PALU – Terorisme bukan persoalan siapa pelaku, kelompok dan jaringannya. Namun, lebih dari itu, terorisme merupakan tindakan yang memiliki akar keyakinan, doktrin dan ideologi yang dapat menyerang kesadaran masyarakat. Tumbuh suburnya terorisme tergantung di lahan mana ia tumbuh dan berkembang. Jika ia hidup di tanah gersang, maka terorisme sulit menemukan tempat, sebaliknya jika ia hidup di lahan yang subur maka ia akan cepat berkembang.

Hal inilah yang mendasari Pengurus Koordinasi Cabang (PKC) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Provinsi Sulteng untuk menggelar dialog terbuka bertema “Strategi Penguatan dan Pemetaan dalam Mengidentifikasi Gerakan Kelompok Radikal”. Dialog akan digelar di Gedung Serba Guna Desa Baliase, Kecamatan Marawola, Kabupaten Sigi, Ahad (28/04) mendatang.

Menurut Ketua Umum PKC PMII Sulawesi Tengah, Faisal A Sado, Jumat (26/04), dialog tersebut bertujuan memberikan pemahaman yang strategis kepada stakeholders tentang keberadaan kelompok radikal dengan ciri-cirinya, memberikan penguatan kepada public tentang bahaya gerakan radikal, memberikan penguatan antisipasi sejak dini agar mudah mengidentifikasi kelompok radikal.

“Kemudian memberikan gambaran secara umum kepada peserta dialog agar bersama menyatukan visi dalam memberantas gerakan radikal,” ujarnya.

Untuk itu, lanjut dia, dialog nantinya akan menghadirkan peserta dari kalangan pemerintah, tokoh agama, tokoh pemuda, tokoh adat, organisasi masyarakat, LSM dan pelajar. Sementara narasumbernya menghadirkan Kapolres Sigi, Kepala Badan Kesbangpol Sigi, Kepala Kemenag Sigi dan Kepala Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Sigi.

Lebih lanjut dia mengatakan, radikalisme merupakan suatu sikap yang mendambakan perubahan secara total dan bersifat revolusioner dengan menjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada secara drastis lewat kekerasan.

“Radikalisme sudah tidak asing lagi dalam dunia terorisme, salah satunya di Indonesia. Insiden bom yang masih terjadi di beberapa hotel di Indonesia  merupakan salah satu bukti bahwa radikalisme atas nama agama masih ada dan terus berkembang,” tuturnya.

Dia lalu mengutip Sabda Nabi Muhammad SAW bahwa “Suatu saat akan muncul sekelompok kecil dari umatku yang membaca Al-Quran, namun tidak mendapatkan substansinya. Mereka itu sejelek-jeleknya makhluk di dunia ini.”

“Hal tersebut terbukti ketika Nabi Muhammad SAW wafat pada 35H, Khalifah Usman bin Affan terbunuh secara mengenaskan oleh sekelompok umat Islam yang ekstrim dan bernuansa politik. Itu menunjukkan bahwa radikalisme memang sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad,” tambahnya.

Adapun pendapat yang mengatakan radikalisme muncul karena ketidakadilan, kata dia, bisa saja disebabkan oleh negara maupun kelompok lain yang berbeda paham, juga keyakinan. Pihak yang merasa diperlakukan secara tidak adil, lalu melakukan perlawanan.

“Lihatlah bagaimana kondisi yang terjadi di Irak dan Afghanistan, juga lihat pula bagaimana perlakuan tidak adil Israel terhadap Palestina. Kondisi inilah yang kemudian membangkitkan perlawanan,” ujarnya.

Sehingga, kata dia, gerakan radikal harus menjadi perhatian semua kelompok stakeholder yang konsisten akan NKRI, menjadikan Pancasila sesuatu yang final sebagai landasar dasar dalam berinteraksi dengan masyarakat.

“Tentunya sebagai upaya antisipasi terhadap kelompok radikal tersebut, diperlukan kesiapan dini semua masyarakat agar mudah mengetahui ciri-ciri kelompok tersebut,” tutupnya. (RIFAY)