Situs-situs bersejarah juga banyak tersebar di kawasan Banggai Lalongo yang belum disentuh (dirubah bentuknya) karena butuh tenaga ekstra. Ada 13 titik di kawasan itu yang harus diobservasi. Itulah mengapa belum ada penjelasan apapun mengenai situs-situs yang ada, meski hanya nama yang diterakan di sekitar situs.
Hardan mengungkapkan bahwa peta situs yang ada di belakang kamali dibuat oleh Bidang Destinasi Disparbud bekerja sama dengan Komunitas Lipu Pau Babasal.
“Kawasan Banggai Lalongo baru diusulkan, Insya Allah tahun 2023 ini. Memang ada bagannya (peta situs sejarah), itu nanti memudahkan kita untuk penggalian, ekspansi, eksplorasi atau apa namanya, karena sudah ada titik tempatnya di situ,” katanya.
Meski telah memiliki peta situs, pengunjung masih kesulitan mengakses semua situs. Dari 13 titik, yang dapat diakses hanya Sarkofagus Kubur Batu, Makam Imam Sya’ban, Sumur Tomundo, dan Malabukan Tomundo. Tempat itu pun tidak memiliki papan nama pengenal situs, pengunjung hanya mencocokan lokasi dengan nama yang ada di peta.
Makam Tandu Alang pun tidak memiliki papan nama, terlebih cerita tentang bagaimana si Tandu Alang bisa tiba di Banggai.
Laman ceritarakyatnusantara.com pernah memuat kisah Tandu Alang yang menyelamatkan Putri Raja dari penculikan. Dikatakan pula Tandu Alang adalah penyebar Agama Islam dari Palembang yang sebelumnya menetap di Sea-Sea.
Ketika berbincang dengan Kepala Bidang (Kabid) Kebudayaan dan dua Pamong Budaya Disparbud, mereka mengonfirmasi belum pernah mendengar kisah ini sebelumnya, sehingga cerita selanjutnya tidak dapat dikonfirmasi, termasuk Putri yang mana, dari Raja yang mana.
Pihak Disparbud mengaku belum memiliki ahli sejarah untuk memverifikasi cerita-cerita rakyat yang ada.
“Karena untuk menentukan cerita-cerita ini, kan, kita belum kuat, karena tidak ada bukti-bukti otentik. Kalau tidak ada ahli sejarah, kita jadinya banunut (mendongeng). Dan dominan pamali, kan? Tidak bisa dibilang namanya, pamali. Harus ba tabea. Ini yang melahirkan generasi berikutnya tidak tahu apa-apa, karena tidak bisa dibilang namanya,” terang Hardan.
Menyambung situs-situs yang tidak memiliki papan nama, Supriadi yang juga Pamong Budaya Disparbud Balut, menyampaikan, Bidang Kebudayaan dapat mengusulkan ke Bidang Destinasi.
“Jika menurut ceritanya Pak hardan, kita deteksi dulu titik-titik yang ada. Sesudah kita dapat, baru kita tanya ke orang-orang, mungkin keluarganya, atau yang tahu ceritanya, baru kita tetapkan. Kalau rencana agak ke situ, untuk nama-nama, bisa jadi kita (Bidang Kebudayaan) usulkan. Tapi pengerjaannya ke Bidang Destinasi,” ungkap Supriadi, Senin (02/01).
Mengenai kurangnya narasi sejarah kedaerahan, Dinas Pariwisata mencanangkan program penulisan asal-usul desa atau penamaan desa yang berjumlah 63 dan akan dibukukan.
Reporter : Iker
Editor : Rifay