OLEH: RIFAY*
Siapa yang tidak kenal Prona? Kegiatan sertifikasi tanah yang dikenal murah bahkan gratis ini telah menahun dikenal masyarakat. Proyek Operasional Nasional Agraria (Prona) merupakan salah satu dari beberapa kegiatan sertifikasi tanah yang digelontorkan pemerintah melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Prona dianggap sebuah terobosan pemerintah yang ‘laris manis’ di tengah-tengah masyarakat karena sifat kegiatannya yang sederhana dan murah.
Karena karakter kegiatan prona yang bersifat kolektif, aparatur desa/kelurahan kerap menginterpretasikan pemungutan biaya-biaya prona secara kolektif. Bahkan besarnya nilai biaya yang dibebankan kepada masing-masing peserta prona terkadang tidak didasarkan kepada asas kesepakatan dan keseragaman.
Inilah yang membuka peluang pungutan liar (pungli). Meski tak jarang dilakukan aparatur diatasnya, seperti petugas BPN dan lainnya, namun yang kerap terjadi adalah mereka yang bersentuhan langsung dengan program ini, atau mereka yang bersinggungan langsung dengan sasaran program.
Di Sulteng sendiri sudah ada beberapa aparat yang tertangkap tangan atau bahasa kerennya terjaring OTT petugas. Diantaranya adalah Camat Pagimana Kabupaten Banggai dan Kades Taviora Kabupaten Sigi.
Sungguh keterlaluan, program yang sedianya gratis untuk rakyat kecil, justru dimanfaatkan oleh mereka yang punya jabatan untuk menyalahgunakan wewenangnya memungut uang haram dari masyarakat.
Modusnya beda-beda tipis. Alasan uang operasional aparatur pengukur tanahlah, dan berbagai alasan lainnya yang tentunya bermotif sama, rakus.
Pungli terkait Prona, apapun bentuknya merupakan pelanggaran pidana. Oknum bisa dikenakan pasal 55 KUHP dengan unsur turut serta menyuruh atau melakukan pungutan.
Prona, semua biaya ditanggung oleh negara. Sehingga siapapun yang berani melakukan penarikan biaya mengatasnamakan pembuatan sertifikat Prona, bisa dipidanakan. Prona diperuntukkan bagi masyarakat tidak mampu dalam pengurusan sertifikat tanah mereka, sehingga tidak dibenarkan rakyat yang tidak mampu harus kembali dibebani dengan biaya-biaya seperti pengukuran, materai hingga pematokan dan penerbitan sertifikat.
Ada tips bagus untuk mengantisipasi terjadinya pungli pada kegiatan prona, masyarakat harus lebih cerdas. Jika memang ada biaya yang akan dibebankan kepada masing-masing perserta prona, maka harus didasarkan pada pertimbangan kebutuhan real dan azas kelayakan yaitu besaran biaya yang tidak memberatkan masyarakat.
Dan kebutuhan tersebut bukan merupakan asumsi personal melainkan sebuah kesepakatan para pihak sehingga didasarkan pada asumsi kolektif.
Lebih tegasnya biaya prona yang harus ditanggung masyarakat peserta prona (biaya pengurusan) merupakan biaya yang telah dihitung secara bersama dan merupakan kesepakatan bersama para pihak (masyarakat sebagai peserta, Pemerintah Desa/Kelurahan Sebagai Panitia dan unsur masyakat lain yang berkompeten seperti; BPD, Tokoh Agama, Adat dan lain sebagainya)
Dalam kesepakatan tersebut hendaknya menuangkan perincian penggunaan dana untuk apa saja dan kemana saja dana tersebut nantinya dipergunakan, sehingga akan lebih transparan dan dapat terpublisitas. ***
*Penulis adalah Wakil Pimpinan Redaksi Harian Media Alkhairaat
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.