Ketika itu, 29 April 1958 penduduk Kota Donggala sedang mengungsi. Sehari sebelumnya, bom terakhir dijatuhkan pesawat Permesta (Perjuangan Semesta Alam) menimbulkan trauma. Tragedi dahsyat itu merupakan peristiwa yang tidak pernah usang dan habis untuk dikisahkan.
Peristiwa 65 tahun silam itu tepat Sabtu, 29 April 2023 ini masih membekas dalam memori sebagian orang-orang tua di Donggala. Ada banyak kisah menarik yang bisa ditampilkan kembali.
Peristiwa puluhan tahun silam itu, tinggal sedikit saksi hidup dapat menceritakan, salah satunya Iring Rombelayuk (87 tahun) mantan pasukan Batalyon Frans Karangan asal Toraja, Sulawesi Selatan.
Iring Rombelayuk, salah satunya. Ia lahir di Rantepao, 23 Februari 1936. Menyelesikan pendidikan SD Zending dan SMP Khatolik di tanah kelahirannya itu tahun 1952 mulai bergabung di Brigade Hasanuddin, Batalyon Infateri 720 Wolter Mongisidi pimpinan Kapten Andi Sose di Makale. Pasukan ini membawahi empat kompi, salah satunya Kompi Raider Frans Karangan.
Di tengah situasi politik, kelak Andi Soses didomplengi pasukan Kahar Muzakkar pimpinan DI/TII, sehingga tidak menerima. Bahkan pasukan Frans Karangan kelak ikut menumpas DI/TII.
Berbagai prestasi dicapai ditingkatkan menjadi Batalyon Raiders 758 dengan sebutan populer Batalyon Frans. Pangkat terakhir Frans Karangan adalah Brigadir Jenderal.
Pria yang memiliki NRP 333286 ini berkisah, semula Sulawesi Tengah termasuk daerah aman dan tidak banyak ditempatkan tentara (TNI).
Pada saat, kata dia, Permesta masuk dan menciptakan situasi yang tidak tenteram, terjadi perang saudara antara sesama warga negara.
Pasukan Frans ditambah di Sulawesi Tengah seluruh anggotanya putra asal Toraja menunjukkan solidaritas kesukuan.
Anggota pasukan Frans Karangan yang bertugas di Sulawesi Tengah satu Batalyon terbagi 5 kompi dan setiap kompi beranggotakan 120 orang. Di Kota Palu yaitu Kompi I dipimpin Pieter Sumbu dan di Donggala adalah Kompi III dengan komandan Syamsuddin Lolong Allo. Sedang tiga kompi ditempatkan pada beberapa wilayah Sulawesi Tengah dengan tugas yang sama.
Kawan menjadi Lawan
Permesta diproklamasikan di Makassar, tanggal 2 Maret 1957. Beberapa bulan mulai banyak pendukung hingga menguasai wilayah timur Indonesia.
Dalam Laporan Residen Koordinator Sulawesi Tengah, R.M. Kusno Dhanupoyo, 15 September 58, mengungkapkan pada tanggal 2-23 Juni 1957, Permesta mengadakan konferensi kerja di Gorontalo (dipimpin eks Letkol.H.V.Sumual dan stafnya) dengan kepala-kepala daerah seluruh Sulawesi Utara dan Tengah.
Salah satu keputusannya, pembentukan dan memproklamirkan Provinsi Sulawesi Utara/Tengah dengan eks Residen Koordinator H.D.Manoppo sebagai Gubernurnya. Pembagian Provinsi Sulawesi menjadi dua provinsi ini ditentang pemerintah dan masyarakat Sulawesi Tengah.
Untuk mengatasi keadaan psikologis tersebut, maka sengaja konferensi kerja ke- 2 diadakan di Palu didahului kunjungan Laurens Saerang dengan menghambur-hamburkan uang 1/2 juta rupiah (Rp500 ribu, pen) kepada beberapa orang yang dirasanya perlu dijadikan pion-pion hal mana disusul pemutusan hubungan dengan ibu kota provinsi di Makassar. Berikutnya, markas Permesta dipindahkan ke Manado.
Semula Permesta banyak dukungan dari tokoh-tokoh elite lokal Sulawesi Tengah, termasuk anggota Batalyon Frans Karangan yang bertugas di Sulawesi Tengah sejak tahun 1956.
Pasukan ini melakukan penguasaan wilayah dan menjaga keamanan, masa itu belum banyak tentara ditempatkan di daerah Sulawesi Tengah. Di tengah jalan pada akhir tahun 1957 pasukan Frans Karangan membelok mendukung pemerintah pusat dan berbalik melawan pasukan Resimen Team Pertempuran (RTM) Anoa pimpinan resimen Mayor Wellem D. Gerungan dengan komando pasukan Mayor Lukas J. Palar. RTM Anoa dikenal Batalyon 719 terbagi empat kompi.
Berbaliknya Frans Karangan ke pemerintah diawali perpecahan internal dengan kelompok Resimen Anoa. Iring menilai kesatuan tersebut seakan-akan pasukan asal Toraja dianaktirikan dalam beberapa kebijakan, seperti pembagian senjata dan logistik tidak adil.
“Saya menduga adanya perpecahan internal inilah mendapat bujukan dari pemerintah pusat yang mungkin sebelumnya ada pihak intelijen membaca kondisi ini. Pemerintah pusat melakukan pendekatan pada pasukan kami dengan beberapa kesepakatan, di antaranya disuplai senjata dan amunisi yang banyak. Dengan demikian, resmilah kami bergabung sama pemerintah dengan penghubung dari Markas Besar Angkatan Darat waktu itu adalah Kapten Supangkat,” kisah Iring, beberapa waktu lalu.
Adanya kesepakatan tersebut, Brigjen TNI. Gatot Subroto selaku Kepala Staf Angkatan Darat datang khusus ke pelabuhan Donggala membawa pasukan TNI dan logistik. Ketika itu Gatot Subroto melakukan pertemuan di Kantor Kepala Pemerintahan Negeri (KPN) Donggala, Mohammad Kasim Razak (M.K.Razak) sebelum melanjutkan perjalanan ke Palu.
Kembali ke kisah pasukan Frans Karangan. Kesatuan itu disuplai persenjataan dari Jakarta melalui kapal laut dan pesawat kecil pada malam hari. Pesawat mendarat di lapangan Pasar Kavole lokasinya saat ini masuk Kelurahan Pengawu, Kecamatan Tatanga, Kota Palu.
Adanya persenjataan lengkap, maka secara psikologis, semangat kesatuan Frans Karangan terpicu melawan Permesta. Pengeboman Kota Donggala hingga tenggelamnya empat buah kapal dan hancurnya fasilitas militer serta gedung-gedung penting makin menimbulkan perlawanan.
Iring Rombelayuk mengatakan, kala itu jumlah pasukan dari pihak Permesta jauh lebih banyak. Tapi pasukan pro pemerintah lebih unggul menguasai medan dan mendapat dukungan masyarakat.
Pertempuran dahsyat berlangsung di pegunungan Kebun Kopi, Tawaeli arah menuju Parigi.
Pengejaran dilakukan hingga ke Toboli (wilayah Parigi) dan dari situlah terpencar, sebagian tewas saat pengejaran, termasuk Mayor Lukas Palar tewas di perairan Poso.
Tentang pertempuran di Kebun Kopi dapat dibaca dalam Catatan Seorang Wartawan (Mohammad Saleh Kamah), 1996.
Dikisahkan, pertempuran terjadi selama satu bulan memakan korban kedua belah pihak. Pasukan Permesta pimpinan D.J. Somba saat pertempuran dipukul mundur hingga melakukan long march sejauh 1.000 km lebih dari Kebun Kopi menuju Minahasa (Sulawesi Utara).
“Long march Permesta Palu/Parigi-Minahasa ini tercatat sebagai satu perjalanan yang penuh risiko dan oleh pihak Permesta sendiri dinilai sebagai contoh kegigihan pasukan Permesta,” tulis Saleh Kamah (1996:96).
Perjalanan dari Kota Palu menuju Minahasa tidak dapat melewati Gorontalo karena telah dikuasai pasukan Nani Wartabone dan Brawijaya, sehingga pasukan Permesta menjelajahi hutan pegunungan antara Moutong-Buol.
Dari Buol menggunakan perahu layar menuju Minahasa yang menjadi markas besar. Praktis, tahun 1960 wilayah Sulawesi Tengah yang sedang berjuang mendirikan provinsi otonom mulai stabil.
Demikian secuil kisah pergolakan perang saudara di Donggala dan Palu dituturkan pelaku dan saksi sejarah.
Saat masuk tentara, Iring Rombelayuk berpangkat Sersan dan terakhir Peltu tanpa pensiun. Sejak tahun 1960 saat situasi sudah aman, kala itu masih remaja 24 tahun, menyatakan keluar dinas ketentaraan dan memilih mencari pengalaman baru ke Kalimantan hingga ke Pulau Jawa.
Tahun 1963 kembali ke kota Donggala menikah dengan Veronila yang dia kenal saat bertugas di Bintara Onder Distrik Militer (BODM) tahun 1958-1959. BODM saat ini setingkat Koramil (Komando Daerah Militer) satuan teritorial langsung berhubungan dengan pejabat dan sipil.
Penulis : Jamrin Abubakar
Editor : Rifay