Zero Waste to Landfill yang diusung perusahaan pertambangan berkelanjutan, PT Vale Indonesia Tbk, tak hanya sebuah slogan yang terpampang di papan-papan informasi dalam kawasan.

Ada banyak cara yang dilakukan PT Vale untuk mewujudkan Zero Waste to Landfill agar tak hanya sebatas filosofi, tapi teraplikasi melalui upaya keras mengurangi volume sampah yang masuk ke tempat pembuangan akhir (TPA).

Komitmen ini dijalankan oleh perseroan yang tergabung dalam holding PT Mineral Industri Indonesia (Persero) atau MIND ID ini, dalam rangka mewujudkan masa depan yang hijau melalui integrasi prinsip keberlanjutan, dari sisi lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG).

Berbagai metode dan teknologi diterapkan agar sampah-sampah domestik yang masuk TPA bisa terminimalisir, mulai dari mendaur ulang menjadi bernilia ekonomis, hingga memanfaatkannya menjadi gas dan pupuk kompos. Semua terintegrasi dalam tiga prinsip utama, yaitu Reduce, Reuse, Recycle (3R)

Tak hanya itu, limbah hasil tambang yang oleh awam tidak bernilai guna, ternyata masih bisa memberi manfaat besar bagi masyarakat dan perusahaan itu sendiri.

SEGREGATION AREA, DONASI SAMPAH HINGGA TEKNOLOGI MAGGOT

Semangat Zero Waste to Landfill bisa disaksikan ketika memasuki Segregation Area, di Taman Kehati Sawerigading Wallacea, Desa Sorowako, Kecamatan Nuha, Kabupaten Luwu Timur.

Bau menyengat khas sampah akan terasa ketika memasuki area ini. Tak heran, karena di area yang bernaung dalam Departemen Sustainability PT Vale Indonesia Tbk ini, akan ditemui banyak tumpukan sampah.

Sampah-sampah itu mulai dari sampah organik berupa sisa makanan dan kayu bekas, serta sampah anorganik dalam bentuk kaca, botol bekas, dan logam, serta sampah B3 (bahan beracun dan berbahaya) yang diangkut secara rutin dari rumah warga maupun karyawan PT Vale.

Di area yang memiliki kapasitas 12-15 ton sampah per hari itu, sampah yang baru masuk langsung dipilah berdasarkan jenisnya.

Sampah-sampah anorganik langsung diolah dengan cara di-press. Sampah-sampah inilah yang dianggap memiliki nilai ekonomis, untuk didonasikan ke bank sampah yang ada di beberapa desa di lingkar tambang.

Terdapat empat bank sampah yang menjadi langganan donasi PT Vale, yaitu yaitu Bank Sampah Unit Delima Kelurahan Magani, Desa Sorowako, Bank Sampah Unit Molena Iniaku Desa Nikkel, dan Bank Sampah di Desa Tabarano.

Muh Firdaus Muttaqi, Manager Operation Environment & Reclamation, Segregation Area, PT Vale Indonesia Tbk, mengatakan, di tahun 2025 ini, pihaknya telah mendonasikan sekitar 9 ton sampah-sampah daur ulang ke bank sampah.

“Sebelum donasi, biasanya kami koordinasikan dulu ke bank sampah, mereka butuh berapa. Jadi kalau misalnya bulan ini dia butuh, kami bisa. Jadi, tiap bulan kami bisa. Intinya, kami menunggu dari kesiapan mereka,” kata Firdaus kepada sejumlah awak media, akhir bulan lalu.

Dalam sehari, kata dia, sekitar 12-15 ton sampah masuk ke segregasi. Sampahnya berasal dari perumahan karyawan PT Vale, dari fasilitas perusahaan, termasuk dari playground.

Khusus untuk limbah B3 (Bahan Beracun dan Berbahaya), lanjut dia, PT Vale sendiri itu sudah bekerja sama dengan pengolahan limbah B3 yang sudah berizin.

Salah satu karyawan di Segregation Area PT Vale sedang menjelaskan proses pembuatan pupuk kompos. Pupuk kompos ini diolah dari sampah-sampah organik yang dikumpulkan dari perumahan masyarakat. (FOTO: media.alkhairaat.id/Rifay)

Lain halnya dengan sampah anorganik, pengelolaan sampah organik yang rata-rata dalam bentuk sisa-sisa makanan dilakukan dengan metode yang berbeda.

Ada hal menarik yang diterapkan PT Vale dalam mengelola sampah-sampah dari sisa makanan ini.

Sampah-sampah tersebut diurai menggunakan teknologi maggot, berupa larva lalat Black Soldier Fly (BSF).

Teknologi ini juga menjadi sarana budidaya lalat BSF tersebut. Budidaya dilakukan secara sederhana, dengan terus mempertahankan rantai kehidupannya agar tetap bisa berlanjut di dalam penangkaran.

“Ini beda dengan lalat hijau atau lalat yang berada di tempat kotoran, sangat beda,” ujar Firdaus.

Rantai kehidupannya terbilang singkat, mulai dari larva, belatung, hingga menjadi lalat. Kawin, bertelur, lalu mati. Begitu seterusnya.

Namun dari siklus hidup yang berlangsung singkat tersebut, ada manfaat besar yang diberikan hewan “menggelikan” itu, berhubungan dengan sampah-sampah organik.

“Maggot ini, selain manfaat utamanya mengurai sampah organik menjadi bahan kompos, ketika dia sudah dalam bentuk belatung, bisa dimanfaatkan untuk pakan ternak seperti ayam dan ikan, karena proteinnya tinggi,” ujar Firdaus.

Lebih lanjut Firdaus mengatakan, dari hasil olahan sampah organik yang telah melalui proses penguraian dengan teknologi maggot, maka tahap selanjutnya adalah mengolahnya menjadi pupuk kompos.

“Kurang lebih 8 minggu kita sudah bisa panen. Dalam 1 ton olahan kompos yang terdiri dari macam-macam campuran, kita biasa panen kurang lebih cuma 650 kg, kadang 600 kg,” katanya.

Setelah berubah dalam bentuk pupuk, lanjut dia, biasanya ada komunitas di luar area perusahaan yang datang mengajukan permintaan untuk kepentingan pembibitan.

“Tapi enggak terlalu banyak karena memang lebih banyak masuk ke kegiatan kami sendiri untuk kebutuhan reklamas,” ujarnya.

BIONI, MENYULAP SISA MAKANAN MENJADI ENERGI DAN PUPUK

Sampah organik ternyata tidak hanya dimanfaatkan oleh PT Vale sebagai bahan pembuatan pupuk kompos. Sampah organik ternyata memiliki nilai yang bisa dimanfaatkan langsung oleh masyarakat, yaitu berupa gas untuk memasak dan Pupuk Organik Cair (POC).

Kali ini, pengolahan sampah organik menjadi gas dan pupuk, tidak dilakukan di Segregation Area, melainkan di lahan terbuka, dengan tujuan sebagai sarana edukasi langsung kepada masyarakat.

Di komplek Pasar Magani, Kelurahan Magani, PT Vale menghadirkan teknologi pengolahan sampah itu. Mesin ini bahkan terhubung langsung dengan kurang lebih 14 warung yang ada di Pasar Magani.

Teknologi ini diberi nama Biodigester Nickel (Bioni). Memanfaatkan tenaga kerja lokal yang bernaung di Bumdes untuk mengoperasikannya.

“BIONI adalah inisiatif yang dapat mengolah sampah organik menjadi biogas sebagai energi alternatif dan pupuk yang bisa dimanfaatkan untuk pertanian skala rumah tangga,” kata Environment Engineer PT Vale, Leoni Butar Butar.

Menurutnya, inovasi ini tidak hanya membawa manfaat bagi lingkungan, tapi juga berdampak pada penguatan ekonomi lokal.

Manager Environment PT Vale Indonesia, Umar Kasmon, menambahkan, inisiasi biodigester ini dimulai dari proses pemilihan sampah yang ada di PT Vale.

“Jadi di kita ada yang namanya segregation plan atau di luar biasanya disebut TPS 3R atau TPST yang selebihnya dibuang ke TPA Inalahi Sanitary Landfill,” kata Umar.

Dari TPA tersebut, lanjut dia, pihaknya melakukan identifikasi dan menemukan bahwa lebih dari 30% yang terbuang adalah sampah organik. Malah, kata dia, mayoritas saat dipilah dan berujung ke TPA adalah sampah organik.

“Sehingga kita melihat pentingnya melakukan pemilahan sampah organik ini di sumber. Itulah yang kemudian kita coba lakukan dengan beberapa program, salah satunya program emberisasi di area perumahan karyawan. Nah, dari sana sampah organik yang telah dipilah itu diolah di biodigester ini,” tutur Umar.

Lebih lanjut ia mengatakan, sampah organik yang diproses dengan metode anaerob atau dengan bakteri, berubah menjadi gas metan yang memiliki tekanan sangat rendah, sehingga sangat aman digunakan untuk rumah tangga.

“Namun karena sangat rendahnya juga maka butuh volume yang lebih banyak untuk bisa menghasilkan gas dipakai memasak. Gas yang dihasilkan bisa dipakai untuk empat tungku dengan waktu masing-masing selama 4 sampai 8 jam,” ujarnya.

Selain menjadi gas, lanjut dia, hasil pengolahan dalam bentuk cair juga bisa dimanfaatkan menjadi POC.

“Jadi nilai tambahannya bukan cuma di gas tapi juga di POC-nya,” katanya.

Proses pengolahan sampah organik di BIONI PT Vale yang terletak di Pasar Magani, Luwu Timur. Hasil olahan ini menghasilkan gas metan dan pupuk cair. (FOTO: media.alkhairaat.id/Rifay)

Dalam sehari, kata dia, pihaknya mengolah sampah maksimal 100 kg dalam biodigester. Dari proses tersebut, biodigester bisa menghasilkan POC sebanyak 50% dari total sampah yang diolah, atau sekitar 50 liter.

“Sejauh ini, POC yang dihasilkan masih kita manfaatkan untuk persemaian bibit di area nursery,” katanya.

Ia menekankan bahwa proses pemilahan sampah di awal adalah hal yang paling penting dikampanyekan. Sebab, kata dia, jika sudah tercampur dengan material-material lain, maka ujung-ujungnya harus dibuang ke TPA atau malah dibakar.

“Pembakaran sendiri hasilnya bukan gas yang bisa dipakai memasak, tapi malah gas yang beracun dan berbahaya. Itu yang selalu ingin kita edukasikan ke masyarakat,” imbuhnya.

WAJIBKAN KARYAWAN MEMILAH SAMPAH SENDIRI LEWAT EMBERISASI

Sebelum ke maggot dan biodigester, sampah organik sisa-sisa makanan tersebut diambil dari perumahan karyawan.

Di sana, karyawan sudah diwajibkan memilah sampahnya sendiri sehingga memudahkan proses pengolahannya di segregasi maupun di biodigester. Oleh PT Vale, proses pemilihan di perumahan karyawan ini diberi istilah “emberisasi”.

Environment Engineer PT Vale, Leoni Butar Butar, mengatakan, program emberisasi dimulai sejak akhir tahun 2024 di sekitar 100 unit rumah di area Perumahan Pontada.

“Untuk awalnya ini kita lakukan dulu di daerah perumahan karyawan. Harapannya, keluarga karyawan bisa menjadi contoh untuk diaplikasikan ke masyarakat,” kata Leoni.

Rina, istri salah satu karyawan PT Vale Indonesia Tbk, adalah salah satu yang konsisten menjalankan program ini.

Awalnya, istri dari Ashadi Cahyadi, karyawan PT Vale di Departemen Health and Safety ini, mengaku pesimis bisa menjalankan program itu dalam jangka waktu yang panjang.

“Susah-susah gampang. Tapi setelah dijalani, ternyata sangat berpengaruh. Yang tadinya sampah basah, langsung buang di tempat sampah dicampur dengan yang lain. Sekarang, ada sisa makanan di selembar tisu saja, sudah kepikiran dan langsung dipilah,” kata Rina.

Tadinya, kata dia, tempat pembuangan sampah di rumahnya juga hanya satu. Namun karena adanya program emberisasi tersebut, ditambah menjadi tiga.

“Ada untuk sampah bekas makanan, pembungkusnya sama ada sampah residu seperti botol kaca, bekas selai, kotak makanan yang tidak bisa lagi diproses. Dan yang satunya lagi ada ember,” ujarnya.

Ia juga aktif melakukan sosialisasi dan mendorong ibu-ibu dalam kawasan perumahan untuk membiasakan diri memilah sampahnya sendiri.