PALU – Aparat Kepolisian Resort Kota (Polresta) Palu menertibkan aktivitas penambang ilegal yang beroperasi di areal Kontrak Karya (KK) PT Citra Palu Minerals (CPM), Kelurahan Poboya.
Penertiban dilakukan menyusul adanya penambang yang meninggal dunia akibat tertimbun longsor di areal tersebut, Senin dinihari lalu.
Menurut Manager External Relation and Permit PT Citra Palu Minerals (CPM), Amran Amier, penertiban itu telah berlangsung sejak Senin sore, pasca insiden yang menewaskan penambang.
“Penertiban ini juga atas permintaan dari CPM,” katanya.
Sebab, kata dia, pihaknya sendiri tidak bisa bertanggun jawab jika ada lagi insiden serupa.
“Makanya selain dengan kepolisian, kami juga sudah menyampaikan kepada Dinas ESDM dan berbagai pihak karena insiden ini terjadi di wilayah kontrak karya CPM. Jangan sampai orang salah paham,” jelasnya, di Kantor CPM, Rabu (31/08).
Sekarang ini, lanjut dia, yang ditertibkan adalah penambang-penambang kecil karena penambang besar sendiri sudah diterbitkan sejak tanggal 28 April lalu, pasca kejadian longsor di bagian Watutempa yang menimbun tiga truk milik penambang.
“Sekarang truk itu ada di Krimsus, tidak ada yang tanggung jawab. Kenapa CPM tidak mungkin bertanggung jawab, karena unsur-unsur untuk bertanggung jawab itu tidak ada. Mereka bukan kontraktor CPM, bukan juga karyawan CPM.
Amran juga menjelaskan status lahan yang akhir-akhir ini dipermasalahkan masyarakat. Lahan yang dimaksud adalah taman hutan raya (tahura) yang berstatus kawasan hutan. Kawasan itu boleh diolah melalui Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) Operasi Produksi. CPM sendiri telah mengantongi izin tersebut dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) sejak Maret 2022.
“Artinya ada kawasan hutan yang kita pinjam. Sebelum izin dikeluarkan oleh Kementerian LHK, kita harus membayar denda Rp4,3 miliar atas pembukaan lahan itu. Padahal yang sudah membuka lahan itu masyarakat, yang kena sanksi CPM,” ungkapnya.
Ia menjelaskan, kawasan tahura itu sendiri seluas 7.125 hektar, namun yang tumpang tindih dengan kontrak karya CPM sekitar 5000 hektar. Dari 5000-an hektar tersebut, yang dialihfungsikan menjadi Hutan Produksi Terbatas (HPT) adalah seluas 1.900 hektar yang keseluruhannya ada di areal KK CPM.
“Dari 1.900 hektar itu, kami memohon IPPKH. Yang kami dapat OP itu cuma 327 hektar. Jadi hanya itulah yang bisa dikelola. Kalau mau lebih, maka kita harus mengajukan izin lagi, walaupun itu sendiri masih dalam areal KK CPM,” terangnya.
Status kawasan hutan, tambahnya, beda dengan Areal Penggunaan Lain (APL). Untuk APL, bisa saja ada kepemilikan dari masyarakat dan CPM bisa membelinya.
“Tanpa alas hak pun, cukup ada saksi yang membenarkan, maka kita uruskan sampai mendapatkan surat keterangan dari lurah dan camat, lalu kita bayar. Dan APL ini terserah pemiliknya, dia mau jual berapa, ada transaksi,” tuturnya.
Sementara itu, kata dia, kawasan hutan dikuasai oleh negara. Jika ada masyarakat yang mengklaim ada lahannya, maka CPM bisa memberikan dana kerohiman.
“Mungkin pernah ada sejarahnya mereka menanam kemiri atau coklat, maka CPM tidak akan menafikan itu. Meskipun itu kawasan hutan yang tidak boleh ada aktivitas ap-apa, CPM tetap membayar kerohiman untuk mengganti tanaman yang sudah ada. Jadi bukan lahan yang dibayar,” pungkasnya. (RIFAY)