AMPANA – Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Syariah UIN Datokarama Palu, Dr Sahran Raden, menilai perlu adanya transformasi kelembagaan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) menjadi peradilan khusus pemilu.

Hal itu disampaikannya dalam kegiatan penguatan kelembagaan yang diselenggarakan Bawaslu Kabupaten Tojo Una-Una (Touna), di Kota Ampana, Selasa (09/09).

Menurut Dr Sahran, gagasan ini penting untuk menjawab berbagai problem hukum yang muncul sebagai implikasi dari perubahan undang-undang, putusan Mahkamah Konstitusi (MK), maupun aturan teknis penyelenggaraan Pilkada.

“Dalam upaya penegakan hukum pemilu yang efektif, perlu ada kelembagaan peradilan khusus pemilu. Transformasi kelembagaan Bawaslu dapat menjadi usulan dalam kerangka desain hukum penyelesaian sengketa pemilu,” tegasnya.

Ia menjelaskan, terdapat sejumlah persoalan yang kerap muncul dalam penyelenggaraan pemilu maupun pilkada.

Pertama, kata dia, kewajiban mundur bagi kandidat yang berstatus ASN setelah ditetapkan sebagai calon oleh KPU provinsi maupun kabupaten/kota, sebagaimana diatur dalam putusan MK.

“Kedua, keterlibatan ASN dalam pesta demokrasi lokal yang sulit dihindari, terutama jika peserta pilkada berasal dari kalangan birokrat atau petahana,” ujarnya.

Ketiga, lanut Sahran, pasca fatwa Mahkamah Agung yang memberi kewenangan penuh pada Panwaslu dan Bawaslu untuk mengeluarkan putusan bersifat final and binding di level terendah.

Di satu sisi, kata dia, hal ini mempercepat proses pengambilan keputusan sehingga pilkada tetap sesuai jadwal, namun di sisi lain putusan Bawaslu berpotensi bertentangan dengan keputusan KPU yang lebih tinggi.

Selain itu, lanjut Sahran, Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) yang terdiri dari Bawaslu, Polri, dan Kejaksaan juga kerap tidak seragam dalam menentukan ada tidaknya unsur pidana pemilu.

Kondisi ini, menurutnya, membuat rekomendasi Bawaslu sering tidak ditindaklanjuti penyidik, sekaligus mendegradasi kemandirian Bawaslu.

Untuk memperkuat sistem hukum pemilu, ia menyarankan beberapa langkah penting, di antaranya, perlu pengaturan limitasi waktu penyelesaian sengketa proses pemilu, sebagaimana tercantum dalam Pasal 466 dan 467 ayat 1 UU Nomor 7 Tahun 2017.

Selanjutnya, kata dia, penegasan mekanisme penyelesaian sengketa antar partai politik yang objeknya adalah keputusan KPU.

Kemudian penetapan syarat wajib sarjana hukum bagi calon anggota Bawaslu provinsi maupun kabupaten/kota.

“Bawaslu juga perlu meningkatkan kapasitas SDM melalui bimbingan teknis, supervisi, monitoring, dan pembentukan pusat pelatihan hukum khusus penyelesaian sengketa pemilu,” ujarnya.

Selain itu, Sahran menekankan pentingnya penyamaan persepsi antara KPU, Bawaslu, dan lembaga peradilan lain agar tercipta harmoni dalam penyelenggaraan pemilu.

Selain itu, perlunya pengaturan terkait budaya kerja dan integritas Bawaslu untuk menghindari penyalahgunaan kewenangan serta mengurangi aduan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).