneka warna di tangan kanannya.

“karena seringkali peristiwa di masa kerajaan, jika seseorang ini bukan dari kelas menengah atau bangsawan, namun dia berjasa pada kerajaan misal dalam peperangan, lalu diangkat menjadi bangsawan, kenapa tidak jika dijadikan sebagai figur pemimpin? Namun bukan menjadi pengambil kebijakan tunggal, sehingga jangan sampai tercerabut dari sistem yang ada,” Lanjutnya.

Wujud lainnya penghargaan pada perempuan yang ada dalam kehidupan orang Kaili kata arkeolog satu-satunya Sulawesi Tengah ini, sudah diajarkan sejak dalam usia kanak-kanak. Contoh kasusnya, lanjut Iksam, yang mana para orang tua jika sepulang ke rumah membawa oleh-oleh ataupun makanan dalam jumlah banyak maupun sedikit, pasti akan terlebih dulu memberinya pada anak perempuan, baru setelahnya pada anak lelaki.

Makna filosofis dari perilaku tersebut kata Iksam, sebab perempuan adalah anugerah dari Yang Maha Kuasa, dengan penuh kasih sayang terhadap semuanya. Orang Kaili percaya, perempuan meski diberi bagian yang banyak, ia akan tetap mengingat membagi pada saudara lainnya. Namun belum tentu hal yang sama dilakukan oleh lelaki.

Penghargaan tinggi orang Kaili terhadap sosok perempuan, baik dalam struktur keadatan, pemerintahan, bahkan dalam kehidupan sehari-hari, adalah bukti bahwa konsep kesetaraan sudah mengakar dalam kehidupan orang Kaili, terutama bagaimana mereka sangat menghormati garis keturunan, terutama dari pihak ibu (matrilineal).

Hal ini juga yang agaknya menjadi alasan, mengapa konsepsi Tina Ngata dengan peran perempuan sebagai penjaga adat (Mombine Pomboli Ada), yang terus dirawat oleh Rukmini dan para Tina Ngata lainnya di Toro, tetap terjaga sampai kini, walaupun banyak hal yang telah bergeser, termasuk tatanan adat itu sendiri, akibat dari perkembangan zaman.

Reporter : Muhammad Izfaldi
(Penerima Fellowship Peliputan dari Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman (SEJUK), dengan tema: Meliput Isu Kebebasan Beragama dan Berekspresi di Sulawesi Tengah)

Editor : Rifay