PALU – Peredaran sianida ilegal di wilayah pertambangan emas tanpa izin (PETI) dinilai menjadi penyebab utama semakin maraknya aktivitas tambang ilegal di sejumlah daerah di Sulawesi Tengah, termasuk di Kelurahan Poboya, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu.
Data dari Yayasan Masyarakat Madani Indonesia (YAMMI) Sulawesi Tengah mengungkapkan, peredaran zat berbahaya itu mencapai 850 ribu kilogram per tahun.
Sianida yang tergolong Bahan Beracun Berbahaya (B3) ini dinilai menjadi salah satu faktor yang memperparah kerusakan lingkungan akibat aktivitas tambang ilegal.
Anggota DPRD Kota Palu, Muslimun, menyebutkan bahwa bebasnya peredaran sianida menjadi akar masalah yang perlu segera ditangani pemerintah dan aparat penegak hukum.
“Sianida ini bahan kimia beracun. Kalau penggunaannya tidak dikontrol, tentu berbahaya bagi lingkungan. Masalahnya, sekarang peredarannya dijual bebas tanpa pengawasan ketat,” ujarnya di Palu, Kamis (13/11).
Menurut Muslimun, ketersediaan sianida secara bebas telah mendorong aktivitas tambang ilegal tetap bertahan. Padahal, kata dia, jika bahan itu berhasil dibatasi, maka operasi tambang ilegal otomatis akan lumpuh.
“Peti itu bisa jalan karena ada stok bahan untuk mengurai emas. Kalau sianida dihentikan peredarannya, otomatis aktivitas tambang ilegal juga akan berhenti,” tegasnya.
Ia menjelaskan, di masa lalu, distribusi sianida diatur ketat oleh pemerintah daerah. Saat Rusdy Mastura menjabat Wali Kota Palu, izin penjualan hanya dikeluarkan melalui Perusahaan Daerah (Perusda) dengan kuota terbatas.
Namun kini, katanya, bahan berbahaya tersebut beredar secara bebas dan harganya melambung tinggi mengikuti kenaikan harga emas.
“Dulu per 50 kilogram harganya hanya Rp9 juta. Sekarang sesuai pengakuan penambang di Poboya, sudah Rp27 juta,” ungkapnya.
Sepengetahuannnya, sianida untuk Region Sulawesi pasti dibeli di Surabaya. Di Surabaya, kata dia, dirinya sempat menanyakan kepada penjual tentang prosedur pembelian.
“Mereka sampaikan ya harus punya izin. Kalau hanya pembelian sedikit-sedikit, hanya diperuntukkan buat keperluan rumah tangga, boleh saja tidak perlu izin. Tapi kalau dengan jumlah yang besar misalnya sudah mencapai 50 kilo atau 100 kilo, pasti orang bertanya, buat apa,” ujarnya.
Muslimun menilai, lemahnya pengawasan terhadap peredaran sianida menunjukkan adanya potensi permainan pihak-pihak tertentu yang diuntungkan dari situasi tersebut.
“Kalau dia digunakan secara legal, tidak masalah. Tapi kalau digunakan secara ilegal, itu harus jadi perhatian serius pemerintah dan penegak hukum. Pertanyaannya sekarang, siapa yang menjual, siapa yang memberi izin, dan berapa kuotanya?” katanya.
Politisi Partai NasDem itu juga menyinggung adanya potensi kebocoran pendapatan daerah akibat peredaran ilegal bahan berbahaya tersebut.
“Kalau sianidanya resmi, tentu ada pemasukan bagi daerah. Tapi kalau tidak, uangnya tidak masuk ke kas daerah. Ini perlu ditelusuri,” ujarnya.
Muslimun mengaku telah berkoordinasi dengan Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Palu terkait pengawasan penjualan bahan B3, namun dinas tersebut mengaku tidak pernah menerima laporan tentang distribusi sianida.
“Ini aneh, karena barang berbahaya seharusnya berada dalam pengawasan dinas terkait. Tapi mereka tidak tahu apa-apa. Jadi pertanyaannya, dari mana sumber sianida itu beredar?” tuturnya.
Ia mendesak aparat penegak hukum (APH) dan pemerintah daerah untuk segera melakukan penyelidikan dan penindakan tegas terhadap pihak yang diduga menjadi penyuplai sianida ke tambang ilegal.
“Kalau ada aparat yang ikut bermain, ya harus ditindak. Jangan sampai ada istilah ‘jeruk makan jeruk’,” tegasnya.
Ia menegaskan bahwa pemerintah harus berani menindak agar kerusakan lingkungan dan dampak sosial bisa dihentikan.

