“Saya orang Banggai, jadi tanam ubi Banggai”.
Musim panen ubi banggai sudah dimulai sejak bulan Ramadhan dan biasanya panen raya akan berlangsung di bulan Mei. Masa panen bergantung pada musim tanam, dengan hitungan 6-7 bulan mengikuti kerja alam.
Sejak awal Ramadhan, pedagang di pasar tradisional Banggai bersaudara sudah mulai menjual ubi banggai, baik di pasar Simpong Luwuk (Banggai), pasar baru Banggai, juga di Salakan.
Harga ubi banggai berkisar 40 ribu sampai 50 ribu untuk 5 sampai 6 biji ubi dengan ukuran beragam (ada yang besar, kecil, panjang atau pendek).
Di Banggai (Banggai Laut) biasanya, akan diadakan upacara panen ubi atau sasampe. Tetapi upacara tersebut hanya diikuti serangkaian kalangan bangsawan, beberapa pejabat, dan keluarga kekeratonan. Sementara masyarakat kelas bawah, upacara panen ubi diganti dengan baca doa sebagai bentuk rasa syukur terhadap hasil panen.
Keluarga Ainun (52) warga Desa Lampa misalnya, ketika masih menanam ubi, setiap kali masa panen, keluarganya akan menggelar doa syukuran dengan hidangan ubi banggai sebagai menu utama.
Baca doa dilakukan pada panen pertama ubi atau penggalian pertama. Biasanya, tetangga dekat rumah dan beberapa keluarga akan ikut gotong royong untuk panen, Sabtu (29/04).
“Kalau dulu, habis panen torang baca doa habis bagale pertama. Habis baca doa, keluarga-keluarga yang tidak punya kebun pasti babawa ubi (membawa pulang ubi yang belum dimasak). Baca doa itu sebelum ubi torang bagi ke keluarga, atau untuk dimakan sendiri. Tapi sekarang sudah tidak lagi. Saya tidak batanam ubi tahun ini (musim tanam tahun kemarin),” kata Ainun.
Ada sekitar 60 pohon ubi Banggai di kebun Hainija (59) yang siap dipanen. Sebenarnya sudah bisa ia panen di bulan Maret, tetapi ia sengaja menundanya setelah lebaran Idul Fitri. 60 pohon ubi itu tumbuh subur bersama singkong, keladi, terong, cabai rawit, cabai keriting, dan beberapa tanaman lainnya. Di kebunnya, Hainija hanya menanam dua jenis ubi, ubi putih dan ubi merah.
“Memang kalo bagian Banggai (kota administratif) sudah banyak yang tidak batanam ubi. Bagian saya pe kebun, di Boloa sana, sudah banyak rumah. Ada tahun kapan itu, taperei (tidak, berhenti) saya batanam. Karena tidak ada bibit, ubi yang saya siapkan untuk bibit, sudah saya kasihkan orang. Yang tahun ini, saya dikasih bibit dari sebelah (Pulau Peling), ada 6 biji, jadi 60 pohon. Alhamdulillah tumbuh semua,” ujarnya, Selasa (25/04).
Sejak awal menikah, Hainija sudah menanam ubi meski ada tahun di mana dia tidak menanam. Baginya, sebagai orang Banggai, ia tidak punya alasan tidak menanam ubi. Dia bahkan lebih menyukai makan ubi Banggai dibandingkan makan nasi.
“Saya orang Banggai, jadi tanam ubi Banggai. Saya tanam bulan September. Bibit ubi itu, atau tonggol namanya, tidak boleh diiris terlalu tipis, nanti kalau panas tidak jadi, dia hangus, makus (kondisi ubi yang kering dan tidak memiliki daging) begitu. Batanam ubi bagusnya, torang tidak perlu siram seperti tanam sayur. Makanya jangan sampai terlalu tipis, karena kalu panas bisa mati, sering hujan juga dia tidak jadi,” papar Hainija yang tinggal di Desa Lampa.
Jika Hainija membagikan teknik menyiapkan bibit ubi, Yonce (40, Desa Antarano, Banggai Selatan) menjelaskan cara menanam. Tonggol yang sudah disiapkan tidak boleh ditanam terbalik, karena akan menyebabkan ubi tidak tumbuh dengan baik, dan bisa makus.
Kepada anak-anaknya, Yonce menandai mana bagian pangkal dan ujung ubi agar memudahkan anak-anaknya membantu dia menanam ubi. Ubi tidak dijualnya ke pasar, hanya untuk konsumsi di rumah dan disiapkan untuk menjadi bibit di masa tanam berikutnya.
“Dari dulu torang tidak pernah bajual ubi. Pernah hanya batukar ubi dengan ikan (barter) dari Tolokibit. Ubi Banggai ini saya tanam supaya saya pe anak kalau lihat orang makan ubi, dorang pulang, dorang bilang, mama, ada torang pe ubi? Jadi saya harus batanam ubi, kasian saya pe anak-anak kalo suka makan ubi,” ujarnya.
Bibit ubi diperoleh Yonce saat ikut membantu orang-orang panen. Ia mengaku tidak sanggup jika harus membeli ubi di pasar untuk dijadikan bibit. Satu bois ditaksir 400 ribu.
Sama seperti membeli beras katanya. Dalam mengelola kebunnya sehari-hari, Yonce dibantu anak pertama dan ketiganya, Yornius dan Aprince. Yornius sudah lulus SMK dan Aprince sementara menempuh pendidikannya di jurusan Multimedia SMK Negeri 2 Banggai.
“Kalau dorang tidak babantu, saya sudah tidak mampu bekerja. Mereka sudah tahu bekerja sendiri (bekerja di kebun, menanam ubi), karena dorang sudah lihat saya, dorang dari kecil sudah baikut-ikut ke kebun. Jadi kalau dibilang, bakobon sendiri boleh. Cuman saya belum suruh, terkecuali saya dengan papa Aprince sudah tidak ada (meninggal),” katanya.
Pengetahuan lokal dari Yonce menurun kepada Yornius dan Aprince. Menurut guru jurusan pertanian mereka, keduanya kerap kali terlihat handal menguasai keilmuan itu, meski Aprince terpaksa memilih jurusan multimedia padahal kesukaannya adalah pertanian. Hal itu karena hanya ada jurusan multimedia yang dibuka untuk angkatannya.
“Kalau Aprince, biar kamu suruh tanam apa, dia tau. Pantas lalu itu dia sekolah di sini (SMKN 2 banggai), dia bilang mama saya mau ambil (jurusan) pertanian, kalau pertanian dia tidak terlalu pusing. Tapi kalau itu Multimedia (komputer) katanya matanya terganggu,” katanya.
Yonce bertutur mengenai anaknya yang suka berkebun, dan paling gemar menanam ubi banggai dan singkong. Singkong itu jangka panjang, masih tahan sekalipun ubi sudah habis. Berkebun bagi Yonce seumpama kulkas yang menyimpan bahan makanan, bisa mengambil ketika butuh.
Juga seperti tabungan, jika mereka tidak lagi memiliki uang untuk membeli bahan makanan, mereka masih punya kebun dan isinya. Bagi anaknya, Aprince, kebun dan pengetahuan berkebun adalah bekal dan asuransi jika kemudian hari ia tinggal sendiri, ibu dan bapaknya sudah tiada, ia masih bisa bertahan hidup.
Sedangkan bagi Yornius, masih menurut gurunya, putra Yonce itu belajar di jurusan pertania, berpanas-panas mengolah lahan karena menurutnya ilmu itu akan sangat berguna untuk membantu orang tuanya berkebun jika ia tidak bisa melanjutkan sekolah.
Diakhir cerita, Yonce yang baru pulang dari kebun itu mengaku tidak pernah menggunakan pupuk termasuk pupuk alami demi mendapatkan hasil panen yang bagus.
“Saya tidak pake pupuk sama sekali. Saya hanya ba obut (pembersihan kebun dengan membakar lahan) baru ditanam ulang. Kalau hasilnya bagus, syukur, tapi kalau ada ubi yang tidak bagus depe isi, tidak apa-apa. Biar saja torang ikut alam.”
Reporter : Iker
Editor : Rifay