OLEH: Tasykira Putri Aulia*
Memasuki masa Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Tahun Pelajaran 2019/2020. Setiap orang tua berharap anaknya bisa diterima di sekolah yang sesuai harapan. Tak terkecuali orang tua yang memiliki anak usia Sekolah Dasar (SD).
Regulasi pemerintah tentang PPDB mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 51 Tahun 2018. Syarat anak masuk SD dilihat dari usia anak yaitu telah berusia 7 tahun atau paling rendah 6 tahun pada tanggal 1 Juli tahun berjalan, atau 5 tahun 6 bulan pada tanggal 1 Juli tahun berjalan bagi yang memiliki potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa dibuktikan dengan rekomendasi tertulis dari psikolog profesional atau dewan guru. Syarat masuk lainnya yaitu faktor jarak antara tempat tinggal dan sekolah, serta tidak boleh ada tes baca, tulis dan hitung (Calistung).
Untuk penyelenggaraan SD di bawah naungan pemerintah atau SD negeri. Penerimaan siswa baru harus tunduk dan berpedoman pada Permendikbud tersebut. Lain halnya SD yang dikelola masyarakat atau yayasan-yayasan. Terkadang memberlakukan syarat uji Calistung bagi anak yang akan diterima.
Mengapa anak tidak dipersyaratkan bisa Calistung sebelum masuk anak SD? Pandangan ini memiliki alasan bahwa anak tidak perlu bisa Calistung. Seiring proses pembelajaran di SD anak akan menemukan dan memiliki kemampuan Calistung sendiri. Pendapat ini disokong Carol Leroy, Direktur Reading and Language Center dari University Alberta Canada bahwa literasi atau kemampuan menulis dan membaca anak merupakan proses bertahap. Yaitu mulai sejak bayi yang senang memain-mainkan buku hingga menggigitnya, lalu orang tua membacakan buku hingga anak bisa membaca secara mandiri.
Terdapat beberapa alasan mengapa usia anak 7 tahun dianggap siap memulai pendidikan dasar, di antaranya yaitu : dari segi (a) Aspek Fisik : bahwa anak usia 6-7 tahun dianggap sudah siap secara fisik. Gerakan motorik anak sudah lebih bagus. Otot dan syarafnya juga sudah terbentuk. (b) Aspek Psikologis : Dalam teori perkembangan anak mulai bisa berkonsentrasi dengan baik pada usia di atas 6 tahun. (c) Aspek Kognitif : Saat akan masuk SD, anak diharapkan siap menerima pelajaran membaca, menulis, dan berhitung. Dan (d) Aspek Emosi : Umumnya pada usia tersebut anak sudah memiliki emosi dan kemandirian.
Bagaimana potret pembelajaran SD kita sekarang ini ? Terkadang didengar keluhan orang tua yang repot mendampingi anaknya belajar terutama anak yang baru masuk SD. Mengapa ? Ternyata materi pelajaran disajikan dalam buku teks baik yang dibagikan di sekolah maupun yang dijual bebas di toko-toko buku. Sungguh sangat bertolak belakang dengan bayangan orang tua. Mereka berharap kemampuan awal Calistung mulai diperkenalkan pada tahap awal anak duduk di bangku kelas 1 SD. Halaman demi halaman buku teks memuat materi yang menuntut anak punya kemampuan Calistung untuk dapat mempelajarinya. Porsi pengenalan huruf latin dan cara mengeja hanya mendapat porsi seadanya. Tidak terkecuali buku produk resmi pemerintah sebagai acuan buku teks pelajaran.
Bisa dibayangkan repotnya orang tua yang harus mendampingi anak belajar di rumah. Membacakan materi apa yang ada di buku. Kemudian menjawab atau mengerjakan soal yang ditanyakan. Timbul asumsi sepertinya orang tua yang sekolah. Hal ini terjadi karena anak tidak memiliki kemampuan membaca dan menulis sendiri. Sementara tuntutan kurikulum SD kelas 1 tidak hanya memperkenalkan huruf dan kosa kata yang terdapat dalam Buku Tematik serta Buku Pendidikan Agama dan Budi Pekerti. Tetapi sudah harus membaca dan menulis walaupun hanya sederet kosa kata bahkan terkadang sebuah kalimat.
Solusi bagi orang tua tentu mengharapkan bantuan guru wali kelas untuk membimbing anaknya secara khusus berupa les membaca di luar jam pembelajaran di kelas. Dan sangat tergantung kesediaan dan kesempatan guru meluangkan waktu dalam membimbing anak. Atau membawa anak tersebut ke tempat bimbingan belajar yang menyediakan kursus baca tulis. Terlebih lagi jika anak memiliki keterbatasan tertentu berupa kemampuan beradaptasi yang terbatas. Sekarang ini terdapat berbagai macam metode belajar membaca yang ditawarkan yang sangat berbeda dengan metode tradisional yang menghafal dan mengeja huruf dan suku kata.
Akhirnya, bisa tidaknya anak membaca dan menulis sebelum memasuki pendidikan dasar merupakan pilihan bagi orang tua. Agar anak memiliki rasa percaya diri di antara teman-teman sekelasnya. Lebih siap menerima materi pelajaran tanpa perasaan takut. Interaksi komunikasi dengan guru dan anak berjalan lancar. Dan peran psikolog penting dalam memberikan pertimbangan kepada orang tua mengenai pilihan pendidikan buat anak. Selamat kepada orang tua yang telah memilih pendidikan terbaik buat putra-putrinya. ***
*Penulis adalah Mahasiswa Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang asal Warga Palu