LUWUK, BANGGAI – Satu tahun lebih pascagempa Pasigala, Rumah Qur’an Ismaili Luwuk, Kabupaten Banggai diluncurkan, tepatnya 08 November 2019. Kelas aktif dimulai bulan Januari 2020 lalu.
Hadirnya rumah Quran tersebut memberikan pilihan kepada perempuan yang berasal dari Banggai bersaudara untuk fokus menghafal Quran.
Bertempat di jalan Dr. Sutardjo, tidak jauh dari kampus AMIK NURMAL, bangunan sederhana dua lantai tersebut, menampung kurang lebih 18 santri mukim saat ini, dan ratusan santri non mukim.
Hingga saat ini, dua orang telah menyelesaikan hafalan 30 juz, ada yang 11 juz, 13 juz, 27 juz, 28 juz, dan lainnya. Untuk santri non mukim kelas remaja sudah menghafal 2 juz dan kelas anak-anak sementara menghafal juz 30.
Santri mukim yang diterima di RQ harus berusia 17 sampai 25 tahun, dengan catatan belum menikah dan tidak akan menikah hingga program tahfidz selesai, yakni tiga tahun.
Para santri juga tidak diperkenankan memiliki aktivitas lain semisal bekerja atau kuliah karena dapat menganggu konsentrasi menghafal.
Rumah Quran Ismaili berawal dari ide Peni Putri Rafika, alumni Universitas Tadulako yang pernah mengikuti kelas tahfiz di Banua Quran (BQ) Palu. Pascagempa dan setelah menyelesaikan kuliahnya, Peni kembali ke Kota Luwuk dan membuka rumah tahfiz ini.
“Mama saya sedang sakit, dan setelah saya lulus kuliah saya diminta pulang kampung. Saya pulang, dan berpikir untuk mengabdi. Saya pernah mengelola Sekolah Tabarroq dan merintis Sekolah Quran, metode menghafal cuma dibacakan dan didengarkan audio,” terang Peni yang ditemui di Rumah Qur’an Ismaili, Sabtu (29/04).
Untuk melanjutkan rumah Quran, Peni berdikusi dengan guru ngajinya, dan disarankan untuk membuka rumah Quran yang tidak hanya fokus bagi anak-anak. Pertimbangannya, jika membuka Rumah Quran dengan target santri orang-orang dewasa akan lebih mudah dikelola dan mereka nanti dapat mengamalkan ilmunya dengan mengajarkan Al Quran.
Lama dirantau membuat perempuan berdarah Padang itu kesulitan mencari calon santri. Ia berpikir untuk memulai melalui pintu mahasiswa. Ia dibantu kawannya yang berstatus sebagai mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di kota Berair ini.
Tetapi, usahanya untuk berjejaring belum membuahkan hasil hingga ia bertemu dengan Ketua Al Quran Institue Banggai (AQIB). Ustadz Iswan ia memanggilnya.
“Ketika saya sampaikan niat baik saya ke Ustadz Iswan, Ustadz langsung bilang oke. Besoknya kami cari rumah. Rumah dan perlengkapannya, semua dibantu oleh donatur. Di awal itu, ada donatur yang sebelumnya pernah membantu kami di BQ waktu gempa Pasigala lalu. Saat ini kami punya donatur bulanan juga. Alhamdulillah, salah satunya adalah Ireach Malay, dan juga para orang tua asuh santri,” lanjutnya.
Sebagai satu-satunya pengelola Rumah Quran Ismaili, Peni mengaku sedikit kesulitan membagi waktu ketika ibundanya sakit. Ia harus bolak-balik antara RQ dan rumahnya di Desa Tontoan untuk mengurus ibunya.
“Saya memikirkan semuanya, sumber dana, program, metode. Sejauh ini saya memang masih sanggup. Hanya memang yang buat saya rasa agak sulit itu ketika harus bolak balik RQ dan rumah. Mama saya sakit, saya yang menyuapkan ia makan, membantunya mandi. Jadi anak santri sering saya tinggal. Setelah mama meninggal, saya masih punya tantangan juga. Tapi saya pikir apa yang saya lakukan ini, untuk mama juga, pahalanya mengalir ke mama,” katanya.
Tantangan lainnya yang mengambil ruang lebih banyak di kepalanya adalah ketika para santri sedang dalam kondisi malas. Sebagai perempuan, ia menyadari lebih sering menggunakan emosi ketika berbicara dengan santri. Ia kerap luluh jika mereka mulai membujuk atau memberinya berbagai alasan.
“Misalnya kalau santrinya sudah mulai malas, itu saya sudah pusing. Karena malas ini menular. Saya sering kasih toleransi karena pakai perasaan. Di RQ juga, saya izinkan mereka menyampaikan pikiran mereka. Saya tidak tahu ini sehat atau tidak bagi RQ. Karena di tempat lain, mereka bahkan tidak bisa menatap mata guru mereka karena itu adalah adab. Tapi saya sampaikan kalau saya dengar semua saran mereka, tapi tidak semuanya saya terima,” ujarnya.
Pernah bercita-cita sebagai pengacara, Peni bersyukur dipilihkan Allah jalan yang ia tempuh ini. Sebagai pengelola RQ, ia mendapatkan imbalan dunia berupa insentif bulanan, dan imbalan akhirat yakni amal jariyah.
Ia berharap di tahun-tahun berikutnya RQ semakin baik lagi termasuk dalam pola program. Di balik harapannya itu, ia menyadari bahwa butuh bertahun-tahun agar tata kelola dan sistem Rumah Quran dapat terlihat baik, seperti cerita pengalaman Rumah Quran lain yang membutuhkan waktu setidaknya 10 tahun untuk berbenah. Meski demikian ia tetap optimis.
Reporter : Iker
Editor : Rifay