OLEH: Susiati, SP., M.AP*
Sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik baru (PPDB) sudah mulai diterapkan sejak tahun 2017 kemudian disempurnakan dalam Juknis yang diatur Permendikbud No. 51 tahun 2018. Juknis tersebut menjadi pedoman dan acuan bagi pemerintah daerah, karena sekolah-sekolah Negeri yang berada dibawah koordinasi pemerintah daerah untuk dapat melaksanakan aturan tersebut.
Gagasan utama dari sistem zonasi adalah untuk menghilangkan stigma sekolah-sekolah favorite dan sekolah-sekolah non favorite yang selama ini telah menjadi stigma dalam proses pendidikan di masyarakat kita. Keberadaan sekolah favorit juga menciptakan egosentris pada siswa-siswi yang bersekolah di tempat tersebut, kemudian menciptakan sistem kompetisi yang kurang seimbang, karena murid-murid pintar akan terus mendapatkan ruang dan fasilitas terbaik untuk berkembang, sementara sebaliknya murid-murid yang kurang pintar akan terlempar. Sekolah favorite bukan hanya diperuntukan untuk calon murid yang pintar saja yang mempunyai nilai memenuhi syarat ketentuan, namun lebih kepada calon murid yang sanggup membayar harga tertentu.
Eksklusivitas sekolah favorit juga diperparah dengan adanya praktik-praktik yang kurang mendidik dengan menjual belikan kursi saat pendaftaran sekolah dalam bahasa keseharian pendaftaran melalui jendela, yang memangkas proses pendaftaran secara normal karena memiliki uang.
Kita bisa bayangkan dalam kurun waktu berpuluh-puluh tahun dalam jangka yang panjang semua ini menciptakan kesenjangan kelas sosial yang sangat tidak adil, padahal dalam pancasila kita diajarkan salah satunya tentang ‘Nilai Kemanuasiaan’ yang mana seluruh rakyat Indonesia diakui serta diperlakukan sebagiamana mestinya sesuai harkat , martabat, hak dan kewajiban yang sama sebagai mahluk ciptaan Tuhan. Kemudian ‘Nilai Keadilan’ yang menegaskan bahwa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara harus tercipta keseimbangan yang sesuai, saling menghormati hak-hak yang dimiliki orang lain, bersikap adil dan suka menolong antar sesama. Maka semua orang berhak mempunyai peluang yang sama mendapatkan yang terbaik untuk dirinya.
Pemerintah melalui Kementerian pendidikan dan Kebudayaan berusaha ingin menghentikan semua stigma ketidakadilan ini, terutama pada sekolah Negeri yang dimiliki pemerintah maka harus bernilai keadilan utuk semua pihak bahkan memberi ruang bagi mereka yang kurang mampu. Semua Warga negara Indonesia harus dapat bersekolah dan mendapatkan haknya untuk menikmati akses serta fasilitas pendidikan yang terbaik.
Melalui sistem zonasi, setiap sekolah wajib menerima murid berdasarkan jarak tempat tinggalnya dengan sekolah. Hal ini sebenarnya sangat membantu para orang tua untuk mengontrol anaknya dalam bersekolah, contoh kecilnya membantu para orang tua untuk menghemat ongkos, menghindari adanya tawuran antar siswa, menciptakan agar anak-anak punya ‘waktu bermain’ atau ‘waktu beistirahat’ yang cukup karena tidak harus menghabiskan waktu yang banyak untuk pergi dan pulang sekolah serta menciptakan keseimbangan sosial yang lainya lagi.
Tentu saja gagasan ini tak sekedar menghentikan stigma ekslusivitas sekolah-sekolah tertentu yang dianggap menjadi sekolah favorite yang selama ini tak bisa diakses oleh masyarakat/warga sekitar sekolah karena berbagai keterbatasan, akan tetapi juga berusaha menyelesaikan promlem sosial yang lainnya yang berdampak pada lingkungan, misalnya dalam hal lalu-lintas, maka dapat membantu menurunkan tingkat kemacetan dan mengurai mobilisasi orang di dalam jam sekolah.
Kemudian kenapa timbul orang-orang yang kontra terhadap gagasan kebijakan sistem zonasi ini? Banyak orang yang merasa kesulitan dalam mendaftar dan lainnya?
Mungkin saja hanya belum terbiasa dengan sistem ini, bahkan pemerintah daerah serta sekolah-sekolah masih sama-sama berbenah untuk kebaikan bersama lagi. Wajar saja kalau dalam sebuah gagasan/kebijakan tidak sekaligus sempurna dan tidak disukai semua golongan.
Kemudian mungkin belum adanya sosialisasi yang menyeluruh kepada masyarakat bahwa banyak hal-hal positif yang bisa diambil dari pemberlakuan zonasi ini.
Banyak orang tua yang mengeluhkan ‘sistem zonasi ini hanya mementingkan mereka yang rumahnya dekat dengan sekolah, tapi diskriminatif dengan mereka yang pintar dan nilainya bagus hanya karena rumahnya jauh.
Banyak yang mengeluhkan akan keberhasilan mendapatkan nilai Ujian Nasional (UN) tinggi tapi merasa sayang karena tidak bisa memilih kesekolah yang diinginkan. Bahkan sesungguhnya UN bukan hanya saja untuk menentukan siswa bisa masuk kesekolah mana, tetapi melainkan untuk mengukur keberhasilan proses pendidikan.
Dengan sistem zonasi ini sebenarnya dapat mengakomodir semua siswa masih bisa digunakan jalur prestasi. Pada Permendikbud nomor 51 tahun 2018 mengatur agar PPDB yang dilaksanakan Pemerintah Kabupaten/Kota untuk wajib menggunakan tiga jalur penerimaan yaitu jalur zonasi (siswa yang berasal dari yang berada disekitar wilayah sekolah atau yang berdekatan dengan sekolah) paling sedikit 90% dari daya tampung sekolah, jalur prestasi paling banyak 5% diluar zonasi dari daya tampung sekolah, dan jalur perpindahan tugas orang tua/wali paling banyak 5% dari daya tampung sekolah.
Kemudian, mengingat kondisi beberapa daerah yang belum dapat melaksanakan secara optimal dalam PPDB berbasis zonasi ini maka pada tangga 21 Juni Mendikbud kembali mengeluarkan edaran Nomor 3 Tahun 2019 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru memberikan ketentuan presentase penerimaan yang baru adalah melalui jalur zonasi paling sedikit 80% dari daya tampung sekolah, jalur Prestasi paling banyak 15% di luar zonasi dari daya tampung sekolah, dan jalur perpindahan tugas orang tua/wali paling banyak 5% dari daya tampung sekolah.
Maka sehubungan dengan hal tersebut melalui Peraturan Mendikbud nomor 20 tahun 2019 tentang perubahan atas peraturan mendikbud nomor 51 tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru, yang menghimbau kepada Kepala daerah Gubernur dan Bupati/walikota perlu melakukan penyesuaian. Hal tersebut juga menjawab kerisauan-kerisauan dari orang tua/wali dalam PPDB berbasis zonasi, karena hal tersebut masih mengamodir semua para siswa-siswi yang berprestasi dapat menetukan sekolah sesuai dengan keinginannya.
Hal ini semata-mata dilakukan untuk memberikan layanan pendidikan yang berkeadilan, Mendikbud memiliki visi hebat tentang mengubah sekolah Negeri menjadi hak semua orang. Sekolah Negeribertugas memberikan layanan publik yang harus memenuhi bebrapa aspek penting. Salah satu dari aspek-aspek penting itu adalah ‘Non Excludable’ yaitu tidak hanya diperuntukan untuk satu golongan atau kelompok tertentu, kemudian ‘Non Rivalry’ tidak dikompetisikan secara berlebih untuk mendapatkannya dan yang terakhir adalah ‘Non Discrimination’ yaitu tidak diskriminatif terhadap pihak-pihak tertentu.
Dengan sistem zonasi ini, ketiga aspek itulah yang ingin dikejar. Layanan pendidikan yang diberikan pemerintah harus adal untuk semua masyarakat. Sekolah tidak boleh hanya diperuntukan untuk golongan tertentu saja, misalnya para golongan/ kelompok orang kaya yang selama ini bisa dengan mudah masuk ke sekolah-sekolah favorit, sedangkan masyarakat yang kurang mampu walaupun tempat tinggalnya hanya bersebelahan dengan sekolah tidak dapat masuk kesekolah tersebut dikarenakan biaya yang cukup mahal. Sekolah tidak boleh dikompetisikan seceara berlebihan, kerena pemerintah harus pada posisi netral, tidak berpihak dan mementingkan mereka yang kurang beruntung. Dan sekolah tidak boleh diskriminatif, yaitu sekolah dapat menerima siapapun bahkan para penyandang disabilitas pun harus bisa mengakses sekolah Negeri yang dekat dengannya.
Tentu saja menurunkan Visi besar ini ke dalam hal teknis bukan pekerjaan yang gampang. Tetapi pemerintah terus melakukan pendampingan dan pengawasan dalam pelaksanaan PPDB ini agar visi keadilan bagi seluruh rakyat indonesia terpenuhi dan terlaksana dengan baik. Termasuk dengan tidak bolehnya praktek-praktek kolusi atau kecurangan dalam bentuk apapun.
Dengan dihilangkannya status sekolah favorit, maka semua sekolah Negeri pada saatnya harus setara, dan masih banyak pekerjaan rumah Kemendikbud untuk terus mendorong sekolah-sekolah dengan fasilitasnya yang belum sempurna untuk mensetarakan dan mengejar ketertinggalan dengan sekolah lainnya. ***
*Penulis adalah Kepala Keasistenan PVL Ombudsman RI Perwakilan Sulawesi Tengah