JAKARTA – Hasil pemetaan kerawanan pemilihan serentak 2024 yang dilakukan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), merekam lima provinsi dengan kategori kerawanan tinggi.
Lima Provinsi yang rawan tinggi (13%), 28 Provinsi rawan sedang (76%), dan 4 Provinsi rawan rendah (11%). 5 Provinsi yang masuk kategori tinggi yakni Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Timur, Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah.
Sementara itu di tingkat kabupaten/kota, pemetaan kerawanan pemilihan serentak 2024 merekam ada 84 kabupaten/kota (16%) yang masuk kategori kerawanan tinggi, 334 kabupaten/kota (66%) masuk kerawanan sedang, dan 90 kabupaten/kota (18%) masuk kategori kerawanan rendah.
Ketua Bawaslu RI, Rahmat Bagja, mengatakan, pelaksanaan tahapan pencalonan, kampanye dan pungut hitung yang berintergitas menjadi kesuksesan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah serentak 2024.
“Pemetaan Kerawanan Pemilihan Serentak 2024 menegaskan, jika ketiga tahapan ini tidak dijaga dan dikawal dengan baik, berpeluang besar memberikan pengaruh terhadap lahirnya kerawanan di pemilihan,” kata Bagja, Senin (26/08).
Ia mengatakan, dari tiga tahapan yang diukur dalam pemetaan tersebut, setiap tahapan memiliki kerawanan yang harus segera diantisipasi. Kerawanan Pemilihan juga disumbang oleh kondisi sosial politik yang terjadi pada level nasional hingga daerah.
Lanjut dia, pemetaan Kerawanan Pemilihan Serentak 2024 yang berfokus pada tahapan pencalonan, kampanye dan pungut hitung, merupakan bagian dari rangkaian tindaklanjut kajian dan riset IKP Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024 yang diluncurkan pada tahun 2022 lalu.
Sebelumnya, IKP Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024 juga sempat diperdalam oleh Bawaslu pada tahun 2023 untuk menguatkan agenda pencegahan terhadap beberapa isu strategis pada penyelenggaraan pemilihan umum.
“Kemudian pada Tahun 2023, Bawaslu menyusun dan meluncurkan pemetaan kerawanan pemilu dan pemilihan serentak 2024,” katanya.
Menurutnya, tahapan pungut hitung menjadi tahapan yang paling rawan pada penyelenggaraan Pemilihan Serentak 2024, setelah itu tahapan kampanye dan tahapan pencalonan.
“Pada tahapan pencalonan kerawanan dipengaruhi oleh potensi penyalahgunaan kewenangan oleh calon unsur petahana, ASN, TNI dan Polri seperti melakukan rotasi jabatan,” ungkapnya.
Sementara kerawanan pada tahapan kampanye disumbang oleh potensi praktik politik uang, pelibatan aparatur pemerintah (ASN, TNI dan POLRI), penggunaan fasilitas negara dalam kampanye dan konfil antar peserta dan pendukung calon.
“Potensi kerawanan pada tahapan pungut hitung disumbang oleh beberapa isu yang berpotensi terjadi. Berkaca pada penyelenggaraan Pemilu 2024 lalu, beberapa di antaranya adalah kesalahan prosedur yang dilakukan oleh penyelenggara pemilihan adhoc, pemungutan suara ulang, pemungutan suara susulan dan pemungutan suara lanjutan,” tambah Bagja.
Kata dia, hal yang paling mempengaruhi kerawanan pada konteks sosial politik adalah potensi adanya intimidasi, ancaman dan kekerasan secara verbal dan fisik antar calon, antar pemilih maupun calon/pemilih kepada penyelenggara pemilihan.
Bawaslu juga mencatat sejumlah isu strategis yang harus menjadi perhatian bersama, terutama oleh penyelenggara pemilu.
Catatan isu strategis yang dimaksud adalah netralitas aparatur pemerintah dan penyelenggara pemilihan, praktik politik uang.
“Metode praktik politik uang yang semakin berkembang seperti penggunaan uang digital, kartu elektronik hingga barang kebutuhan sehari-hari. Pencegahan yang masif harus dilakukan oleh seluruh pihak,” tegas Bagja.
Isu strategis selanjutnya adalah polarisasi masyarakat dan dukungan publik, penggunaan media sosial, konteks keserentakan pemilu dan pemilihan.
“Salah satunya proses pencalonan pemilihan menjadi kurang partisipatif,” jelasnya.
Kemudian faktor keamanan, kompetensi penyelengara adhoc, hak memilih dan dipilih, layanan kepada pemilih, bencana alam dan distribusi logistik, perselisihan hasil pemilihan, serta kebijakan pemilihan yang berubah.
“Politik yang dinamis efek dari penyelenggaraan Pemilu 2024 akan berpotensi terhadap perubahan aturan hukum yang cepat. Maka dari itu perlu kerja sama seluruh stakholders untuk memastikan agar kebijakan disiapkan dengan baik guna memastikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan pemilihan,” imbuhnya. (RIFAY)