OLEH : Muhammad Qadri*
Mengubah Sudut Pandang: Bawaslu Lebih dari Sekadar “Polisi Pemilu”
Ketika tahapan Pemilu dan Pemilihan berakhir, pertanyaan yang kerap muncul di benak publik adalah: “Apa yang dikerjakan Bawaslu sekarang?”
Pertanyaan ini mencerminkan sebuah mispersepsi fundamental yang perlu diluruskan. Bawaslu sering kali hanya dipersepsikan sebagai “polisi pemilu” yang bertugas menindak pelanggaran saat masa kampanye dan pemungutan suara.
Padahal, esensi dari pengawasan Pemilu jauh lebih dalam dan berkelanjutan dari sekadar fungsi represif temporal.
Masa non tahapan periode di luar jadwal resmi penyelenggaraan Pemilu maupun Pemilihan justru menjadi momentum paling strategis bagi Bawaslu untuk menjalankan peran transformatifnya sebagai penjaga integritas demokrasi.
Jika masa tahapan adalah ujian akhir, maka masa non tahapan adalah periode persiapan yang menentukan kualitas hasil ujian tersebut. Tanpa persiapan matang, demokrasi kita hanya akan menjadi ritual lima tahunan yang kosong akan makna.
Fondasi Hukum yang Mengamanatkan Peran Berkelanjutan
Mandat Bawaslu di masa non tahapan bukan sekadar inisiatif kelembagaan, melainkan amanat konstitusional yang tegas. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum tidak membatasi fungsi Bawaslu hanya pada masa tahapan.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 secara eksplisit mengatur tugas dan wewenang Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabuaten/Kota yang mencakup pencegahan dan penindakan pelanggaran, peningkatan partisipasi masyarakat, serta penyusunan standar pengawasan, fungsi-fungsi yang justru memerlukan kerja intensif di masa non tahapan.
Lebih lanjut, Peraturan Bawaslu dan berbagai pedoman teknis menegaskan bahwa pengawasan pemilu bersifat kontinum dan berkesinambungan, bukan diskret.
Artinya, pengawasan tidak dimulai saat penetapan tahapan dan berakhir saat pelantikan pejabat terpilih, tetapi merupakan siklus berkelanjutan yang meliputi evaluasi, pembelajaran, penguatan kapasitas, dan partisipasi.
Tiga Pilar Strategis Bawaslu di Masa Non Tahapan
- Pendidikan Politik: Dari Pemilih Pasif Menjadi Warga Negara Kritis
Demokrasi yang berkualitas tidak lahir dari proses pemilu yang sempurna secara teknis, tetapi dari kematangan politik warga negaranya.
Di sinilah peran pendidikan politik menjadi krusial. Bawaslu tidak cukup hanya menunggu pelanggaran terjadi lalu menindak, tetapi harus bergerak proaktif mencegah pelanggaran melalui peningkatan literasi politik masyarakat.
Di Sulawesi Tengah, tantangan pendidikan politik sangat nyata. Dinamika praktik politik uang yang masih mengakar bahkan sudah bertransformasi kearah digitalisasi, hoaks politik mudah tersebar, dan sebagian masyarakat terutama di wilayah pedesaan masih memandang Pemilu sebagai ajang transaksional, bukan sebagai mekanisme kedaulatan rakyat.
Melalui program seperti Sekolah Kader Pengawas Partisipatif, yang saat ini menjadi Pendidikan Pengawas Partisipatif, Forum Warga, dan Desa Anti Politik Uang, hingga membangun Kerjasama kelembagaan melalui MOU, Bawaslu Sulteng membangun kesadaran kolektif bahwa demokrasi adalah tanggung jawab bersama, bukan monopoli penyelenggara.
Pendidikan politik yang dilakukan Bawaslu Sulteng tidak bersifat indoktrinatif, melainkan memberdayakan masyarakat dengan pengetahuan tentang hak dan kewajiban politiknya, mekanisme pengawasan partisipatif, serta cara melaporkan dugaan pelanggaran.
Ketika masyarakat memahami bahwa mereka adalah subjek, bukan objek demokrasi, maka kualitas pemilu akan meningkat secara signifikan.
Melalui Pendidikan politik dianggap mampu merubah narasi yang berkembang di masyarakat tentang Bawaslu di masa non tahapan. Bukan “Bawaslu sedang tidak kerja karena tidak ada tahapan Pemilu/Pemilihan,” melainkan “Bawaslu sedang mempersiapkan fondasi agar Pemilu mendatang lebih berkualitas.”
Perbedaan narasi ini fundamental karena ia membentuk ekspektasi dan legitimasi publik terhadap lembaga.
- Evaluasi dan Inovasi Sistem: Refleksi dari Pemilu Sebelumnya
Setiap penyelenggaraan Pemilu meninggalkan pelajaran berharga, baik dari keberhasilan maupun kegagalan.
Masa non tahapan adalah waktu yang tepat untuk melakukan evaluasi komprehensif terhadap efektivitas sistem pengawasan.
Pertanyaan-pertanyaan kritis harus dijawab: Di mana celah pengawasan yang perlu ditutup? Pelanggaran apa yang berulang dan bagaimana pola pencegahannya? Bagaimana teknologi dapat dimanfaatkan untuk memperluas jangkauan pengawasan?
Bawaslu merespons pertanyaan-pertanyaan ini melalui inovasi konkret. Digitalisasi pengawasan melalui aplikasi pelaporan daring memudahkan masyarakat melaporkan dugaan pelanggaran tanpa harus datang langsung ke kantor Bawaslu setempat.
Pemanfaatan sarana media sosial sebagai salah satu strategi edukasi politik untuk menjangkau semua aspek sosial masyarakat terutama pada generasi milenial dan Gen-Z yang selama ini dianggap apatis terhadap dinamika politik.
Pola pengawasan berbasis data mulai dikembangkan untuk mengidentifikasi daerah-daerah rawan pelanggaran secara lebih akurat.
Semua inovasi ini tidak mungkin dikembangkan secara optimal di tengah kesibukan masa tahapan. Justru pada masa non tahapan saat inilah momentum tepat dalam memberikan ruang reflektif untuk eksperimen, pembelajaran, dan penyempurnaan sistem dan strategi pencegahan, pengawasan, dan edukasi sekaitan dengan pendidikan pengawas partisipatif.
- Penguatan Kelembagaan dan Kolaborasi: Membangun Ekosistem Pengawasan
Pengawasan pemilu yang efektif tidak bisa dilakukan oleh Bawaslu sendirian. Diperlukan ekosistem pengawasan yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan: perguruan tinggi, organisasi masyarakat sipil, media massa, tokoh agama, tokoh adat, dan tentunya masyarakat luas.
Masa non tahapan adalah waktu ideal untuk membangun dan memperkuat kolaborasi ini.
Bawaslu Sulteng membangun kemitraan strategis dengan perguruan tinggi dan berbagai mitra dari stakeholder terkait, kelompok komunitas dan organisasi sipil, serta elemen masyarakat di Sulawesi Tengah untuk mengembangkan kerjasama yang lebih proaktif.
Kolaborasi ini memperluas jangkauan pendidikan pemilih hingga ke komunitas-komunitas yang selama ini terpinggirkan. Kerjasama dengan media massa juga untuk memastikan informasi tentang pengawasan pemilu sampai kepada publik secara akurat dan masif.
Di internal kelembagaan, masa non tahapan juga digunakan untuk memperkuat kapasitas sumber daya manusia Bawaslu dan jajarannya di tingkat kabupaten/kota hingga kecamatan.
Pelatihan-pelatihan teknis pengawasan, pemahaman regulasi terbaru, hingga pengembangan soft skills komunikasi publik dilakukan secara intensif. Ketika tahapan pemilu tiba, Bawaslu sudah siap dengan tim yang solid dan terlatih.
Partisipasi Publik: dari Objek menjadi Subjek Pengawasan
Salah satu indikator keberhasilan Bawaslu di masa non tahapan adalah sejauh mana masyarakat bertransformasi dari objek pengawasan menjadi subjek pengawasan.
Kondisi yang terjadi belakangan ini dan menjadi bahan evaluasi bagi penyelenggara Pemilu terutama Bawaslu yaitu soal pelibatan masyarakat yang masih dipandang sebagai objek dari proses politik.
Artinya, ketika masyarakat hanya menjadi objek, mereka akan pasif menunggu arahan dan instruksi, sehingga hal ini yang menjadi salah satu tujuan utama Bawaslu yaitu untuk memberikan pemahaman tentang literasi politik guna membentuk pola di masyarakat bahwa Masyarakat harus menjadi subjek atau pelaku pengawasan.
Dengan demikian, jika Masyarakat ditempatkan sebagai subjek utama maka mereka akan aktif mencegah potensi pelanggaran, melaporkan, mengkritisi, dan terlibat dalam proses pengawasan secara aktif dan partisipatif.
Penutup: Masa Non Tahapan sebagai Investasi Demokrasi Jangka Panjang
Demokrasi yang berkualitas tidak dibangun hanya dalam waktu yang relatif singkat serta tidak semudah membalikkan telapak tangan, tetapi melalui proses panjang yang melibatkan pendidikan, penguatan institusi, dan partisipasi aktif warga negara.
Masa non tahapan adalah fase krusial dalam proses panjang ini. Jika kita menginginkan pemilu yang jujur, adil, dan berintegritas, maka investasi di masa non tahapan menjadi keniscayaan.
Ibarat kompetisi sepak bola, Bawaslu bukan hanya penjaga gawang yang bertugas menangkap pelanggaran, bukan juga hanya sebagai wasit yang mengadili terhadap sebuah pelanggaran, tetapi sebagai pelatih yang mempersiapkan tim demokrasi agar bermain dengan fair play, dan menjunjung tinggi nilai-nilai sportifitas yang dikemas dalam nilai-nilai dan semangat yang jujur dan adil sehingga pertandingan itu memiliki kualitas dan berintegritas.
Peran ini tidak bisa dilakukan secara optimal hanya dalam periode singkat di masa tahapan. Ia memerlukan waktu, konsistensi, dan komitmen jangka panjang.
Dari opini ini penulis ingin mengajak kepada seluruh elemen masyarakat untuk mengubah persepsi kita terhadap tugas dan peran Bawaslu di masa non tahapan saat ini.
Bahwa bagi Bawaslu masa non tahapan bukan masa jeda, melainkan masa membangun fondasi, dan fondasi yang kuat akan menopang bangunan demokrasi yang kokoh dan berkelanjutan.
Selain itu, secara kelembagaan Bawaslu Provinsi Sulawesi Tengah juga tak henti mengajak kepada masyarakat untuk turut serta melibatkan diri dalam berbagai program pendidikan politik dan pengawasan partisipatif yang dijalankan Bawaslu Sulteng.
Karena pada akhirnya, kualitas demokrasi kita adalah cerminan dari seberapa serius kita dalam menjaga dan merawat demokrasi, dan tugas ini tidak hanya berada di pundak penyelenggara, tetapi menjadi tugas dan tanggungjawab kita bersama sebagai warga negara Indonesia.
*Penulis adalah Staf Bagian Pengawasan pada Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Provinsi Sulawesi Tengah


