PALU – Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Perwakilan Sulteng Dedi Askari bersama sejumlah delegasi massa yang tergabung dalam Front Solidaritas Masyarakat Tanjung Sari, telah melakukan negosiasi dengan pihak Polda Sulteng dan menghasilkan sejumlah tuntutan, diantaranya, meminta Kapolda Sulteng segera menarik pasukan yang bertugas di lapangan.

Menurut Dedi, hal itu penting diupayakan untuk menjaga agar insiden perlawanan warga terhadap pihak kepolisian tidak terulang kembali.

Selain itu, Komnas HAM juga meminta agar aparat kepolisian tidak menjadi ujung tombak dalam proses ekseksui. Menurut dia, tindakan kepolisian tersebut seakan-akan melampaui kewanangan Pengadilan Negeri setempat.

Mestinya, kata dia, pihak kepolisian melakukan penelusuran dan menelaah objek eksekusi.

“Bayangkan, tiga kali permohonan eksekusi ditolak oleh ketua pengadilan terdahulu. Nanti periode sekarang baru dikabulkan. Jika aparat pengadilan profesional, penolakan yang dilakukan sebanyak tiga kali bisa dijadikan dasar untuk menalaah kebenaran, kesahiahan kasus yang kelak akan dieksekusi,” katanya.

Sekertaris Wilayah LMND Sulteng, Neny Setyawati Kotae

Tragedy yang menimpa ribuan masyarakat Tanjung menuai simpati dari kalangan mahasiswa, utamanya para aktifis yang tergabung dalam Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND)

Hasil pantauan organisasi ini, sejak penggusuran jilid I yang dilaksanakan tahun lalu, tak ada niat serius dari Pemda setempat untuk mencarikan solusi kongkrit terhadap sengketa lahan Tanjung. Tidak tanggung-tanggung pula 343 KK dan 1411 jiwa yang bermukim dilahan eksekusi hingga detik-detik penggusuran jilid II terjadi masih banyak yang tinggal di rumah-rumah alternatif (pondokan) yang dibangun sendiri oleh masyarakat dan tidak mendapatkan fasilitas ganti rugi. Padahal mereka memiliki sertifikat tanah yang masih diakui oleh hukum. Derita rakyat yang luar biasa ini menurut kami merupakan kejahatan kemanusiaan yang tak ada ampun,” kata Sekertaris Wilayah LMND Sulteng, Neny Setyawati Kotae.

Dia pun mengecam keras tindakan yang dilakukan oleh aparatur negara terhadap masyarakat.

“Secara organisasi, kami mengintruksikan kepada seluruh kawan-kawan, khususnya LMND Kabupaten Banggai untuk terus mengawal,” imbaunya.

Terpisah, Kapolda Sulteng, Brigjen Pol I Ketut Argawa menegaskan, tidak ada anggotanya, khususnya di barisan depan yang menggunakan senjata saat penggusuran lahan. Menurutnya, senjata hanya dipergunakan personel yang ada di barisan paling belakang, itupun berisi peluru karet, gas air mata dan water canon.

“Peristiwa gesekan itu sangat kita sayangkan,” tutup Kapolda.

Dari Luwuk dikabarkan, Kerukunan Keluarga Sulawesi Tenggara (KKST) Kabupaten Banggai telah mengupayakan pengacara untuk membebaskan sembilan warga yang diamankan pihak kopolisian saat proses eksekusi kemarin. Siang kemarin, sembilan warga tersebut sudah diperbolehkan pulang. (RIFAY/NANANG IP/YAMIN/ FALDI)