SGAN Donggala, Sejarah Pendidikan yang “Terbakar”

oleh -
Hj. Hayati H. Dachlan (79 tahun), salah satu putri H. Dachlan. (FOTO: media.alkhairaat.id/Jamrin AB)

Kota Donggala pernah memiliki sebuah sekolah guru pertama kali dii wilayah Sulawesi Tengah. Sejarahnya tidak tercatat dalam lembaran buku sejarah Pendidikan Sulawesi Tengah. Hanya Majalah HISTORIA dan otobiografi Bawadiman yang pernah mencatatnya.

Bawadiman adalah salah satu guru kali pertama tiba di Donggala awal Pebruari 1957 yang merintis Sekolah Guru Atas Negeri (SGAN) Donggala. Bersama tokoh masyarakat dan pengusaha setempat, ia menggalang dukungan untuk mendirikan SGAN.

Ia menjadi guru berbagai mata pelajaran sebelum ada guru tambahan dari guru SGB (Sekolah Guru Bawah) di Donggala.

Ketika itu Bawadiman adalah mahasiswa Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta yang sedang mendapat tugas Pengerahan Tenaga Mahasiswa (PTM), sebuah program yang menjadi cikal-bakal Kuliah Kerja Nyata (KKN).

Setelah dua bulan Bawadiman mengajar, UGM kembali mengirim mahasiswa angkatan VII untuk mengajar di SGAN Donggala, yaitu Rex Gustaf Dumalang (1957-1959) mahasiswa Fakultas Sospol.

Beberapa bulan berikutnya datang guru tambahan yaitu A.A.I. Ponto (wanita asal Sangihe Talaud) guru Bahasa Inggris tamatan Balai Bahasa Inggris Yogyakarta, Hadijono (Fakultas Faedagogik) bertugas tahun 1957-1960 dan Oetoyo (Fakultas Kedokteran).

Pada periode ini, datang pula Abdul Djamil Gozali (Paedagogik) yang ditempatkan di SMA Palu selama tahun 1957-1960. Program penempatan guru di Donggala dan Palu tersebut berjalan selama beberapa tahun.

Secara nasional program PTM berjalan selama 12 tahun terbagi dalam 12 angkatan (1951-1962) dengan melibatkan 1.359 mahasiswa dan mendirikan banyak sekolah setingkat SLTA. Program PTM berakhir dan dibubarkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan No 21/1963 tanggal 19 Maret 1963.

Pembubaran seiring tercukupinya tenaga guru lulusan IKIP di berbagai kota di Indonesia. Seluruh tenaga PTM mendapat jaminan diangkat pegawai negeri dan kembali ke kampus menyelesaikan pendidikan sarjana.

SGAN Donggala dibangun tahun 1957 secara swadaya di lokasi saat ini menjadi SMK Negeri 1 Banawa. Salah satu pelopornya adalah Bawadiman. Saat datang ke Donggala belum ada sekolah setara SLTA.

“Namun itu tak membuatnya patah arang. Bersama tokoh masyarakat, Bawadiman babat alas. Dia menginisiasi berdirinya Sekolah Guru Atas (SGA). Masyarakat setempat bergotong-royong. Haji Dachlan tetua kampung menggerakkan masyarakat. Pak Taha, seorang pengusaha mendanai pembangunan sekolah. Bantuan dari pusat hanya buku dan alat olah raga,” tulis Majalah HISTORIA No 18 Th II 2014.

Siapakah Pak Taha yang dimaksud? Dia adalah Thaha Bachmid, keturunan Arab, pesepak bola andal era 1950-an di Donggala.

Sedangkan Haji Dachlan adalah tokoh masyarakat yang cukup mapan secara ekonomi pada masa itu. Keturunan Bugis asal Pagatan, Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan ini merantau ke Sulawesi Tengah. Kali pertama datang dan tinggal di Desa Labean (Kecamatan Balaesang) awal dekade 1930-an.

Menurut Hj. Nuraini (79 tahun), salah satu anak dari H. Dachlan, saat ayahnya bermukim di Labean, ia memiliki usaha dagang tembakau hitam lempeng dengan cara transaksi barter buah kelapa. Setiap buah kelapa terkumpul banyak diolah jadi kopra untuk dijual di Donggala.

Usaha itu dilakoni bertahun-tahun hingga menikahi seorang gadis di Labean dan dikaruniai tiga orang anak (Husen, Nuraini dan Hayati). Agar usahanya lebih berkembang besar, Dachlan bersama keluarga pindah ke Donggala.

“Saking banyaknya barang dagangan disimpan dalam rumah, ruangan jadi sempit penuh tumpukan beras, gula, terigu dan lainnya. Orang tua saya penyedia barang makanan pokok dengan pelanggan pemilik toko yang ada di kota Donggala maupun dari luar, jadi semacam agen barang,” kenang Nuraini.

Keluarga Haji Dcahlan semula menyewa rumah dan beberapa kali pindah tempat. Setelah cukup mapan akhirnya membeli rumah yang cukup megah pada zamannya dan hingga kini tetap ditinggali anak dan cucu-cucunya. Rumah ini dibeli dari pemilik pertama, Laparenrengi Lamarauna raja terakhir Banawa (1948-1959). Haji Dachlan meninggal dunia di Donggala tahun 1992.

Bagi Hj. Hayati (80 tahun) dan Nuraini (78 tahun), kehadiran guru-guru PTM dari Yogyakarta dan Makassar sangatlah berarti bagi kemajuan pendidikan berikutnya.

Walau tidak lama berjalan, SGAN banyak melahirkan guru dari kalangan putra-putri daerah Donggala dan sekitarnya. Semangat gotong-royong masa lalu sangat semarak datangnya guru-guru dari luar untuk mendidik anak-anak Donggala.

“Keakraban keluarga kami dengan Bawadiman itu cukup lama terjalin, bahkan setelah tidak lagi jadi guru. Beberapa puluh tahun kemudian pernah tiba-tiba datang ke Donggala sekadar jalan-jalan selama beberapa hari bagai reuni kecil-kecilan dengan mantan murid-muridnya,” cerita Nuraini.

Hayati dan Nuraini, keduanya tamatan angkatan kedua (tamat 1960) dan ketiga (tamat 1961). Kelak berprofesi guru sekolah SLTP dan SMEA di Donggala dan pernah menjadi guru bantu di Cung Hwa School Donggala awal dekade 1960-an.

Saat perang, gedung SGAN Donggala kena imbas pecahan mortir mengakibatkan bagian atapnya bocor, tetapi temboknya tetap utuh cukup kuat terbuat dari bahan beton. Tentang situasi kota Donggala diungkapkan dalam buku otobiografi Bawdiman, pembaca dapat merasakan bagaimana pergolakan politik masa itu.

Setelah Bawadiman mengajar lebih awal di SGAN disusul tambahan tenaga dari UGM yaitu Hadijono, Utoyo, R.G. Dumalang, Abubakar Makarau dan ditambah guru bantu yang ada di Donggala.

Terakhir guru PTM dari UGM yang datang mengajar hingga sekolah terbakar adalah Mudjoko guru olah raga. Direktur SGAN Donggala ketika itu adalah Syahrul asal Makassar.

Belakangan ia menikah dengan seorang bekas muridnya bernama Andi Asma Nurdin adik kandung Andi Cella Nurdin, tokoh politik Sulawesi Tengah.

Demikian halnya Abubakar Makarau yang juga menikah dengan mantan muridnya, Rohani asal Buol.

Syahrul pernah menjadi anggota DPRD-GR Provinsi Sulawesi Tengah pengganti Saleh M. Rumpan (alumni SGAN Donggala) saat mendapat tugas belajar di IKIP Ujung Pandang tahun 1965/1967.

Sayang sekolah rintisan mahasiswa PTM tidak lama bertahan, hanya enam tahun berdiri atau empat kali penamatan terjadi kebakaran gedung tahun 1963, tidak terungkap penyebabnya.

Akibat peristiwa kebakaran itu aktivitas belajar mengajar dipindahkan ke Palu saat kelas tiga menunggu enam bulan akan mengikuti ujian pelulusan.

Latulli Laski (1940-2021) salah satu siswa kelas tiga asal Kabonga pernah menceritakan tentang kejadian kebakaran.

Ada dugaan unsur kesengajaan terkait kebakaran agar tidak ada lagi SGAN di Donggala. Faktanya, pemerintah tidak lagi berupaya membangun sekolah yang sama setelah kebakaran, melainkan aktivitas belajar dipindahkan ke Palu menjadi cikal bakal berdirinya SPGN (Sekolah Pendidikan Guru Negeri) di Jalan Sutomo (lokasinya kini LPMP Provinsi Sulteng).

“Peristiwa kebakaran sekolah kami tahun 1963 merupakan masa akhir riwayat SGAN Donggala. Ketika itu seluruh siswa pindah ke Palu demi menamatkan atau melanjutkan pendidikan. Saya sendiri waktu itu sudah kelas tiga,” ujar Latulli.

Sedianya, Latulli Laski sudah tamat tahun 1962, tetapi pernah tidak naik kelas pada saat kelas dua sehingga baru tamat tahun 1963 setelah empat tahun. Latulli mengaku tidak naik kelas bukan disebabkan ketidakcakapan belajar, melainkan karena “nakal.”

Kenakalan dimaksud karena tidak disiplin belajar dan kadang berani menentang perintah guru ketika mengajar.

“Masa itu semua guru memang tegas dan disiplin, sangat disegani. Seperti halnya Pak Bawadiman ketika masuk ruang kelas, kita baru mendengar suara sepatunya saja, wah sudah pada diam semua tak berkutik dalam ruang kelas,” kenang Latulli Laski suatu ketika pada penulis.

Penulis : Jamrin Abubakar
Editor : Rifay