DONGGALA – Rapat pemaparan rencana peremajaan dan revitalisasi kawasan Kota Tua Donggala dan perancangan Kota Donggala ke depan, belum lama ini, berujung polemik.

Pasalnya, rapat yang dibuka Sekretaris Kabupaten (Sekkab) Donggala, Rustam Efendi yang dihadiri sejumlah pimpinan OPD itu dinilai tidak didahului dengan sejumlah persiapan yang matang.

Rencana revitalisasi dan peremajaan Kota Tua Donggala itu sendiri merupakan program Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balitbangda) Donggala yang dipimpin Ardin M. Tayeb.

Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Donggala, Ta’rifin Masuara, mengatakan, mestinya bila hendak melakukan revitalisasi kota tua, harus lebih dahulu menginventarisasi bangunan-bangunan tua yang ada di dalam Kota Donggala.

“Perlu ada kejelasan mana saja bangunan-bangunan yang bernilai sejarah itu, terutama peninggalan Belanda sebagai bagian penting dalam kawasan kota tua agar mudah melangkah dalam pelaksanaan revitalisasi,” kata Ta’rifin.

Hal senada dikatakan Zulkifly Pagessa selaku Direktur Donggala Heritage. Menurutnya, bila melakukan revitalisasi, yang harus lebih diketahui dulu adalah alat vital sebuah kota.

“Nah alat vital Kota Donggala itu adalah pelabuhan. Sehingga kalau mau melakukan revitalisasi seharusnya kembalikan saja fungsi utama pelabuhan secara maksimal sebagai inti perekonomian Donggala seperti zaman dahulu,” katanya.

Sebetulnya, kata dia, istilah revitalisasi itu tidak dikenal dalam penanganan sebuah kota. Kata dia, istilah itu biasanya pada sebuah bangunan bernilai sejarah yang telah rusak atau hancur, bukan bagi sebuah kota.

Harusnya, lanjut dia, dilakukan pendekatan secara mendalam bila ingin memahami Kota Donggala yang di dalamnya sangat kompleks.

Ketua Tim Ahli dari Universitas Tadulako, Muhamad Nadjib, menjelaskan berbagai hal tentang kawasan Kota Donggala yang menurutnya masih menjadi pertanyaan dan butuh masukan dari publik.

“Memang dalam rencana ini masih perlu kejelasan, mana saja yang disebut Kota Tua Donggala. Selain itu, apakah dalam revitalisasi itu dilakukan secara keseluruhan dalam Kota Donggala yang di dalamnya ada kawasan kota tua. Itu yang akan ditentukan nantinya,” kata Nadjib.

Banyak hal yang menjadi pertanyaan publik hingga usai rapat tersebut, terutama belum pernah ada penetapan cagar budaya dalam Kota Donggala.

Seorang pemerhati sejarah Kota Donggala, menyebutkan, dalam RPJMD Kabupaten Donggala saja tidak menyebut soal revitalsiasi kota tua, sehingga dipastikan tidak jelas dasar pelaksanaan program tersebut.

“Yang mendesak dilakukan saat ini pemerintah harus menyusun Pokok-Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) Kabupaten Donggala sesuai amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan. Selain itu Pemerintah Kabupaten Donggala wajib menetapkan situs dan cagar budaya dalam kota Donggala sesuai amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010,” ungkap pengamat sejarah tersebut.

Kata dia, dengan memenuhi amanat kedua undang-undang tersebut, maka dengan sendirinya dapat teridentifikasi kawasan mana saja yang disebut kota tua, tentunya dengan adanya cagar budaya sebagai salah satu penanda.

“Selain itu, penanganan kota tua bukan semata dari sisi fisiknya yang diperbaiki dengan koneksitas jalan dan bangunan di dalamnya, tapi bagaimana nilai-nilai sejarah dan budaya yang cukup panjang kisahnya dalam sebuah kota. Itu yang harus dikaji lebih dahulu ketimbang urusan fisik,” pungkasnya. (JAMRIN AB)