PALU – Partai Amanat Nasional (PAN) menjamin tidak ada sistem kerja bakti bagi siapa saja yang ingin menjadi calon legislatif (caleg) melalui partai tersebut. Meskipun gagal atau tidak terpilih, caleg yang bersangkutan tetap mendapatkan manfaat atas usahanya meraih suara, sehingga partainya bisa meraih kursi di parlemen.
“Kita tidak tahu, apakah ini berlaku juga di partai lain atau tidak. Kalau di PAN itu, ada yang namanya sistem kompensasi sebagai kewajiban bagi caleg terpilih kepada rekannya sesama caleg dalam satu dapil yang tidak terpilih. Aturan ini diberlakukan melalui SK DPP PAN Tahun 2017,” ungkap Sekretaris Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Amanat Nasional (PAN) Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng), Yahya R. Kibi, saat konferensi pers, di Kantor DPW, Selasa (15/03).
Ie menjelaskan, untuk DPR RI, satu suara dihargai sebesar Rp10 ribu, DPRD provinsi sebesar Rp15 ribu satu suara dan DPRD kabupaten/kota sebesar Rp20 ribu per satu suara.
“Itu penetapan secara nasional, tapi mungkin saja ada DPD yang berani menaikkan nilainya, itu tidak mengapa, disilahkan,” katanya.
Namun, kata dia, syarat yang harus terpenuhi untuk mendapatkan kompensasi tersebut adalah, caleg yang tidak berhasil duduk tersebut harus memperoleh minimal 10 persen dari akumulasi suara yang diraih secara keseluruhan.
Misalnya, kata dia, untuk DPRD Provinsi Sulteng dari daerah pemilihan Kota Palu dengan jumlah sebanyak enam kursi. Biasanya, kata dia, standar minimal kursi terbawah dari dapil tersebut adalah sekitar 12 ribu sampai 13 ribu.
“Kalau 13 ribu suara dari akumulasi enam caleg, maka 10 persen dari situ adalah minimal sekitar 1.300 per caleg. Maka dari 1.300 suara itu, caleg yang tidak terpilih ini akan mendapatkan kompensasi sekitar Rp19,5 juta,” terangnya.
Ia mencontohkan Ronald Gulla, anggota DPRD Sulteng dari Dapil Banggai, Bangkep dan Balut yang harus memberikan kompensasi kepada Oskar Paudi sebesar Rp111 juta karena Oskar mendapatkan suara sekitar 7.000.
Begitu pula di tingkat DPR RI. Adelia Pasha (istri mantan Wali Kota Palu) yang tidak berhasil duduk di Senayan, mendapatkan Rp330 juta dari Syarifuddin Sudding.
Kata dia, kompensasi tersebut diberikan satu kali dalam satu periode. Paling lama, kata dia, dua tahun harus diselesaikan sejak caleg yang terpilih dilantik.
“Harus cash tidak boleh dicicil. Ini berlaku ketat. Jika ada anggota dewan yang tidak mau membayar maka langsung di PAW. Untuk periode 2019-2024 ini, pada Bulan Desember 2021 lalu, semua sudah selesai dibayarkan kompensasinya,” tegasnya.
Menurutnya, PAN sengaja memberlakukan sistem tersebut dengan anggapan bahwa jika tidak ada rekan lain sesama caleg yang ikut menyumbang suara, maka belum tentu partai bisa mendapatkan kursi di parlemen.
“Walaupun satu caleg itu bisa mendapatkan suara banyak, tapi belum tentu bisa duduk kalau tidak ada suara yang kecil-kecil. Makanya suara kecil itu perlu kita hargai,” katanya.
Ia menegaskan, bahwa tidak ada sistem kerja bhakti di PAN. Ada harga yang diperoleh dari usahanya, minimal bisa mendapat 10 persen dari akumulasi suara dalam satu dapil.
“Tapi meskipun yang dia dapat tidak sampai 10 persen, bisa saja ada anggota DPRD yang mau menghargai suaranya, itu tidak masalah,” tambahnya.
Saat ini, DPW PAN Sulteng melalui Komite Pemenangan Pemilu Wilayah (KPPW) yang diketua Ronald Gulla, sedang membuka pendaftaran caleg yang ingin maju pada pileg 2024 mendatang.
Untuk caleg DPR RI, terdapat beberapa nama yang sudah mendaftar, yakni Ketua DPW PAN Sulteng, Rusli Dg Palabbi, Syarifuddin Sudding, Saleh Bantilan dan Hamzah Ruji.
“Jadi sudah empat orang, dua lagi dan kita butuh perempuan,” tutup Yahya R. Kibi. (RIFAY)