BALUT – Dosen Fakultas Syariah, Universitas Islam Negeri (UIN) Datokarama Palu, Dr Sahran Raden, menjadi khatib Shalat Idul Fitri, di Masjid Al Amin Adean, Kecamatan Banggai Tengah, Kabupaten Banggai Laut (Balut), Senin (31/03).
Mengawali khutbahnya, Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP2M) UIN Datokarama Palu ini menyampaikan bahwa Idul Fitri atau lebaran, bukan hanya sekadar tentang
memenuhi kebutuhan jasmani dengan pakaian baru dan berbagai hidangan lezat aneka warna.
Lebih dari itu, kata dia, lebaran adalah momen refleksi dan introspeksi diri, momentum untuk merenungkan pencapaian spiritual selama bulan suci Ramadhan yang telah berlalu.
“Pada bulan Ramadhan, kita telah berjuang menguatkan kesalehan vertikal kita kepada Allah SWT dengan memperbanyak ibadah kepada-Nya. Puasa, shalat tarawih, tilawah Al-Qur’an, dan berbagai amalan ibadah lainnya telah menjadi bagian dari rutinitas harian kita,” katanya.
Melalui ketaatan ini, lanjut dia, berupaya mendekatkan diri kepada Sang Khalik, menguatkan iman, serta memperbaiki hubungan dengan-Nya untuk menjadi orang yang bertakwa.
Hal ini sebagaimana tujuan puasa yang termaktub dalam surat Al-Baqarah ayat 183 artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Namun perlu disadari, lanjut dia, ibadah dalam Islam tidak hanya berdimensi vertikal, yaitu hubungan antara manusia dengan Allah. Namun, ada juga yang berdimensi horizontal, yaitu hubungan antara manusia dengan sesamanya.
“Ramadhan telah memberikan kita pelajaran penting akan pentingnya kesalehan horizontal ini,” ujarnya.
Di Ramadhan, bagaimana belajar peduli, berbagi, dan merasakan kesengsaraan orang lain yang kurang beruntung dengan merasakan lapar dan haus selama puasa dan mengekang banyak keinginan.
Menurutnya, Ramadhan mengajarkan untuk senantiasa memperhatikan sesama, membantu mereka yang membutuhkan, dan menjadi lebih baik dalam pergaulan sosial.
Lebih lanjut ia mengatakan, puasa Ramadhan pada hakikatnya dapat membentuk jati diri seseorang menjadi pribadi yang berkualitas dan memiliki kemampuan yang tinggi dalam meraih kesuksesan di dunia dan akhirat.
“Salah satu jati diri manusia mukmin adalah berpola hidup sederhana dan dapat mengendalikan nafsunya sehingga tidak terjerembab dalam lembah kehinaan dan kehancuran,” terangnya.
Menurutnya, ada tiga macam nafsu yang sering menjerumuskan seseorang ke lembah kehinaan, yaitu nafsu dari dorongan perut, seksual, dan hawa nafsu yang menyesatkan.
Nabi SAW sangat mengkhawatirkan umatnya terjerembab dalam tiga macam nafsu yang menghancurkan itu, sehingga beliau bersabda: “Sesungguhnya aku mengkhawatiri kamu sekalian terjerembab dalam keinginan hawa nafsu dari dorongan perutmu, dorongan seksualmu dan hawa nafsu yang menyesatkan. (HR. Ahmad.)
Dalam kehidupan modern yang kita jalani sekarang, di mana sikap hidup mementingkan materi, terus menggerogoti masyarkat kita, kita jumpai betapa banyaknya orang yang telah terjerembab dalam lembah kenistaan dan kehinaan.
Ada sebagian dari masyarakat yang terjerembab ke dalam hawa nafsu perutnya, seksual dan hawa nafsu yang menyesatkan, sehingga mereka tergolong dalam kelompok manusia yang paling buruk dari umat Nabi Muhammad Saw.
“Ramadhan kita jadikan sebagai sekolah kehidupan yang abadi, membekali diri kita hidup sepanjang tahun dengan bekal ketakwaan, maka saat inilah kita harus bisa memanen apa yang telah kita tanam di bulan Ramadhan kemarin,” tambahnya.
Kata dia, salah satu sifat yang dikikis selama ramadhan dan puasa adalah sifat takabur.
Takabur adalah sikap sombong, merasa paling tinggi, hingga akhirnya merendahkan orang lain.
Takabur merupakan salah satu sifat tercela yang sebaiknya dijauhi. Takabur sebagai suatu sifat yang dibenci oleh Allah SWT.
“Bahkan, Allah SWT juga memberikan azab bagi orang-orang yang kemudian memiliki sifat ini,” katanya.
Dengan kata lain, kata dia, takabur menjadi sifat yang tidak seharusnya dimiliki oleh manusia, apapun yang dimilikinya serta posisi atau jabatannya.
Ia juga menjelaskan perihal memberi maaf yang merupakan karakter sangat mulia di dalam Islam.
“Keutamaannya tidak kalah tinggi dari meminta maaf. Sifat ini menunjukan karakter keindahan, kekuatan, dan kerendahan hati seseorang adalah memaafkan kesalahan orang lain,” katanya.
Selain itu, kata dia, karakter memaafkan juga akan melahirkan kedermawanan, kepedulian sosial, dan hubungan baik antar anggota masyarakat.
“Wahai Allah jadikanlah kami termasuk orang-orang yang kembali kepada fitrah yang memperoleh sukses dan kemenangan serta diterima amal ibadahnya oleh Allah Swt,” kata Sahran.
Dengan kembali kepada fitrah, kata dia, akan dicapai kebahagiaan dan kesuksesan lahir batin yang selalu diharapkan. *