PALU – Anggota Polres Palu, Briptu Jumardi alias Cuka, divonis bersalah melanggar disiplin anggota Polri, setelah terlibat perampasan kamera dan menghapus file milik Jurnalis TVRI Sulteng, Rian Saputra pada aksi demonstrasi yang menyebabka bentrok antara mahasiswa dan polisi, September 2019 lalu.

Vonis tersebut dijatuhkan dalam sidang yang berlangsung di Ruang Rupatama Polres Palu, Rabu (15/01).

Berdasarkan sejumlah bukti serta saksi yang diperiksa di Bid Propam Polda Sulteng, Bintara Satreskrim dengan NRP 89070680 itu, dijatuhi hukuman penundaan kenaikan pangkat serta tidak diperbolehkan mengikuti pendidikan selama satu periode.

“Memutuskan, menetapkan memberikan hukuman disiplin kepada Jumardi,” kata Wakapolres Palu, Kompol A Aziz saat memimpin jalannya persidangan.

Kompol Aziz menguraikan tiga hukuman yang dijatuhkan, yakni mutasi bersifat demosi, penundaan mengikuti pendidikan kepolisian selama satu periode, serta penundaan pangkat yang mana seharusnya pada Bulan Januari ini, yang bersangkutan naik dari pangkat yang sekarang.

Pantauan media ini, Briptu Jumardi terlihat tidak menjawab pertanyaan yang diajukan oleh pimpinan sidang.

Bahkan, sesaat setelah Wakapolres membacakan hasil dari pemeriksaan saksi serta bukti terkait kasus pelanggaran disiplin tersebut, Jumardi bersuara kecil sembari menjawab telah menerima hukuman tersebut.

Sebelumnya, wartawan TVRI Sulteng, Rian Saputra merekam bentrok antara mahasiswa dengan polisi pada aksi penolakan sejumlah RUU. Namun oleh Briptu Jumardi, kamera itu dirampas dan seluruh file hasil rekaman dihapus.

Terpisah, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Palu, Mohammad Iqbal mengapresiasi putusan yang telah diberikan majelis sidang disiplin Polres Palu. Hal ini, kata dia, menunjukkan adanya niat kepolisian untuk menindak anggotanya yang melanggar disiplin.

“Buat kami, ini citra positif bagi kepolisian. Itu justru harus dibentuk dengan aksi seperti ini, bukan dengan pencitraan semu,” tegas Iqbal.

Putusan yang menyatakan bahwa Briptu Jumardi bersalah, dinilainya sudah cukup memberikan pelajaran. Tidak hanya kepada pelaku saja, namun kepada seluruh anggota Polri.

“Bahwa kerja-kerja jurnalistik dilindungi oleh undang-undang, sama halnya dengan aparat kepolisian dalam bertugas. Vonis bersalah itu sudah cukup, bahwa ada batas yang dilanggar oleh oknum polisi dan mengganggu kerja-kerja jurnalis untuk memberikan informasi yang aktual kepada masyarakat,” sebutnya.

Ia berharap, ke depan tidak ada lagi kasus serupa. Sebab, dalam catatanya, sudah dua kasus yang hampir sama terjadi pada wartawan dan melibatkan anggota Polres Palu.

Disinggung terkait kasus ini yang tidak diseret ke ranah pidana umum, Ballo, sapaan akrabnya menyebut bahwa hal itu dapat dilihat secara kasuistis.

“Untuk kasus yang dialami rekan Rian Saputra saya kira cukuplah disiplin, karena kedua belah pihak juga sudah saling memaafkan. Namun kami juga sebenarnya mendorong jika ada kasus kekerasan yang menimpa jurnalis dan melibatkan aparat, tidak hanya selesai di sidang disiplin atau kode etik saja, namun juga harus ke wilayah pidana,” paparnya.

Artinya kata Ballo, untuk kasus kekerasan terhadap jurnalis yang dibawa ke ranah pidana umum, harus melihat bagaimana tindak kekerasan yang dialami serta fakto-faktor lain. Sehingga, lanjut dia, bila masih ada kasus serupa dan memang memenuhi unsur, maka akan dipidanakan.

AJI Indonesia sendiri telah menyatakan, polisi adalah musuh kebebasan pers. Hal tersebut dinyatakan AJI berdasarkan jumlah kasus kekerasan dan pembungkaman jurnalis oleh polisi sepanjang 2019.

Ketua Umum AJI Indonesia, Abdul Manan menyatakan, polisi secara sengaja melakukan pembungkaman ketika jurnalis merekam polisi melakukan kekerasan dan kejahatan.

Berdasarkan data Bidang Advokasi AJI Indonesia, sampai 23 Desember 2019, terdapat 53 kasus kekerasan terhadap jurnalis.

Penyumbang terbanyak adalah kasus kekerasan terhadap jurnalis yang terjadi dalam dua peristiwa, yaitu demonstrasi di depan Kantor Bawaslu RI tanggal 20 sampai 21 Mei 2019 dan demonstrasi mahasiswa tanggal 23 sampai 30 September 2019 lalu.

Dari 53 kasus kekerasan itu, ditemukan bahwa pelaku kekerasan terbanyak adalah polisi sebanyak 30. (FALDI)