Perempuan dan Ubi Banggai

oleh -
Haenija di antara pohon ubi Banggai yang berusia 6 bulan (FOTO: media.alkhairaat.id/Iker)

Jika Hainija membagikan teknik menyiapkan bibit ubi, Yonce (40, Desa Antarano, Banggai Selatan) menjelaskan cara menanam. Tonggol yang sudah disiapkan tidak boleh ditanam terbalik, karena akan menyebabkan ubi tidak tumbuh dengan baik, dan bisa makus.

Kepada anak-anaknya, Yonce menandai mana bagian pangkal dan ujung ubi agar memudahkan anak-anaknya membantu dia menanam ubi. Ubi tidak dijualnya ke pasar, hanya untuk konsumsi di rumah dan disiapkan untuk menjadi bibit di masa tanam berikutnya.

“Dari dulu torang tidak pernah bajual ubi. Pernah hanya batukar ubi dengan ikan (barter) dari Tolokibit. Ubi Banggai ini saya tanam supaya saya pe anak kalau lihat orang makan ubi, dorang pulang, dorang bilang, mama, ada torang pe ubi? Jadi saya harus batanam ubi, kasian saya pe anak-anak kalo suka makan ubi,” ujarnya.

Bibit ubi diperoleh Yonce saat ikut membantu orang-orang panen. Ia mengaku tidak sanggup jika harus membeli ubi di pasar untuk dijadikan bibit. Satu bois ditaksir 400 ribu.

Sama seperti membeli beras katanya. Dalam mengelola kebunnya sehari-hari, Yonce dibantu anak pertama dan ketiganya, Yornius dan Aprince. Yornius sudah lulus SMK dan Aprince sementara menempuh pendidikannya di jurusan Multimedia SMK Negeri 2 Banggai.

“Kalau dorang tidak babantu, saya sudah tidak mampu bekerja. Mereka sudah tahu bekerja sendiri (bekerja di kebun, menanam ubi), karena dorang sudah lihat saya, dorang dari kecil sudah baikut-ikut ke kebun. Jadi kalau dibilang, bakobon sendiri boleh. Cuman saya belum suruh, terkecuali saya dengan papa Aprince sudah tidak ada (meninggal),” katanya.

Pengetahuan lokal dari Yonce menurun kepada Yornius dan Aprince. Menurut guru jurusan pertanian mereka, keduanya kerap kali terlihat handal menguasai keilmuan itu, meski Aprince terpaksa memilih jurusan multimedia padahal kesukaannya adalah pertanian. Hal itu karena hanya ada jurusan multimedia yang dibuka untuk angkatannya.

“Kalau Aprince, biar kamu suruh tanam apa, dia tau. Pantas lalu itu dia sekolah di sini (SMKN 2 banggai), dia bilang mama saya mau ambil (jurusan) pertanian, kalau pertanian dia tidak terlalu pusing. Tapi kalau itu Multimedia (komputer) katanya matanya terganggu,” katanya.

Yonce bertutur mengenai anaknya yang suka berkebun, dan paling gemar menanam ubi banggai dan singkong. Singkong itu jangka panjang, masih tahan sekalipun ubi sudah habis. Berkebun bagi Yonce seumpama kulkas yang menyimpan bahan makanan, bisa mengambil ketika butuh.

Juga seperti tabungan, jika mereka tidak lagi memiliki uang untuk membeli bahan makanan, mereka masih punya kebun dan isinya. Bagi anaknya, Aprince, kebun dan pengetahuan berkebun adalah bekal dan asuransi jika kemudian hari ia tinggal sendiri, ibu dan bapaknya sudah tiada, ia masih bisa bertahan hidup.

Sedangkan bagi Yornius, masih menurut gurunya, putra Yonce itu belajar di jurusan pertania, berpanas-panas mengolah lahan karena menurutnya ilmu itu akan sangat berguna untuk membantu orang tuanya berkebun jika ia tidak bisa melanjutkan sekolah.

Diakhir cerita, Yonce yang baru pulang dari kebun itu mengaku tidak pernah menggunakan pupuk termasuk pupuk alami demi mendapatkan hasil panen yang bagus.

“Saya tidak pake pupuk sama sekali. Saya hanya ba obut (pembersihan kebun dengan membakar lahan) baru ditanam ulang. Kalau hasilnya bagus, syukur, tapi kalau ada ubi yang tidak bagus depe isi, tidak apa-apa. Biar saja torang ikut alam.”

Reporter : Iker
Editor : Rifay