PALU – Akademisi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palu, Arifuddin M. Arif, angkat bicara menyikapi pro kontra Program Organisasi Penggerak (POP) Kemendikbud RI yang terjadi belakangan ini.
Menurutnya, mundurnya beberapa ormas seperti Muhammadiyah, NU, dan PGRI dalam program tersebut, menunjukkan bahwa program itu bermasalah dan harus di-clear-kan.
“Saya sepakat dengan Pengurus PGRI dan sebagian anggota Komisi X DPR RI agar Kemendikbud menunda pelaksanaan program POP ini,” kata Arifuddin, kepada MAL Online, Senin (27/07).
Menurutnya, program ini perlu dikaji ulang, baik dari aspek sistem rekrutmen, kriteria dan alat ukur penetapan anggota POP, maupun signifikansi dan relevansi program.
“Mestinya, program ini berpihak pada semangat supporting pada pemecahan problem implementasi pendidikan dan pembelajaran di masa pandemic saat ini,” lanjut Arifuddin.
Di sisi lain, pakar sekaligus pengamat pendidikan IAIN Palu itu tidak menampik keinginan Mendikbud beserta jajarannya untuk terus melakukan ikhtiar dan terobosan untuk memajukan pendidikan nasional. Namun, kata dia, pendekatannya juga harus tepat dan paradigma progrmanya juga tidak melenceng dari khittah pendidikan nasional sebagai human investmen oriented, bukan capital oriented.
“Jika sekiranya semangat, substansi, konteks dan konten program POP ini sama saja dengan apa yang telah dilakukan dan dikembangkan oleh satuan pendidikan bersama guru, baik itu PGRI, MGMP, KKG, dan warga sekolah lainnya dalam bentuk kegiatan penguatan infrastruktur dan skill pembelajaran, mengapa tidak anggaran yang dipersiapkan untuk POP selama dua tahun itu distimulasi saja ke satuan pendidikan di seluruh Indonesia yang saat ini telah bergerak jauh dan pontang panting menormalisasi pembelajaran di era new normal dengan segala keterbatasannya,” hemat Direktur Education Development Center (EnDeCe) Sulteng itu.
Dia melanjutkan, anggaran besar yang dipersiapkan untuk POP sangat berarti, jika sekiranya diberikan kepada satuan-satuan pendidikan untuk memperkuat infrastruktur pembelajaran serta diberikan kepada guru, terutama guru honorer dan orang tua siswa yang berstatus ekenomi lemah sebagai dukungan psiko-finansial dalam melaksanakan pembelajaran di era new normal saat ini.
“Kemendikbud tinggal melihat satuan pendidikan mana yang harus diberikan stimulan kategori gajah, macam dan kijang. Bukan justru diberikan ke organisasi yang berafiliasi korporasi,” pungkasnya. (IWANLAKI)