Apa yang mendorong Joseph Conrad (1857-1924), novelis berkebangsaan Inggris kelahiran Kota Berdychiv bagian Ukraina eks Kekaisaran Rusia itu datang ke Donggala? Bisa jadi adanya pemahaman literasi yang baik tentang Donggala pada masanya, bahkan masyarakat Eropa umumnya sudah cukup mengenal kota pelabuhan itu.

Donggala menjadi poros perdagangan dunia hasil bumi (hutan) cukup penting ke Eropa melalui pelayaran dan pedagang sejak abad ke 18. Petualang tertarik datang sama halnya para pelancong saat ini mengunjungi suatu destinasi sebuah kota setelah mendapat informasi menarik.

Bila merujuk pada masa awal abad ke 19 buku cukup penting di London, Inggris tentang Donggala adalah kisah Kapten David Woodard yang ditulis William Vaugan; The Narrative of Capitan David Woodard, menceritakan pengalaman pahit sang kapten bersama anak buahnya saat disandera di wilayah Donggala antara tahun 1793-1795.

Kisah itu diterbitkan di London tahun 1804 dan menjadi buku laris. Kelak para pelaut Eropa masa itu menjadikan bacaan wajib sebelum melakukan perlayaran ke wilayah Nusantara khususnya kalau melewati Selat Makasar.

Ringkasnya, diceritakan bahwa di wilayah perairan Selat Makassar sering terjadi perompakan yang dilakukan pribumi maupun dari Mindanau. Artinya para pelaut mesti selalu waspada menghadapi perompak.

Cerita dari Woodard menjadi bahan literasi penting memahami sosial kultur penduduk Donggala (Dungally), Parlow (Palu) dan Travalla (Towale), tiga di antara beberapa nama tempat petualangan selama penyanderaan.

Dari kisah tragedi Woodard bersama lima anak buahnya diketahui bahwa Donggala pada abad ke 18 sudah ramai disinggahi kapal dagang. Bahkan kota ini menjadi salah satu tujuan perdagangan budak hasil penculikan di Laut Sulawesi yang dilakukan perompak Mindanau dan Sulu. Budak-budak yang diperdagangkan berusia muda dengan harga ketika itu 20-30 dollar Spanyol.

Hubungan dagang dan persahabatan perompak dari Mindanau dengan orang Donggala diceritakan adanya perkawinan putra bajak laut Mindanau dengan putri raja di Donggala. 

Kesaksian David Woodard juga menyebut barang dagangan di Donggala dan Palu kebanyakan buatan Belanda dan Cina. Misalnya panci kuningan, alat timbangan dan pisau merupakan buatan Belanda, sedangkan teh buatan China sudah dijual di Donggala dan Palu. Komoditi produksi setempat yang dijual ke daerah lain berupa sisik penyu, teripang, emas dan kain tenun.

Besar kemungkinan Joseph keturunan Polandia itu sebelum berpetualang lebih dulu membaca kisah David Woodard. Buku itu terbit 53 tahun sebelum Josep Conrad lahir dengan merujuk tahun kelahirannya 1857. Sedangkan kedatangannya ke Donggala tahun 1887, berarti saat usianya masih terbilang muda, 30 tahun.

Mengikuti rute kapal Vidar (Tidar) milik saudagar Arab yang berada di Singapura dinakhodai James Craig. Selama pelayaran dari kota pulau yang dikuasai Inggris itu, Conrad merangkap anak buah kapal selama pelayaran menuju beberapa pelabuhan di Nusantara.

Sejarawan Donggala, Mas’ulun Lamarauna (1942-2000) dalam catatannya menyebut, kedatangan Joseph Conrad di Donggala sempat berkenalan dan bersahabat dengan Lasabanawa sebagai Raja Banawa masa itu. Cuma saja tidak banyak catatan menyebut berapa lama tinggal dan tidak ada informasi tentang latar belakang novel-novelnya tentang Donggala, kecuali tentang latar belakang Makassar sempat dituangkan dalam novelnya, An Outcast of the Islands diterbitkan tahun 1896.

Tetapi yang jelas, kedatangannya di Donggala merupakan catatan penting menunjukkan kalau kota pelabuhan di gerbang Teluk Palu itu pada masanya memiliki peran penting bagi pelayaran dunia intrnasional menghubungkan beragam kebudayaan antara Barat dan Timur.

Dari Donggala, Joseph kemudian mengikuti pelayaran ke Kalimantan hingga menetap beberapa lama di sana hingga kelak sekembalinya ke Inggris, ia menulis novel dengan seting Kalimantan. Novel-novelnya cukup penting menjadi sumber penulisan sejarah maritim Nusantara dan Asia Tenggara abad ke 19 tentang kondisi budaya suku-suku, raja dan kerajaan lokal masa itu di Kalimantan.

Salah satu sejarawan dunia banyak megutip karya Conrad adalah G.J. Resink menjelaskan tentang kepulauan timur terhadap pandangan Barat. Disebutkan bahwa Conrad menjadikan Donggala salah satu tujuan penjelajahan Nusantara (1887-1888).

Demikian halnya sejarawan Edward L. Poelinggomang dalam Makassar Abad XIX menjelaskan tentang kapal Tidar yang ditumpangi Condrad dalam petulangannya.

Dari kesaksian Conrad ketika itu di wilayah Nusantara lebih banyak kapal layar yang beroperasi dan kapal uap atau kapal api hanya kurang dari tiga puluh persen. Pelayaran ini membawanya ke Donggala, Pulau Laut, Bulungan dan daerah Berau.

Sang petualang romantik itu cukup banyak mengeksploirasi eksotisme Nusantara dalam karya sastranya. Pengalaman pelayaran selama dua puluh tahun lebih ke berbagai negara dari kapal Perancis hingga kapal Inggris mewarnai karya sastranya sarat tema kelautan.

Mencermati catatan sejarah dunia maritim menunjukkan konsep tol laut yang digagas Presiden Joko Widodo saat ini, sesungguhnya telah lama terjadi. Tinggal bagaimana diaktualisasikan kembali dengan mengembalikan reputasi Indonesia sebagai bangsa maritim, di dalamnya Donggala pernah menjadi bagian yang terhubung dengan jaringan tokoh-tokoh dunia dan budaya lintas bangsa.

Sayang jika kemudian terputus dalam pergaulan kebudayaan maritim dunia di saat akses informasi dan transfortasi kian terbuka. Sebuah paradoks sosial budaya.

Penulis : Jamrin AB
Editor : Rifay