Sebuah media di Kabupaten Banggai menulis sebuah berita tentang enam cagar budaya di Kabupaten Banggai Laut (Balut). Dalam berita yang tayang tanggal 15 Oktober 2020, tertera Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor: KM 11/PW007/MKP 03, yang memuat enam cagar budaya tersebut, yaitu Keraton Kerajaan Banggai, Gedung Mulo SMPN 1 Banggai, Makam Tandu Alang, Makam Prince Mandapar, Bekas Benteng Portugis, dan Bekas Benteng Tradisional.
Sayangnya, Keputusan Menteri yang ditetapkan pada 4 Maret 2003 itu hanya menyebutkan Bekas Istana Raja Banggai (Keraton), tidak menyebutkan cagar budaya lainnya.
Keraton Banggai ditetapkan sebagai cagar budaya bersamaan dengan Gereja Tua di Desa Simpangan Kabupaten Banggai, Masjid Tua di Bungku, Komplek Megalit Pokekea, Poso, dan Istana Raja Mori, Kolonodale.
Justru, gedung MULO (ruang kelas SMP Negeri 1 Banggai sekarang) justru tidak meninggalkan jejak lagi setelah direnovasi. Sedangkan bekas Benteng Portugis, masih tersisa jejaknya di jalan Benteng, Lonas Pante, tetapi batu (pondasi) berada di dalam rumah warga. Sama halnya dengan bekas benteng tradisisonal yang masuk ke tanah orang.
Hal tersebut menjadikan jejak kedua benteng belum diregistrasi di tingkat daerah, karena perlu izin pemilik tanah dan rumah warga yang terdapat sisa peninggalan benteng tersebut.
“Harus ada persetujuan yang punya lokasi,” ucap Hardan AT Mondika, Pamong Budaya Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Balut, Rabu (11/01).
Sementara itu, makam Tandu Alang, mengalami penurunan nilai karena telah ditegel seluruhnya, selain batu pusara yang diselimuti kain putih. Secara peringkatan nilai, Tugu dengan Tandu Alang mengalami penurunan nilai, ada perubahan bentuk.
“Registrasi penilaian Makam Tandu Alang atau Hasan Tandu Alamsyah yang bertempat di belakang Keraton, tidak sampai 50,” ujar Hardan, ketika ditemui beberapa hari sebelumnya.
Sedangkan Tugu, kata dia, meskipun memiliki sejarah panjang tentang gerakan militer, tetapi memiliki kesamaan dengan daerah lain, seperti Luwuk dan Poso.
“Sama halnya dengan gedung MULO, karena kita belum registrasi masalahnya. Kalau sudah teregistrasi baru dibongkar, harus ada registrasi berikutnya penjelasan tentang itu (kalau SK sebelumnya tidak lagi berlaku). Jadi situs yang ada tetapi sudah tidak ada jejaknya, jadi hangus,” ujar Hardan.
Hardan menjelaskan, cagar budaya di Balut saat ini baru tiga yang terdaftar resmi tingkat provinsi dari 5 yang diusulkan. Ketiga cagar budaya tersebut, yakni Gedung Disparbud, Makam Raja Mandapar, dan Meja Rapat di Keraton. Dua lainnya Tugu Permesta (ada di kantor polisi) dan Makam Tandu Alang.
Selain Makam Tandu Alang, terdapat beberapa makam yang termasuk situs sejarah, tapi kesemuanya pun sudah ditegel. Sehingga menyebabkan kendala dilakukan registrasi.
“Kita punya kuburan raja berapa titik. Di belakang Kelurahan Lompio itu ada sekitar lima tapi sudah ditehel (tegel) semua, termasuk di belakang Al-khairat. Dan itu sudah tidak masuk, karena sudah ada perubahan bentuk. Termasuk yang ada di pertamina sana, lorong pertamina, bagian Kamali Putal, di atasnya. Jadi tinggal kita mencari cagar tak terduga itu, apa di Bokan atau di Bangkurung. Kuburan yang di Tinakin itu juga, tapi sama sudah ditehel,” pungkas Hardan.
Situs-situs bersejarah juga banyak tersebar di kawasan Banggai Lalongo yang belum disentuh (dirubah bentuknya) karena butuh tenaga ekstra. Ada 13 titik di kawasan itu yang harus diobservasi. Itulah mengapa belum ada penjelasan apapun mengenai situs-situs yang ada, meski hanya nama yang diterakan di sekitar situs.
Hardan mengungkapkan bahwa peta situs yang ada di belakang kamali dibuat oleh Bidang Destinasi Disparbud bekerja sama dengan Komunitas Lipu Pau Babasal.
“Kawasan Banggai Lalongo baru diusulkan, Insya Allah tahun 2023 ini. Memang ada bagannya (peta situs sejarah), itu nanti memudahkan kita untuk penggalian, ekspansi, eksplorasi atau apa namanya, karena sudah ada titik tempatnya di situ,” katanya.
Meski telah memiliki peta situs, pengunjung masih kesulitan mengakses semua situs. Dari 13 titik, yang dapat diakses hanya Sarkofagus Kubur Batu, Makam Imam Sya’ban, Sumur Tomundo, dan Malabukan Tomundo. Tempat itu pun tidak memiliki papan nama pengenal situs, pengunjung hanya mencocokan lokasi dengan nama yang ada di peta.
Makam Tandu Alang pun tidak memiliki papan nama, terlebih cerita tentang bagaimana si Tandu Alang bisa tiba di Banggai.
Laman ceritarakyatnusantara.com pernah memuat kisah Tandu Alang yang menyelamatkan Putri Raja dari penculikan. Dikatakan pula Tandu Alang adalah penyebar Agama Islam dari Palembang yang sebelumnya menetap di Sea-Sea.
Ketika berbincang dengan Kepala Bidang (Kabid) Kebudayaan dan dua Pamong Budaya Disparbud, mereka mengonfirmasi belum pernah mendengar kisah ini sebelumnya, sehingga cerita selanjutnya tidak dapat dikonfirmasi, termasuk Putri yang mana, dari Raja yang mana.
Pihak Disparbud mengaku belum memiliki ahli sejarah untuk memverifikasi cerita-cerita rakyat yang ada.
“Karena untuk menentukan cerita-cerita ini, kan, kita belum kuat, karena tidak ada bukti-bukti otentik. Kalau tidak ada ahli sejarah, kita jadinya banunut (mendongeng). Dan dominan pamali, kan? Tidak bisa dibilang namanya, pamali. Harus ba tabea. Ini yang melahirkan generasi berikutnya tidak tahu apa-apa, karena tidak bisa dibilang namanya,” terang Hardan.
Menyambung situs-situs yang tidak memiliki papan nama, Supriadi yang juga Pamong Budaya Disparbud Balut, menyampaikan, Bidang Kebudayaan dapat mengusulkan ke Bidang Destinasi.
“Jika menurut ceritanya Pak hardan, kita deteksi dulu titik-titik yang ada. Sesudah kita dapat, baru kita tanya ke orang-orang, mungkin keluarganya, atau yang tahu ceritanya, baru kita tetapkan. Kalau rencana agak ke situ, untuk nama-nama, bisa jadi kita (Bidang Kebudayaan) usulkan. Tapi pengerjaannya ke Bidang Destinasi,” ungkap Supriadi, Senin (02/01).
Mengenai kurangnya narasi sejarah kedaerahan, Dinas Pariwisata mencanangkan program penulisan asal-usul desa atau penamaan desa yang berjumlah 63 dan akan dibukukan.
Reporter : Iker
Editor : Rifay