Kembali ke kisah pasukan Frans Karangan. Kesatuan itu disuplai persenjataan dari Jakarta melalui kapal laut dan pesawat kecil pada malam hari. Pesawat mendarat di lapangan Pasar Kavole lokasinya saat ini masuk Kelurahan Pengawu, Kecamatan Tatanga, Kota Palu.
Adanya persenjataan lengkap, maka secara psikologis, semangat kesatuan Frans Karangan terpicu melawan Permesta. Pengeboman Kota Donggala hingga tenggelamnya empat buah kapal dan hancurnya fasilitas militer serta gedung-gedung penting makin menimbulkan perlawanan.
Iring Rombelayuk mengatakan, kala itu jumlah pasukan dari pihak Permesta jauh lebih banyak. Tapi pasukan pro pemerintah lebih unggul menguasai medan dan mendapat dukungan masyarakat.
Pertempuran dahsyat berlangsung di pegunungan Kebun Kopi, Tawaeli arah menuju Parigi.
Pengejaran dilakukan hingga ke Toboli (wilayah Parigi) dan dari situlah terpencar, sebagian tewas saat pengejaran, termasuk Mayor Lukas Palar tewas di perairan Poso.
Tentang pertempuran di Kebun Kopi dapat dibaca dalam Catatan Seorang Wartawan (Mohammad Saleh Kamah), 1996.
Dikisahkan, pertempuran terjadi selama satu bulan memakan korban kedua belah pihak. Pasukan Permesta pimpinan D.J. Somba saat pertempuran dipukul mundur hingga melakukan long march sejauh 1.000 km lebih dari Kebun Kopi menuju Minahasa (Sulawesi Utara).
“Long march Permesta Palu/Parigi-Minahasa ini tercatat sebagai satu perjalanan yang penuh risiko dan oleh pihak Permesta sendiri dinilai sebagai contoh kegigihan pasukan Permesta,” tulis Saleh Kamah (1996:96).
Perjalanan dari Kota Palu menuju Minahasa tidak dapat melewati Gorontalo karena telah dikuasai pasukan Nani Wartabone dan Brawijaya, sehingga pasukan Permesta menjelajahi hutan pegunungan antara Moutong-Buol.
Dari Buol menggunakan perahu layar menuju Minahasa yang menjadi markas besar. Praktis, tahun 1960 wilayah Sulawesi Tengah yang sedang berjuang mendirikan provinsi otonom mulai stabil.
Demikian secuil kisah pergolakan perang saudara di Donggala dan Palu dituturkan pelaku dan saksi sejarah.
Saat masuk tentara, Iring Rombelayuk berpangkat Sersan dan terakhir Peltu tanpa pensiun. Sejak tahun 1960 saat situasi sudah aman, kala itu masih remaja 24 tahun, menyatakan keluar dinas ketentaraan dan memilih mencari pengalaman baru ke Kalimantan hingga ke Pulau Jawa.
Tahun 1963 kembali ke kota Donggala menikah dengan Veronila yang dia kenal saat bertugas di Bintara Onder Distrik Militer (BODM) tahun 1958-1959. BODM saat ini setingkat Koramil (Komando Daerah Militer) satuan teritorial langsung berhubungan dengan pejabat dan sipil.
Penulis : Jamrin Abubakar
Editor : Rifay