OLEH: Bambang*
Wabah Covid-19 telah mengakibatkan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang semula dijadwalkan 23 September 2020, harus ditunda. Keputusan mengenai penundaan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020 yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada Senin 4 Mei 2020 lalu.
Pada pasal 201 A ayat (1) mengatur bahwa pemungutan suara Pilkada 2020 ditunda karena bencana non-alam, dalam hal ini adalah pandemi virus corona (Covid-19) di Tanah Air.
Kemudian pada ayat 2 disebutkan, pemungutan suara dilaksanakan pada bulan Desember 2020. Namun dalam ayat 3 juga ikut diatur bahwa pemungutan suara dapat diundur lagi apabila pada bulan Desember pemungutan suara belum bisa dilaksanakan.
Keputusan tentang pelaksanaan Pilkada ini, kemudian menjadi bulat pasca dilaksanakannya Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Komisi II DPR yang dihadiri oleh KPU, Bawaslu, DKPP, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) pada tanggal 27 Mei 2020. Dalam RDP itu disepakati bahwa pelaksanaan pemilihan lanjutan serentak dilaksanakan 9 Desember 2020.
Kepastian itu diperkuat terbitnya Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 5 Tahun 2020 tentang Oerubahan Ketiga atas PKPU Nomor 15 tahun 2019 tentang tahapan, program dan jadwal penyelenggara Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Wali Kota.
Memang, pemilihan kali ini berbeda dengan sebelumnya, karena dilaksanakan dalam kondisi up normal, di mana negara sedang berusaha melawan ganasnya serangan Covid 19 yang sudah ditetapkan WHO sebagai pandemi global, sehingga oleh Presiden melalui Keppres Nomor: 11 Tahun 2020 menyatakan sebagai Darurat Kesehatan.
Meski demikian, penyelenggara Pemilu wajib menyambut dan menjadikan kondisi darurat ini sebagai tantangan dengan tetap menjaga kualitas Pemilhan Kepala Daerah sesuai ekspektasi masyarakat dan amanah demokrasi.
MENJAGA KEDAULATAN RAKYAT DI TENGAH COVID–19
Pilkada serentak yang akan dihelat 9 Desember mendatang, akan berlangsung dalam situasi negara sedang dirundung duka, karena menghadapi ganasnya serangan Covid-19. Wajar jika banyak kalangan meragukan out put dari Pilkada sesuai amanat demokrasi yang menjamin partisipasi dan keterlibatan setiap warga negara sebagai bentuk legitimasi terhadap pelaksanaan Pemilu.
Harmoko M Said dalam opininya yang ditulis Modernis.co, Jakarta, mengatakan, salah satu negara yang dianggap sukses menyelenggarakan pemilu di masa Covid-19 adalah Korea Selatan, Adhy Aman salah satu Senior Program Manager International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) mengemukakan pengalaman yang dilakukan Korsel memang tidak dapat dijiplak begitu saja untuk diterapkan di Indonesia di tengah pandemi saat ini.
Sebagai contoh Korea Selatan bisa dijadikan contoh oleh Indonesia akan tetapi, bukan kemudian keberhasilan di Korsel langsung diterapkan di Indonesia. Karena di Setiap negara punya kemampuan dan kekhasan (culture) masing-masing, yang tidak bisa disamaratakan dengan negara lain.
Jika melihat praktik yang diterapkan di Korsel, ada banyak infrastruktur pemilu yang disiapkan seperti masker, pembersih tangan, sarung tangan, dan pelindung wajah bagi petugas pilkada. Belum lagi biaya-biaya pembelian kertas suara, kotak suara, tinta, spidol, petugas pemilu, dan lain-lain yang merupakan anggaran untuk pemilu normal, Selain itu, masyarakat harus tertib menjalankan protokol kesehatan seperti ditunjukan masyarakat Korsel.
Pertanyaannya, mampukah kita meningkatkan partisipasi masyarakat secara formal dan substantif di tengah pandemi dan masih rendahnya kesadaran masyarakat?
Dalam teori kedaulatan rakyat menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, maka dari itu legitimasi kekuasaan pemerintah adalah berasal dari rakyat.
Pilkada serentak akan memberikan ruang yang luas bagi masyarakat untuk menyatakan kedaulatannya. Dalam proseses Pemilihan tingkat partisipasi pemilih dalam Pemilu merupakan salah satu faktor untuk menilai sejauhmana kualitas pemilu diselenggarakan.
Salah satu semangat Pemilihan Kepala Daerah dipilih langsung oleh rakyat untuk memastikan semua proses dan tahapan dilakukan secara partisipatif karena masyarakat benar-benar-benar memilih dan menentukan pemimpin yang memiliki kapasitas dan komitmen yang kuat untuk memajukan daearahnya.
Angka partisipasi pemilih setidaknya bisa menggambarkan sejauhmana partisipasi politik warga dalam kontestasi Pemilu. Bahkan, dari sisi lain, angka partisipasi juga akan menjelaskan kekuatan legitimasi dari orang yang terpilih melalui proses pemilu yamg dilakukan. Karena pada hakikatnya, proses Pemilu adalah bentuk penyerahan mandat dari pemilih kepada yang dipilih umtuk mewujudkan kesejateraan rakyat.
Dari sisi penyelenggara, partisipasi tidak hanya sekadar dinilai seberapa tinggi jumlah pemilih menyalurkan hak pilihnya di bilik suara, tetapi juga sejauhmana penggunaan hak pilihnya dilakukan atas kesadarannya sebagai pemilih.
Artinya, antusias pemilih dalam berpartisipasi pada setiap tahapan pemilihan harus lahir dari kesadaran dan semangat melahirkan pemimpin yang memiliki kapasitas dan komitmen kuat untuk memajuhkan daerahnya, bukan karena iming-iming materi dari oknum dan kelompok tertentu.
Apalagi, berdasarkan data, sebanyak 224 dari 270 daerah yang melaksanakan Pilkada Serentak tahun ini, sebagaian besar diikuti oleh kandidat petahana.
Hal ini tentu menjadi tugas yang tidak ringan bagi Bawaslu terutama dalam mengawasi tindakan abuse of power terkait alokasi anggaran penanggulangan Covid-19 yang dimanfaatkan untuk kampanye terselubung kandidat tertentu, yang tentu saja bisa mempengaruhi rasionalitas pemilih dalam menentukan pilihannya.
Untuk itu, secara formal dibutuhkan komitmen, kerja keras penyelenggara hingga ke level paling bawah. Dan secara nonformal, dibutuhkan keterlibatan semua pemangku kepentingan, sipil society untuk bersama-sama memastikan pelaksanaan Pilkada berjalan secara free and fair.
Pemilihan sudah didepan mata, dan penyelenggara telah disumpah untuk melaksanakan tugas, kewenangan dan kewajibannya sesuai dengan undang-undang. Tidak ada pilihan lain, harus siap menghadapi segala risiko dengan jaminan kesuksesan Pemilihan Kepala Daerah 2020. ***
Penulis adalah Anggota Bawaslu Parigi Moutong*