Balitbangda Donggala Gelar Seminar Sekolah Cina

oleh -
FOTO: media.alkhairaat.id/Jamrin AB

DONGGALA – Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balitbangda) Kabupaten Donggala melaksanakan seminar tentang “Chung Howa School: Perspektif Sejarah, Pendidikan, Arkeologi dan Arsitektur,” Kamis (22/06).

Pelaksana tugas (Plt) Sekretaris Kabupaten (Sekkab) Donggala, Sofyan Dg. Malaba, saat membuka seminar, berpesan agar dengan kegiatan ini bisa mengungkap berbagai hal menarik tentang keberadaan Chung Hoa School atau Sekolah Cina Donggala.

“Terus terang, soal nama Chung Hoa School ini masih baru bagi saya. Ternyata cukup menarik dilakukan kajian dan diangkat sebagai satu pengetahuan dari berbagai aspek dengan harapan, ke depan memiliki nilai yang dapat diwariskan pada generasi muda,” kata Sofyan.

Seminar yang melibatkan sejumlah elemen masyarakat, guru sejarah dan pemerhati kota itu menghadirkan pembicara yang menjelaskan tentang tujuan seminar awal.

Ketiga pembicara yaitu Suyuti (Sejarawan dari Untad), Zulkifly Pagessa (Arsitek) dan Iksam (Arkeolog).

Sementara itu, Kepala Balitbangda Donggala, Lutfiah Mangun, berharap, hasil penelitian sekolah Cina bisa menjadi rekomendasi untuk bahan referensi penetapan bangunan cagar budaya.

“Hal ini semula juga menjadi harapan salah satu Deputi Lembaga Administrasi Negara saat berkunjung ke Donggala. Ketika itu ia menyarankan agar bagunan bernilai sejarah ditetapkan sebagai cagar budaya yang selanjutnya difungsikan dengan baik dan dapat diakses publik. Semacam tempat tujuan wisata sejarah,” jelas Lutfiah.

Berdasarkan beberapa data, kedatangan orang Cina atau Tionghoa di Donggala secara bergelombang, umumnya sejak awal abad ke-19 dengan tujuan berdagang kemudian menetap. Mereka datang langsung dari daratan Cina (Tiongkok) dan sebagian pindahan dari Kota Makassar, Pulau Kalimantan dan Surabaya (Jawa).

Orang-orang Cina memiliki latar belakang asal berbeda-beda, di antaranya dari Hokkien, Hokchia, Kanton, Hakka dan lainnya.

Dalam perkembangan sejarah, orang Tionghoa telah menyatu dengan berbagai suku melalui perdagangan. Mereka memiliki relasi sosial, budaya dan ekonomi hingga turun-temurun telah melekat sebutan “Cina Donggala” bentuk penerimaan warga pada umumnya.

Eksis sejak zaman pemerintahan Belanda, memiliki posisi strategis di bidang perekonomian dan jabatan penting seperti adanya sebutan Kapten Cina berurusan dengan kelautan.

Orang-orang Cina di Donggala cukup banyak, sehingga komunitas ini mendirikan sekolah Chung Hwa School yang merupakan sekolah yang dirintis orang-orang Tionghoa. Sekolah serupa dibangun pula di Kota Palu, Poso dan Tolitoli. Khusus di Kota Donggala didirikan secara swadaya pada masa Belanda.

Sekolah tersebut bukan bagian dari pemerintah kolonial tetapi bahasa pengantarnya bahasa Belanda dan Cina.

Mulanya tingkat dasar enam tahun, setelah kemerdekaan dibuka lanjutan SLTP pada bangunan dua tingkat di bagian belakang. Bekas sekolah Tionghoa hingga saat ini masih aslinya walaupun telah beberapa kali direnovasi dan fungsinya silih berganti sesuai dinamikia politik.

Dari aspek bangunan, kapasitas gedung Chung Hwa Shool terbilang besar menempati sebuah kawasan strategis di tengah Kota Donggala.

Selain itu memiliki gaya arsitektur sendiri yang cukup mewah pada zamannya, terbilang klasik bila dibandingkan dengan bangunan yang ada di Kota Donggala saat ini. Bangunan itu telah melewati beberapa fase pergulatan sosial dan politik serta silih berganti fungsi sesuai perubahan zaman.

Reporter : Jamrin AB
Editor : Rifay